Liputan6.com, Jakarta - Laporan organisasi Oxfam yang baru dirilis kembali mengungkap ketimpangan ekonomi antara orang-orang terkaya di dunia dan 99 persen orang lainnya. Hal itu diumumkan Oxfam di tengah pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss.
Inflasi yang lebih melesat ketimbang upah juga membuat hidup masyarakat makin sulit.
Dilansir VOA Indonesia, Rabu (18/1/2023), Oxfam mengatakan kekayaan ekstrem dan kemiskinan ekstrem telah meningkat secara bersamaan untuk pertama kalinya dalam 25 tahun. Organisasi itu menyerukan perpajakan yang lebih adil untuk merespons ketidaksetaraan yang melonjak itu.
Baca Juga
Advertisement
Ratusan miliarder, puluhan menteri pemerintah, dan gubernur bank sentral akan menghadiri WEF, yang secara luas dipandang sebagai pertemuan orang-orang super kaya global. Dalam laporannya, "Survival of the Richest," yang diterbitkan Senin (16/1), Oxfam mengatakan para miliarder dunia semakin kaya.“
"Davos kembali diadakan pada bulan Januari. Festival kekayaan kembali digelar. Dan kami menghadirkan temuan baru yang mengkhawatirkan yang menunjukkan bahwa satu persen, satu persen orang-orang terkaya di dunia, telah meraih hampir dua pertiga dari semua kekayaan baru yang diciptakan sejak 2020,” kata direktur keadilan ekonomi Oxfam America, Nabil Ahmed, kepada VOA.
Badan amal tersebut mengatakan bahwa perolehan kekayaan tersebut setara dengan $42 triliun, hampir dua kali lipat dari penghasilan 99 persen populasi terbawah di dunia.
Oxfam mengatakan sebagian sumber kekayaan itu adalah uang pemerintah, likuiditas darurat yang dipompa ke ekonomi global ketika pandemi virus corona pada tahun 2020 memaksa negara-negara memberlakukan kebijakan lockdown – atau kebijakan menutup sebagian wilayah dan menghentikan sebagian kegiatan – untuk mencegah meluasnya perebakan virus mematikan itu.
“Ini penting. Tetapi pada saat yang sama, orang-orang yang sangat kaya dapat benar-benar memanfaatkan ledakan aset yang dihasilkannya, lonjakan pasar saham akibat hal itu. Tanpa pagar pembatas berupa pajak progresif dalam perekonomian, maka orang-orang yang sangat kaya akan benar-benar mampu memenuhi kantong mereka,” tambah Nabil Ahmed.
Inflasi Melebihi Upah
Menurut perhitungan Oxfam, sedikitnya 1,7 miliar pekerja saat ini tinggal di negara-negara di mana inflasi melebihi upah, yang berarti orang semakin miskin. Namun kekayaan para miliarder terus melonjak karena inflasi mendorong harga pangan dan energi.
“Kami dapat menunjukkan bagaimana 95 perusahaan pangan dan energi benar-benar dapat melipatgandakan keuntungan mereka pada tahun 2022 lalu.”
Penyelenggara Forum Ekonomi Dunia (WEF) bersikeras bahwa pertemuan tahunan itu menguntungkan semua pihak.
Presiden WEF Børge Brende mengatakan, “Begitu banyak hal yang dipertaruhkan. Kita benar-benar mencari solusi atas perang dan konflik. Kita juga harus memastikan agar tidak terjadi resesi. Selama sepuluh tahun terakhir ini kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang rendah, seperti yang kami alami pada tahun 1970an. Hal ini dipertaruhkan, dan kita membutuhkan semua pemangku kepentingan untuk menjadi bagian dari upaya menuju ekonomi global yang tumbuh lebih aman dan lebih inklusif.”
Bank Dunia bulan Oktober lalu memperingatkan bahwa kemajuan dalam mengatasi kemiskinan ekstrem terhenti di tengah melonjaknya inflasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Lebih jauh Oxfam menyerukan pajak yang dikenakan pada perusahaan energi agar diperluas ke perusahaan makanan yang menghasilkan keuntungan besar. Badan itu juga menginginkan pajak hingga lima persen diterapkan pada multimiliuner dan miliarder dunia.
“Ketidaksetaraan ekstrem tidak bisa dihindari,” kata Nabil Ahmed kepada VOA. “Ini bukan tentang perawat, guru, kelas menengah. Ini benar-benar tentang mereka yang berada di puncak, memastikan agar mereka membayar pajak yang jauh lebih adil,” tandasnya.
Advertisement
Jokowi: Hati-hati, 70 Negara Diprediksi Alami Resesi Tahun 2023
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mewanti-wanti kepala daerah bahwa 2023 akan menjadi tahun ujian bagi perekonomian nasional. Pasalnya, kata dia, Dana Moneter Internasional (IMF) menyampaikan bahwa sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi pada tahun 2023.
"Tahun 2023 Kristalina Georgieva (Managing Director dari IMF) mengatakan sepertiga ekonomi dunia diprediksi mengalami resesi," ujar Jokowi sebagaimana disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (17/1).
"Hati-hati, sepertiga itu artinya kurang lebih 70 negara," sambungnya.
Bahkan, kata dia, ratusan juta penduduk negara yang tidak terkena resesi akan merasakan seperti sedang resesi. Jokowi menyebut sebanyak 47 negara sudah menjadi pasien IMF karena guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan perang.
Jokowi menuturkan kondisi yang dihadapi 47 negara itu sama seperti Indonesia pada tahun 1997-1998. Saat itu, Indonesia juga meminta bantuan dana kepada IMF akibat krisis.
"Kita ingat tahun 1997-98 Indonesia menjadi pasiennya IMF. Ambruk ekonomi dan ambruk politiknya. Ini 47 negara. dan yang lain masih ngantri di depan pintunya IMF," ucap Jokowi.
Untuk itu, dia meminta kepala daerah memiliki frekuensi yang sama dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak mudah ini. Jokowi menuturkan inflasi saat ini menjadi mokok bagi semua negara.
"Situasi global masih sangat tidak mudah.Dan sekarang yang menjadi momok semua negara adalah yang namanya inflasi. Ini momok semua negara," tutur dia.
Indonesia Lebih Kebal Terhadap Resesi Global
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan meski kondisi ekonomi global diprediksi masih dilanda ketidakpastian pada tahun ini. Namun, sejumlah negara diproyeksikan masih akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif.
Ketergantungan pada pasar ekspor yang relatif rendah atau kurang dari 50 persen menjadikan negara-negara seperti Indonesia, Jepang, Brasil, Tiongkok, dan Amerika Serikat memiliki resiliensi yang tinggi melalui dukungan pasar domestik yang kuat.
Harga komoditas yang tinggi di pasar dunia dalam beberapa tahun terakhir telah mendorong peningkatan nilai ekspor Indonesia. Namun sejak pertengahan 2022 telah mengalami perlambatan dan kemudian menunjukkan penurunan di akhir 2022, termasuk 3 komoditas utama ekspor Indonesia yakni logam, CPO, dan batu bara.
Beberapa komoditas utama perdagangan global lainnya seperti gas alam, minyak brent, dan gandum juga memperlihatkan tren penurunan.
“Kalau kita lihat beberapa negara yang manufakturnya ekspansif yaitu Jepang, Prancis, Meksiko, Indonesia, Brasil, India dan Arab Saudi, sehingga menunjukkan sektornya masih kuat. Tetapi hampir beberapa negara besar seperti Italia, Jerman, Korea PMI-nya di bawah 50 persen," kata Airlangga dalam konferensi pers usai Ratas terkait Evaluasi Ekspor dan Investasi 2022 di Istana Kepresidenan Jakarta, dilansir dari laman Kemenko Perekonomian, Kamis (12/1).
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa dunia masih (dalam) ketidakpastian dan kita juga melihat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan perdagangan yang tahun lalu ekspansinya 3,5 persen, maka di tahun ini diperkirakan hanya 1 persen.
Kendati begitu, Menko mencatat hingga akhir 2022, nilai ekspor Indonesia mencapai USD 299,57 miliar atau tumbuh 29,40 persen (yoy). Sedangkan sisi impor juga mengalami pertumbuhan yang hampir setara yakni 25,37 persen (yoy) atau sebesar USD245,98 miliar.
Lebih lanjut, Airlangga optimis kinerja ekspor dalam perdagangan internasional Indonesia pada tahun 2023 diproyeksikan akan tumbuh sebesar 12,8 persen (yoy) dan impor akan tumbuh lebih tinggi yakni sebesar 14,9 persen (yoy).
Advertisement