Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengembangkan kasus korupsi yakni suap dan gratifikasi Gubernur Nonaktif Papua Lukas Enembe (LE) dengan membuka peluang penelusuran penggunaan dana otonomi khusus (Otsus) Papua yang bernilai triliunan rupiah.
"Kami pastikan KPK tidak juga berhenti pada informasi yang terkait dengan dugaan suap dan gratifikasi terkait infrastruktur ketika dia menjabat sebagai gubernur. Kami pastikan juga terus kembangkan informasi dan data lainnya (termasuk dana Otsus),” tutur Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Selasa (17/1/2023).
Baca Juga
Advertisement
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan pihaknya tidak mau terjebak atas klaim potensi konflik berskala luar biasa terkait penangkapan Lukas Enembe (LE).
"Selama proses kerja, sejumlah pernyataan atas klaim potensi konflik berskala luar biasa diarahkan kepada KPK, tetapi KPK tidak mau terjebak atas klaim itu," kata Firli dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (14/1/2023).
Lebih lanjut, Firli mengatakan KPK sangat berhati-hati untuk menangkap Lukas Enembe terkait kondisi keamanan di Papua.
"Pada perjalanannya, KPK sungguh berhati-hati karena menjaga masyarakat Papua. Artinya, harus memberantas korupsi dan sekaligus memastikan keamanan Papua dan Papua harus tetap dalam damai," tambahnya. Dilansir dari Antara.
Oleh karena itu, kata dia, KPK tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan pedoman-pedoman hukum yang berlaku dalam menangani kasus Lukas Enembe.
"Karena pedoman hukum berlaku dan prinsip menjunjung tinggi HAM adalah bagian dari komitmen kerja profesional KPK. Siapa pun yang melanggar hukum dan melakukan korupsi akan dikejar oleh KPK di mana pun dan kapan pun," jelasnya.
KPK Setop Pesta Pora Elite di Papua
Firli menyebut selama ini pihaknya sering mendengar bahwa masyarakat Papua mengeluhkan bagaimana anggaran dana otonomi khusus (otsus) begitu besar, namun efek kesejahteraannya sangat kecil bagi masyarakat Papua secara umum.
"Data-data statistik tentang ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa memang itulah yang terjadi ketika elite-elite daerah menggunakan dana transfer pusat untuk berpesta pora. KPK telah menghentikan pesta pora ini dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun," kata Firli.
Ia mengungkapkan sejumlah elitee di Papua memainkan isu dan opini politik untuk membenarkan tindakan-tindakan pencurian uang negara agar seolah-olah perampokan dan korupsi yang mereka lakukan itu adalah untuk rakyat dan atas nama rakyat.
"Faktanya, tidak ada pembangunan apalagi keadilan sosial yang tercipta dalam koalisi korupsi tersebut, kecuali kemiskinan dan kesengsaraan," tuturnya.
Masyarakat Papua juga telah lama sadar dan sangat memerlukan keberpihakan hukum untuk memberantas sejumlah elite tersebut dan pejabat yang berpesta pora menggunakan uang otsus/anggaran Papua.
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih, semoga ke depan tidak ada lagi pejabat yang menggunakan dan menyalahgunakan amanah yang diberikan oleh rakyat dengan cara yang menyimpang," ujar Firli.
Advertisement