Kades Kinipan Bebas Murni: Kriminalisasi Bukan Narasi Lagi

Hakim Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya yang membebaskan Kepala Desa Kinipan nonaktif, Willem Hengky.

oleh Roni Sahala diperbarui 22 Jan 2023, 20:00 WIB
Kepala Desa Kinipan nonaktif, Willem Hengky, bersama Pemimpin Besar Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Agustinus atau lebih dikenal dengan Pangkalima Jilah.

Liputan6.com, Palangka Raya - Hakim Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya yang membebaskan Kepala Desa Kinipan nonaktif, Willem Hengky. Putusan ini sekaligus menegaskan, kasus tersebut merupakan bentuk kriminalisasi.

“Putusan ini menegaskan jika hukum saat ini digunakan oleh penguasa untuk membungkam pihak-pihak yang berani bersuara,” kata Parlin Bayu Hutabarat, Kuasa Hukum Willem Hengky, Kamis (19/1/2023).

Sebelumnya, Polres Lamandau menetapkan Willem Hengky sebagai tersangka korupsi dan hal ini diamini oleh kejaksaan negeri setempat. Ia kemudian didakwa menyelewengkan dana desa dan diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palangka Raya.

Setelah proses panjang sidang, Willem dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim yang diketuai Erhammudin pada 15 Juni 2022 lalu. Jaksa Penuntut Umum yang diwakili oleh Okto Silaen dari Kejaksaan Negeri Lamandau kemudian melakukan kasasi terhadap keputusan tersebut.

Hasilnya, dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 7164 K/Pid.Sus/2022, pada 27 Desember 2022, hakim menyatakan menolak permohonan penuntut umum dan menegaskan jika Willem benar-benar tak bersalah. Relas putusan telah diterima pada 16 Januari 2023 lalu.

Parlin menambahkan, Willem merupakan tokoh desa yang selama ini ikut berjuang bersama Komunitas Adat Laman Kinipan untuk mempertahankan hutan adat dari serbuan perusahaan perkebunan sawit. “Kriminalisasi melemahkan perjuangan mereka,” kata Parlin.

Walakin, Hengki merasa apa yang menimpa dirinya itu merupakan buntut perjuangan dirinya bersama masyarakat. Putusan bebas membuktikan dirinya tidak bersalah dan menguatkan perjuangannya mendapatkan pengakuan hutan adat dari negara.

“Kasus ini tidak menghentikan perjuangan kami. Kami bakal terus bergerak sampai pengakuan hutan adat kami diberikan negara,” kata Willem Hengki.

Simak juga video pilihan berikut:


Kriminalisasi Bukan Sekedar Narasi

Massa dari ormas kedaerahan dan warga Kinipan saat mengikuti pembacaan vonis Kades Kinipan Willem Hengky. (foto: Roni Sahala/liputan6.com)

Ini bukan yang pertama Kinipan berurusan dengan hukum saat memperjuangkan hutan adat. Pada November 2020 lalu, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dan empat orang warga Kinipan lainnya ditangkap polisi karena dituduh mencuri alat milik perusahaan perkebunan dan melakukan kekerasan.

Menariknya 24 jam setelah ditangkap, Effendy Buhing kemudian dilepaskan dari tahanan Polres Kotawaringin Barat. Namun meski tak berlanjut, sampai saat ini Buhing masih berstatus tersangka tanpa kejelasan apakah kasus tersebut dihentikan atau lanjut.

Baru setelah itu, giliran Willem yang kemudian diperiksa Polres Lamandau. Hal ini pun menyulut aksi unjuk rasa warga Kinipan yang menilai kasus itu adalah kriminalisasi dengan tunjuan membungkam perjuangan.

“Upaya hukum ini merupakan upaya melemahkan perjuangan mereka,” kata Parlin.

Apa yang dinarasikan masyarakat Desa Kinipan dan sejumlah organisasi pegiat lingkungan ini diamini juga oleh banyak pihak. Dan pada kasus ini, Hengky yang didakwa korupsi bahkan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang dikenal sebagai pegiat anti korupsi.


Konflik Panjang Oligarki dan Masyarakat Adat

Wilayah yang diklaim sebagai Hutan Adat Kinipan yang telah dibuka oleh perusahaan perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari di Desa Kinipan Kecamatan Batang Kawa Kabupaten Lamandau, Sabtu (19/1/2019) lalu. (Liputan6.com/Roni Sahala).

Konflik Kinipan bermula pada 2012 saat salah satu perusahaan perkebunan sawit mendapatkan izin untuk membangun kebun di Kecamatan Batang Kawa Kabupaten Lamandau.

Hasil pemetaan masyarakat Kinipan bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2016, dari 16.000 hektar luas Kinipan, setidaknya terdapat 3.000 hektar yang sudah dibuka perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut yang masuk di wilayah hutan adat.

Disisi lain, upaya Komunitas Adat Laman Kinipan untuk mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat tidak mulus. Perjuangan yang dilakukan dari 2014 lalu tersebut, hingga kini belum membuahkan hasil.

Malah sebaliknya, mereka yang berjuang untuk mempertahankan hutan dan mendapatkan pengakuan malah ditangkapi dengan berbagai dalil hukum. Sementara itu, perusahaan terus beroperasi membabati hutan untuk dijadikan kebun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya