Liputan6.com, Jakarta - Bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) diperkirakan mengurangi agresivitasnya dalam menaikkan tingkat suku bunga. Hal tersebut menjadi katalis positif bagi pasar saham Indonesia.
Dengan sentimen itu, Manulife Investment Management memproyeksikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga akhir 2023 berada di level 8.040.
Advertisement
Senior Portfolio Manager Equity Manulife Investment Management, Samuel Kesuma menuturkan, telah terjadi perubahan selera investasi yang lebih positif terhadap pasar saham negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal tersebut akibat bank sentral AS atau the Fed mengurangi agresivitasnya dan juga didukung oleh pembukaan kembali ekonomi China.
Dampaknya, pada November 2022, negara berkembang membukukan rekor tertinggi arus masuk dana asing. Samuel menyebutkan, mulai dari akhir 2022, investor asing masuk lagi ke emerging market, berlanjut sampai ke 2023.
"Kalau Fed Rate cenderung turun dan ekspektasinya sudah stop naik kita lihat market sudah forward looking, itu arus investor mulai berbalik," kata Samuel dalam konferensi pers, ditulis Rabu (17/1/2023).
Ia menambahkan, faktornya terbagi menjadi dua, pertama soal Fed Rate nya diperkirakan akan mendekati puncaknya pada 2023 ini. Kedua, tidak kalah penting, yakni China melakukan re-opening lebih cepat dari dugaan.
Sementara itu, mengenai dampak nilai tukar Rupiah terhadap pasar saham, risiko nilai tukar yang selama ini menjadi ‘penghalang’ diharapkan akan membaik ketika penguatan USD mulai mereda.
Samuel menyebutkan, pergerakan investor yang melakukan diversifikasi investasi keluar dari pasar China (pemegang bobot terbesar dalam MSCI) berpotensi meningkatkan aliran dana masuk ke negara berkembang lainnya seperti Indonesia.
Sektor Saham
Hal tersebut dapat mengimbangi kekhawatiran terjadinya fenomena bottom fishing, yaitu aktivitas yang dilakukan oleh investor pada saham-saham di beberapa negara dengan kinerja yang tertekan pada 2022 lalu.
Tak hanya itu, Samuel juga menjelaskan, sektor-sektor pilihan tim investasi MAMI pada 2023, yakni ekonomi hijau, keuangan, dan consumer discretionary.
“Kami merekomendasikan sektor yang terkait dengan green economy. Investasi di industri terkait electronic vehicle secara organik akan meningkatkan permintaan bahan mineral. Dalam jangka pendek, harga spot akan mendapat manfaat dari sinyal perlambatan kenaikan Fed Funds Rate dan pembukaan kembali China," kata Samuel.
Selain itu, sektor keuangan juga akan diuntungkan oleh ekonomi Indonesia yang kuat dan likuiditas yang masih cukup tinggi. Hal ini memungkinkan perbankan untuk meningkatkan marjin sambil menjaga kualitas kredit.
"Sektor lainnya yaitu consumer discretionary. Konsumsi domestik diperkirakan akan meningkat di tahun ini, ditopang oleh belanja pemerintah terkait pemilu 2024," pungkasnya.
Advertisement
Katalis Ini Bayangi Prospek Pasar Obligasi pada 2023
Sebelumnya, Manulife Investment Management melihat kondisi pasar obligasi yang lebih kondusif. Siklus kenaikan suku bunga sudah mendekati puncak dan likuiditas domestik masih sangat kuat.
Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Management, Katarina Setiawan mengatakan, pihaknya juga melihat ada saldo anggaran lebih yang sangat besar. Alhasil, hal tersebut dapat mengurangi rencana penerbitan obligasi pemerintah.
"Sehingga dengan terbatasnya penawaran, maka harga lebih terjaga dan minat masuk ke pasar obligasi kita ini akan meningkat," kata Katarina dalam konferensi pers, Selasa (17/1/2023).
Meski demikian, terdapat beberapa risiko yang perlu dicermati, seperti ketegangan geopolitik Ukraina dan Rusia, ketegangan di wilayah-wilayah lain antara China dan AS, serta perlambatan perdagangan dengan adanya risiko resesi di beberapa belahan dunia.
Sementara itu, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income Manulife Investment Management, Ezra Nazula mengungkapkan, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif 3,5 persen pada 2022.
Kinerja pasar obligasi Indonesia lebih baik dibandingkan pasar lainnya di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6 persen), Filipina (-6,0 persen), Singapura (-5,1 persen), dan Thailand (-4,0 persen).
Ezra menjelaskan, selama 2022, kurva imbal hasil pasar obligasi menunjukkan pola bearish flattening, di mana obligasi dengan tenor paling pendek 2 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan (181 bps), sedangkan obligasi dengan tenor paling panjang 30 tahun mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil (46 bps).
Ia mengatakan, jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2012 – 2022), pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun.
"Kepemilikan asing di pasar obligasi terlihat telah menyusut, dari semula 19,05 persen (Rp 891,3 triliun) pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen (Rp 762,2 triliun) di akhir 2022. Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing,” ujar Ezra.
Sentimen Global
Selain itu, ekspektasi berkurangnya agresivitas kenaikan Fed Funds Rate, seiring dengan inflasi Amerika Serikat yang terus mengalami moderasi, akan mengangkat sentimen global dan membawa kembali arus masuk dana asing.
Lalu, di dalam negeri, diversifikasi investor domestik menjadi penopang utama, khususnya di perbankan, asuransi dan dana pensiun, serta investor ritel.
Ezra menjelaskan terkait tiga katalis pasar obligasi pada 2023. Pertama, perbaikan fundamental makro. Indikator makro ekonomi yang membaik, seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah, dapat mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, kuatnya permintaan domestik. Permintaan dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih kuat untuk menopang pasar.
Ketiga, skenario pembukaan kembali China. Skenario dibukanya perekonomian China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Selain itu, risiko yang perlu diwaspadai yaitu ketidakpastian yang masih terus ada dari pasar global, seperti perang Rusia dan Ukraina, kebijakan bank sentral Amerika dan dunia yang berpotensi kembali menjadi hawkish jika data ekonomi masih kuat di atas konsensus, dan tekanan politik yang berpotensi timbul jelang pemilu 2024.
"Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen - 6,75 persen,” ujar dia.
Advertisement