Jalan Berbayar Jakarta Sebaiknya 2024, Benahi Transportasi Umum Dulu

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno memandang kebijakan jalan berbayar elektronik atau Electronic Toad Pricing (ERP) bisa berlaku tahun 2024 mendatang.

oleh Arief Rahman H diperbarui 18 Jan 2023, 13:50 WIB
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). Pemprov DKI Jakarta berencana untuk menerapkan kebijakan jalan berbayar atau 'Electronic Road Pricing' (ERP) di sejumlah ruas jalan Ibu Kota dengan usulan besaran tarif sekitar Rp5.000 hingga Rp19.000 sekali melintas. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno memandang kebijakan jalan berbayar elektronik atau Electronic Toad Pricing (ERP) bisa berlaku tahun 2024 mendatang. Mengingat, masih perlu sosialisasi dan penyiapan angkutan secara terintegrasi.

Djoko menyebut, kondisi angkutan umum di wilayah sekitar Jakarta masih perlu dibenahi kembali. Sehingga, setelah ERP di Jakarta diberlakukan, pengguna jalan punya pilihan angkutan umum yang memadai.

"Sebaiknya tahun depan atau 2024 mulai dioperasikan ERP ini dan telah LRT Jabodebek beroperasi tahun ini (dapat menambah kapasitas angkutan umum) dan masih ada sisa waktu untuk sosialisasi ke warga," kata dia dalam keterangannya, Rabu (18/1/2023).

Dia mengatakan, akses transportasi umum bagi warga Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) yang masih butuh jaringan angkutan umum yang lebih banyak. Utamanya bagi pekerja di Jakarta.

Dengan penerapan ERP, otomatis sebagian orang akan diberi pilihan, menggunakan moda transportasi lain, atau terpaksa membayar. Untuk opsi pertama, maka akses transportasi umum menjadi hal penting yang perlu dicapai.

Djoko melihat angkutan umum menuju Jakarta dari kawasan Bodetabek masih minim. Lain halnya di Kota Jakarta, cakupan layanan angkutan umum sudah dapat meng cover seluruh kawasan permukiman yang ada.

"Seperti diketahui layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99 persen lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum. Sedangkan Kota Jakarta layanan transportasi umum sudah meng cover 92 persen wilayahnya. Hingga jalan-jalan kecil di perkampungan Kota Jakarta sudah ada layanan angkot Jaklingko," ungkapnya.

Dalam kaitannya ke ERP, dinilai perlu adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, upaya untuk membenahi sara transportasi umum di Jabodetabek.

"Efisiensi Public Service Obligation (PSO) KRL Jabodetabek dengan beberapa skenario yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian diperoleh sekitar 208 miliar - 475 miliar. Anggaran hasil efisiensi PSO ini dapat digunakan untuk membenahi transportasi umum di Bodetabek, sehingga warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta tidak merasa dizolimi. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk terus mendorong migrasi private ke public transport," paparnya.

 


Penerapan

Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). Pemprov DKI Jakarta berencana untuk menerapkan kebijakan jalan berbayar atau 'Electronic Road Pricing' (ERP) di sejumlah ruas jalan Ibu Kota yang bertujuan untuk mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Lebih lanjut, Djoko mengatakan kalau penerapan ERP jadi salah satu upaya pengendalian kemacetan. Karena, ada pembatasan secara tidak langsung dengan penerapannya.

"Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, diperlukan kemauan besar untuk melaksanakan strategi guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Salah satunya dengan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik," kata dia.

"Kalau kebijakan ganjil genap dan 3 in 1, Pemprov. DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan, penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Untuk penerapan ERP, Pemprov. DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum," sambungnya.

Dalam pelaksanaan nantinya, Dinas Perhubungan DKI Jakarta bisa melakukan uji coba di salah satu ruas terlebih dahulu. Baru secara bertahap akan menyasar ke lokasi-lokasi lainnya.

"Untuk tarif, sebaiknya DKI Jakarta juga mematangkan kisaran tarif dan perhitungan tarif. Di sisi lain, ia juga mengingatkan Dishub DKI Jakarta untuk mengendalikan kemacetan lebih efektif. Selain menerapkan ERP, Dishub DKI Jakarta juga bisa menerapkan strategi penerapan tarif parkir yang progresif di pusat kota, serta pajak kendaraan progresif," pungkas Djoko Setijowarno.

 


Ojol Tak Kebal ERP

Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). Pemprov DKI Jakarta berencana untuk menerapkan kebijakan jalan berbayar atau 'Electronic Road Pricing' (ERP) di sejumlah ruas jalan Ibu Kota yang bertujuan untuk mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah membahas aturan jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di Ibu Kota. Aturan ini rencananya tidak hanya berlaku untuk mobil saja, tapi juga motor hingga ojek online (ojol).

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno, menilai ojol tak kebal ERP lantaran moda tersebut jadi salah satu penyumbang angka inflasi tinggi.

"Ojol itu terlalu banyak buat inflasinya tinggi. Terlalu banyak ojol inflasi Indonesia makin tinggi," kata Djoko kepada Liputan6.com, Selasa (17/1/2023).

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022, inflasi tarif ojol naik empat kali lipat menjadi 5,25 persen secara tahunan. Hal ini sejalan dengan kenaikan tarif akibat penyesuaian harga BBM.

Inflasi ojol secara tahunan pada September 2022 melonjak signifikan dibandingkan Agustus 2022 yang hanya 1,28 persen. Inflasi ini memberikan andil sebesar 0,03 persen.

 


Ojol Bukan Angkutan Umum

Pengemudi ojek online mengangkut penumpang di depan Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (6/9/2022). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan segera menerbitkan regulasi kenaikan tarif ojek online (ojol). Hal itu menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat beban operasional transportasi semakin besar. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Lebih lanjut, Djoko juga mempermasalahkan ojol yang tidak masuk kategori kendaraan umum berpelat kuning sesuai regulasi yang ada.

"Artinya persoalan ini ojol itu non angkutan umum. Disuruh pelat kuning enggak mau, dan jadi seenaknya saja. Aturannya begitu," ungkap dia.

Selain itu, ia berujar bahwa angkutan online juga telah memantik masyarakat jadi malas menggunakan transportasi umum yang sudah disediakan pemerintah.

"Kalau Jakarta kan angkutan umumnya sudah meng-cover 92 persen. Cuman orang kita malas jalan kaki. Kampung-kampung juga kan sudah dijamah oleh Jak Lingko, gratis, masih kurang apalagi? Sepeda motor itu memantik orang untuk jadi malas," sebutnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya