Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI melaporkan adanya peningkatan kasus campak. Peningkatan itu terjadi hingga Desember 2022 dan tersebar pada 31 provinsi di Indonesia.
"Ada 3.341 kasus di tahun 2022 dilaporkan di 223 kabupaten kota dari 31 provinsi," ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik, dr Siti Nadia Tarmizi melalui pesan singkat pada Rabu, 18 Januari 2023.
Advertisement
Lalu, apakah yang menyebabkan kasus campak tiba-tiba mengalami peningkatan?
Menurut Ketua Unit Kerja Koordinasi Penyakit Infeksi Tropik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr dr Anggraini Alam, SpA(K), peningkatan kasus campak kemungkinan besar terjadi karena menurunnya cakupan imunisasi anak selama pandemi COVID-19.
"Indonesia ini diperlihatkan sejak tahun 2015 cakupan DPT (difteri, pertusis, dan tetanus), atau kita tahu anak-anak mendapatkan pentavalen, itu sudah mulai turun. Lebih menurun lagi di 2020," ujar dokter yang akrab disapa Anggi dalam media briefing bersama IDAI pada Kamis, (19/1/2023).
"Artinya, memang cakupan kita se-Indonesia sudah rendah. Mulai kapan? Mulai di 2015 utamanya, apalagi ditambah adanya COVID-19. Secara global memang imunisasi menjadi turun cakupannya," tambahnya.
Terlebih lagi Anggi mengungkapkan bahwa penyakit campak kerap kali disepelekan. Sehingga banyak pula yang melewatkan imunisasi campak begitu saja.
"Ditambah dengan karena kita lihat, 'Ah campak, sudah enggak pernah lihat kok. Itu sih zaman dulu'. Kalaupun juga ada campak, ini jarang lihat. Kalau ada dianggap ringan," kata Anggi.
Bahkan, Anggi menjelaskan, saat ada salah satu anak yang terkena campak, beberapa orangtua mendekati anaknya agar tertular dan campak di waktu yang bersamaan.
Potensi Terkena Campak Tinggi karena Tak Imunisasi
Sebelumnya, Anggi pun mengungkapkan bahwa dahulu setelah imunisasi campak diperkenalkan tahun 1968, dunia hampir tidak menemukan penyakit campak mengalami peningkatan lagi.
"Kita tuh hampir enggak ketemu lagi penyakit campak. Ini gara-gara imunisasi itu sangat spesial. Meningkatkan kesehatan, bisa sampai ke pelosok dirasakan kita semua, menyelamatkan kehidupan," kata Anggi.
"Jadi tidak heran, begitu diperkenalkan vaksin campak tahun 68, sejak itu kita hampir enggak jumpa campak. Namun kita waspada," jelasnya.
Menurut Anggi, campak sebenarnya merupakan penyakit yang faktor risikonya rendah bila sudah melakukan imunisasi. Sehingga bila seorang anak terkena, maka penyebab utamanya berkaitan dengan imunisasi yang belum dilakukan.
"Satu-satunya kena campak itu ya karena enggak divaksin (imunisasi). Begitu stop vaksin, kita akan ketemu penyakit itu," ujar Anggi.
Advertisement
Imunisasi Berkaitan dengan Banyak Penyakit
Dalam kesempatan yang sama, Anggi pun mengungkapkan bahwa menurut Direktur Jenderal World Health Organization (WHO), dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, saat pemberian imunisasi terhenti, maka jangan heran bila banyak KLB (Kejadian Luar Biasa) bermunculan.
"Menurut Pak Tedros, dibandingkan dengan COVID-19 yang cuma satu penyakit. (Sedangkan) vaksin itu banyak penyakit yang bisa dicegah. Kalau kita tidak memberikan, maka siap-siaplah berbagai KLB itu terjadi. Seperti campak ini," kata Anggi.
"Sudah ada peringatan dari WHO, Asia Tenggara ini membutuhkan kecepatan tinggi supaya kita tekan campaknya karena banyak yang tertinggal," ujar Anggi.
Pernah Dikejutkan Tahun 2017 oleh Kasus Campak
Lebih lanjut Anggi mengungkapkan bahwa dahulu tahun 2017, Indonesia sudah sempat dikejutkan dengan kasus campak yang menyebabkan kematian di Timika, Papua.
"Tahun 2017 akhir dikejutkan itu di Timika banyak yang meninggal. Kita cari sebabnya apa, ternyata campak dan gizi buruk," kata Anggi.
Berdasarkan data, pada September 2017 hingga Januari 2018, ada 646 anak yang mengalami campak di Timika dan 144 mengalami gizi buruk. Serta, 70 anak diantaranya berakhir meninggal dunia.
"Kemudian juga ada 9 warga Baduy meninggal, menyedihkan kan waktu itu. Disebutkan dulu misterius, padahal tidak misterius. Itu karena campak ditambah kurang gizi. Siap-siap memang dia akan menyebabkan meninggal," pungkasnya.
Advertisement