Liputan6.com, Tasikmalaya - KH Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin atau populer dengan nama Abah Anom merupakan seorang ulama kharismatik dari tanah Sunda. Abah Anom adalah ulama sakti yang sangat dihormati khususnya oleh masyarakat Jawa Barat.
Pangersa Abah Anom lahir di Kampung Suryalaya, Tasikmalaya pada 1 Januari 1915. Sejak kecil ia sudah dididik ketat untuk mendalami ilmu agama Islam oleh orangtuanya.
Ayah Abah Anom bernama Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh), pendiri Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Tidak heran jika seorang ayah menginginkan putranya melanjutkan perjuangannya. Sementara, ibunya bernama Hajjah Juhriyah.
Baca Juga
Advertisement
Abah Anom mempelajari dasar ilmu agama dari ayahnya. Di samping itu, ia menempuh pendidikan formal sekolah dasar di Ciamis pada usia 8 tahun. Kemudian dilanjutkan sekolah tingkat menengah di Ciawi, Tasikmalaya.
Abah Anom memulai pengembaraan menuntut ilmu agamanya ke berbagai pesantren di Jawa Barat sejak tahun 1930. Beliau pernah nyantri di pesantren Cicariang Cianjur, Jambudwipa Cianjur, hingga Gentur Cianjur yang saat itu diasuh Ajengan Syatibi.
Pada 1935-1937 Abah Anom berguru ke Ajengan Aceng Mumu, seorang ahli hikmah dan ilmu silat di Pesantren Cireungas, Cimelati, Sukabumi. Di pesantren ini Abah Anom mematangkan ilmunya. Tidak hanya mendalami Islam, tapi juga mempelajari ilmu lain seperti bela diri.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Belajar di Makkah
Mengutip laman Nahdlatul Ulama (NU), perjalanan nyantri Abah Anom tidak berhenti di Jawa Barat. Setelah menikahi gadis bernama Euis Siti Ruyanah pada usia 23 tahun, Abah Anom terbang ke Makkah pada 1938 untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.
Selama di Tanah Suci, Abah Anom sering mengikuti kajian di Masjidil Haram yang disampaikan guru-guru dari Makkah dan Mesir. Ia juga aktif mengunjungi Ribat Naqsabandi di Jabal Gubaisy, untuk muzakarah (ngaji) kitab tasawuf karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yakni kitab Sirr al-Asrar dan Ghaniyyat at-Talibin, kepada Syekh Romli, seorang ulama dari Garut.
Abah Anom menghabiskan waktu bermukim di Makkah sekitar 7 bulan. Kemudian ia pulang ke Tanah Air dan membantu ayahnya memimpin Pesantren Suryalaya. Namun, ia lebih aktif sebagai pejuang membantu menjaga keamanan dan ketertiban Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena tahun 1939 sampai 1945 merupakan masa-masa menjelang kemerdekaan.
Memimpin Pesantren
Abah Anom baru memimpin Pesantren Suryalaya secara penuh ketika ayahnya wafat pada 1956. Pada masa yang sama, Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat terus bergerak aktif melakukan perlawanan menentang pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Soekarno.
Bahkan, pesantren yang dipimpin Abah Anom sering mendapat teror dari DI/TII. Untuk menghadapi teror dan serangan DI/TII, Abah Anom selalu menginstruksikan kepada para santri dan pengikutnya untuk memberikan perlawanan secara gigih. Atas kontribusinya tersebut, ia memperoleh penghargaan dari pemerintah Republik Indonesia.
Advertisement
Karomah
Abah Anom termasuk ulama yang sakti. Ia memiliki karomah luar biasa. Tentu semua ini atas kehendak dan izin Allah SWT.
Suatu ketika, Abah Anom kedatangan seorang kapten sakti beserta anak buahnya. Kapten tersebut berkunjung ke Pesantren Suryalaya sambil membawa sebuah batu kali sebesar kepalan tangan tangan di kantongnya.
Kapten tersebut menunjukkan keahliannya di depan Abah Anom. Batu yang ia bawa dikeluarkan dan diletakkan di tangannya. Dengan sekali pukul, batu tersebut terbelah menjadi dua.
Sang kapten kemudian meminta Abah Anom menunjukkan kemampuannya. Dengan santai dan tersenyum, Abah Anom yang menerima batu dari kapten itu langsung meremasnya hingga menjadi tepung yang halus.
Kemudian Abah Anom meminta segelas air yang di dalamnya terdapat seekor ikan kepada santrinya. Gelas air yang berisi ikan itu diberikan kepada si kapten.
Dengan sombongnya, kapten itu bergaya seolah sedang memancing. Ia berhasil membuat ikan di dalam gelas terpancing. Lagi-lagi, ia menyombongkan keahliannya kepada Abah Anom.
Ketika giliran Abah Anom, ulama sakti ini hanya memberikan isyarat jari telunjuk. Ikan dalam gelas air itu langsung pindah ke hadapannya.
Masih dengan jari telunjuknya, Abah Anom memberikan isyarat seolah-olah memegang ketapel. Ia mengarahkan tangannya ke langit. Sekali bidikan berhasil membuat seekor burung tiba-tiba jatuh di hadapannya.
Melihat kesaktian Abah Anom, kapten tadi meminta maaf. Ia pun akhirnya menjadi pengikut Abah Anom.
Wafat
Abah Anom wafat pada 5 September 2011. Abah Anom dimakamkan di dalam areal Pesantren Suryalaya, Jalan Suryalaya, Desa Tanjungkerta, Kecamatan Pagerageung, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sampai saat ini, makam Abah Anom sering diziarahi oleh umat Islam dari berbagai penjuru negeri.