ILO: Pengangguran di Dunia Bakal Naik Jadi 208 Juta Orang

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan pertumbuhan lapangan kerja global akan melambat menjadi 1 persen tahun ini. Simak selengkapnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 17 Jan 2023, 15:00 WIB
International Labour Organization (ILO).

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam laporan terbarunya memperkirakan, pertumbuhan lapangan kerja global diperkirakan akan melambat tajam menjadi 1 persen tahun ini dibandingkan dengan 2 persen pada tahun 2022. 

Perkiraan ini lebih rendah dari perkiraan ILO sebelumnya sebesar 1,5 persen untuk tahun 2023.

Perlambatan itu didorong oleh dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi di sejumlah negara dan kebijakan moneter yang ketat.

"Perlambatan pertumbuhan lapangan kerja global berarti kami tidak memperkirakan kerugian yang terjadi selama krisis Covid-19 akan pulih sebelum tahun 2025," kata Direktur Departemen Riset ILO Richard Samans, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (17/1/2023).

Organisasi itu juga memperkirakan, jumlah pengangguran di dunia akan meningkat sebesar 3 juta menjadi 208 juta pada tahun 2023, sementara inflasi akan menggerogoti upah riil.

Selain itu, kelangkaan lapangan pekerjaan baru juag diprediksi akan melanda sejumlah negara saat banyak negara yang masih belum pulih dari guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19, termasuk setelah China mencabut pembatasan lockdown yang ketat.

Kemajuan dalam mengurangi jumlah pekerjaan informal di dunia juga kemungkinan akan melambat di tahun-tahun mendatang, ungkap ILO.

"Perlambatan saat ini berarti banyak pekerja harus menerima pekerjaan dengan kualitas lebih rendah, seringkali dengan gaji yang sangat rendah, terkadang dengan jam kerja yang tidak mencukupi," beber ILO.

"Selain itu, karena harga naik lebih cepat daripada pendapatan nominal tenaga kerja, krisis biaya hidup berisiko mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan," imbuhnya.


Kemnaker Janji Perppu Cipta Kerja Bakal Hapus Praktik Outsourcing Seumur Hidup

Puluhan nisan berjejer rapi di sekitar area Monas, Jakarta, pada Hari Buruh Internasional, Sabtu (1/5/2021). Nisan hitam itu dihiasi tulisan yang mewakili perasaan para buruh, Antara lain RIP PHK Murah, Bebasnya Outsourcing, RIP Cuti Hamil, RIP Satuan Upah-Perjam. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pemerintah memastikan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 atau Perppu Cipta Kerja membatasi penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing. Hal ini menyempurnakan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang tidak mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang bisa menggunakan outsourcing.

Dirjen Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Indah Anggoro Putri menyampaikan, pembatasan penggunaan tenaga alih daya dalam Perppu Cipta Kerja bertujuan untuk memberikan peluang atau kesempatan lebih luas bagi buruh untuk menjadi pekerja tetap/PKWTT guna melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap.

Sehingga, menutup peluang fenomena outsourcing seumur hidup.

"Alasannya untuk memberikan peluang bagi pekerja sebagai pekerja tetap. Jadi, ada kepastian," kata Dirjen Indah Anggoro dalam konferensi pers Perpu Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (6/1).

Dirjen Indah menerangkan, jika penggunaan tenaga alih daya tidak dibatasi maka dikhawatirkan akan munculnya fenomena pegawai outsourcing seumur hidup. Sehingga, pemerintah memutuskan untuk membatasi penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing.

"Kalau terlalu dibuka seperti dalam Undang-undang Cipta Kerja akan terus outsourcing saja. Kita batasi, jadi ada kesempatan menjadi tetap," ujar Indah.

Di sisi lain, adanya pembatasan tengah alih daya diyakini tidak akan mengurangi upaya perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya. Menyusul, adanya ketenangan buruh dalam bekerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.

"Dan pada akhirnya akan tercapai kelangsungan bekerja dan kelangsungan usaha," ucap Dirjen Indah.

Terkait pembatasan jenis pekerjaan tenaga alih daya, akan diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Saat ini, revisi PP 35 Tahun 2021 masih dalam proses pembahasan dan penyusunan.

"PP masih kita kerjakan, target bu Menteri (Ida Fauziyah) secepatnya untuk diselesaikan," tutut Dirjen Indah.


Kemnaker: Indonesia Tak Kenal Sistem No Work No Pay

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri (Istimewa)

Indonesia tidak menjalankan sistem fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar). Oleh karena itu Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak akan menjalankan usul pengusaha mengenai sistem pengupahan no work no pay untuk meminimalisir risiko pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Negara ini tidak mengenal istilah (pengupahan) no work, no pay," kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers Perppu Cipta Kerja di Jakarta, Jumat (6/1/2023).

Jika perusahaan mengalami kesulitan finansial maka harus diselesaikan dengan dialog bipartit bersama pegawai. Kesepakatan antara kedua belah pihak harus bersifat tertulis dan tercatat di Dinas Tenaga Kerja (Disnaker).

"Jadi, Kalau ada kebijakan fleksibilitas jam kerja dan upah itu harus berdasarkan kesepakatan bipartit antara pengusaha dan pekerja. (Hasilnya) itu harus tertulis kesepakatannya, kemudian dicatat ke Dinas Tenaga Kerja," jelas Dirjen Indah.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay atau tidak bekerja tidak dibayar. Permintaan itu digaungkan untuk mencegah adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.

"Kalau bisa dipertimbangkan, harapan kami ada satu Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay," kata Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (8/11).

Anton mengatakan, saat ini iklim dunia usaha sedang menurun akibat pelemahan ekonomi di berbagai negara. Sehingga, no work no pay dapat menjadi opsi untuk menghindari aksi PHK untuk menyelamatkan keuangan perusahaan.

"Order kami menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen. Kami tidak bisa menahan. Satu dua bulan masih oke, tapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun, pilihannya memang harus PHK massal," ucap Anton.


Perppu Cipta Kerja: Korban PHK Bisa Terima Pesangon 9 Kali Upah, Ini Rincian Aturannya

Buruh meletakkan puluhan nisan di sekitar area Monas, Jakarta, pada Hari Buruh Internasional, Sabtu (1/5/2021). Nisan hitam itu dihiasi tulisan yang mewakili perasaan para buruh, Antara lain RIP PHK Murah, Bebasnya Outsourcing, RIP Cuti Hamil, RIP Satuan Upah-Perjam. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) turut mengatur soal pembayaran pesangon hingga uang penghargaan bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusny diterima," dikutip dari Pasal 156 ayat (1) Perppu Cipta Kerja, Rabu (4/1/2023).

Untuk pembayaran pesangon, itu diberikan tergantung lama masa kerja si korban PHK, dengan maksimal uang pembayaran hingga 9 kali gaji.

Sementara buruh yang kena putus kontrak dengan masa kerja kurang dari setahun akan menerima pesangon 1 kali upah, dan yang durasinya lebih dari setahun berhak mendapat 2 kali upah.

Berikut rincian besaran uang pesangon bagi para korban PHK dalam Pasal 156 ayat (2) Perppu Cipta Kerja:

a. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah

b. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah

c. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah

d. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah

e. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah

f. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah

g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah

h. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah

i. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya