Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum tim kuasa hukum Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe agar tak sembarangan membangun opini soal kondisi kesehatan tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infratruktur di Pemprov Papua.
"Kami ingatkan kepada penasihat hukum tersangka agar tidak membangun narasi yang tidak sesuai fakta keadaan sebenarnya," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Rabu (18/1/2023).
Advertisement
Ali memastikan pihaknya akan memenuhi hak-hak kesehatan Lukas Enembe sesuai prosedur hukum yang berlaku. Termasuk memberitahu pihak keluarga dan dokter pribadi Lukas Enembe terkait kondisi kesehatan Lukas.
"Dokter pribadi LE pun juga diperbolehkan mendampingi supaya dapat melihat langsung kondisi faktual tersangka," kata Ali.
Sebelumnya, kuasa hukum Gubernur nonaktif Lukas Enembe, Petrus Bala Pattyona membantah pernyataan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebut kesehatan kliennya stabil di dalam rumah tahanan (rutan). Menurut Petrus, Lukas Enembe tak bisa pakai pamper atau popok sendiri.
"Jadi, kalau dibilang Pak Lukas melakukan aktivitas sendiri itu tidak benar, karena kebutuhan pamper saja itu dipasangin orang," ujar Petrus di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2023).
Petrus mengatakan, kondisi kesehatan kliennya tak seperti apa yang disampaikan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri. Bahkan, menurut Petrus, saat hendak berjemur, kliennya harus dibantu oleh petugas rutan.
"Perlu saya sampaikan bahwa menurut petugas rutan, informasi yang kami dapat kondisi Pak Lukas itu, kalau KPK mengatakan bisa melakukan aktivitas, itu tidak benar. Tadi petugas mengatakan beliau dituntun untuk dijemur," kata dia.
Soal Suap Lukas Enembe
KPK menjerat Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lukas Enembe diduga menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp10 miliar.
Selain itu, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar.
Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi.
Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar.
Advertisement
Pasal Sangkaan
Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono.
Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.