Liputan6.com, Jakarta Ekonomi Indonesia diprediksi tetap tumbuh positif di tahun 2023 ini, meski masih lebih lambat ketimbang 2022. Namun, ada sejumlah syarat yang perlu dilakukan pemerintah dalam menjaga tren pertumbuhan saat ini.
PT Schroder Investment Management Indonesia melalui laporan bertajuk Schroder Indonesia Outlook 2023, memperkirakan pertumbuhan yang demikian. IMF sendiri memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2023 sebesar 5,0 persen yang masih menempatkannya sebagai yang terkuat tahun depan, hanya di bawah India dan Vietnam.
Advertisement
Dalam laporan tersebut, ada penghalang pertumbuhan yang paling mungkin terjadi tahun 2023 adalah dari net exports. karena menurut perkiraannya harga komoditas akan mulai mengalami normalisasi di tahun 2023. Harga patokan batu bara Newcastle telah turun di bawah USD400 per ton sementara harga jual ICI telah didiskon bahkan sejak tahun 2022.
"Oleh karena itu, kami memperkirakan ekspor akan turun. Namun, perlambatan ekonomi global juga dapat memperlambat impor, sehingga memberikan cushion bagi penurunan net exports," tulis laporan tersebut, dikutip Kamis (19/1/2023).
"Karena pemerintah berkomitmen untuk menurunkan defisit fiskal di bawah 3 persen dari PDB pada tahun 2023, menurut kami pengeluaran pemerintah juga harus diturunkan atau setidaknya tetap sama. Pengeluaran pemerintah kemungkinan akan digunakan untuk mendukung konsumsi dan investasi," seperti dikutip.
Schroder memandang, kenaikan harga BBM pada September 2022 lalu, telah memberikan dampak terhadap daya beli dan konsumsi meskipun dampak inflasi tidak seburuk perkiraan para ekonom. Namun, karena tahun politik, belanja sosial dapat digunakan jika diperlukan untuk mendukung konsumsi.
Pada saat yang sama, pemerintah juga berencana untuk mendorong sejumlah proyek sebelum masa jabatan presiden berakhir pada tahun 2024. Meskipun Schroder berpikir bahwa belanja sosial akan lebih diprioritaskan daripada infrastruktur jika situasinya membutuhkannya.
Penurunan Belanja
Masih dari laporan yang sama, Schroder memandang konsolidasi kebijakan masih terus berlanjut di 2023. Mengacu susunan APBN 2023, pemerintah menargetkan defisit anggaran sebesar 2,9 persen dari PDB pada tahun 2023 dengan pertumbuhan pendapatan yoy yang relatif flat dan sedikit penurunan belanja.
Karena penerimaan pajak akan berasal dari basis yang tinggi, pemerintah memperkirakan pertumbuhan yang lebih lambat sebesar 4,8 persen secara tahunan pada tahun 2023. Sementara itu, penerimaan bukan pajak akan menurun sekitar 17 persen yoy pada tahun 2023 didorong oleh harga komoditas yang lebih rendah.
"Di sisi pengeluaran, menurut kami pemerintah akan lebih fokus pada belanja sosial untuk mendukung konsumsi serta mendorong proyek-proyek terakhir sebelum masa jabatan presiden berakhir pada tahun 2024. Pengeluaran terkait kesehatan akan terus dipotong karena kita sekarang sudah berada dalam tahap endemi covid," papar Schroder.
Advertisement
Harga Komoditas Kembali Defisit
Berkesinambungan dengan itu, dari sisi transkasi berjalan atau current account, Schroder yakin normalisasi harga komoditas akan mengembalikan posisi defisit. Meskipun dipercaya defisit tidak akan sebesar sebelum covid sekitar 2,5-3,0 persen karena impor kemungkinan akan tetap tertekan oleh perlambatan ekonomi global sementara normalisasi harga komoditas akan lebih progresif.
Namun demikian, transisi dari twin surplus kembali ke twin deficit dapat menimbulkan risiko terhadap Rupiah pada tahun 2023. USD yang lebih kuat dan net capital account outflow, yang didorong oleh pasar obligasi, merupakan penyebab utama depresiasi Rupiah menjelang akhir tahun 2022.
"Oleh karena itu, kami menilai Bank Indonesia akan tetap waspada dan terus menaikkan suku bunga kebijakannya sesuai kebutuhan. Meskipun jika the Fed mulai mengurangi kenaikan suku bunga dan inflasi Indonesia tidak seburuk yang diantisipasi, kami berpikir bahwa Bank Indonesia akan menyesuaikan kebijakannya," papar Schroder.
BI Pede Indonesia Tumbuh 5 Persen
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan, pertumbuhan ekonomiIndonesia akan terjadi perlambatan pada 2023 ini.
Meskipun hingga akhir 2022 silam, perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terus berlanjut, didorong oleh permintaan domestik yang semakin menguat.
"Pertumbuhan ekonomi tahun 2022 diperkirakan bias ke atas dalam kisaran 4,5-5,3 persen. Didorong oleh kuatnya kinerja ekspor serta membaiknya konsumsi rumah tangga serta investasi non bangunan," kata Perry dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Kamis (19/1/2023).
Perbaikan ekonomi diprediksi bakal tetap terjadi pada tahun ini. Meskipun secara angka relatif tidak berubah dibanding pertumbuhan di 2021.
"Pada 2023, pertumbuhan ekonomi diperkirakan terus berlanjut, meskipun sedikit melambat ke titik tengah kisaran 4,5-5,3 persen. Sejalan dengan menurunnya prospek ekonomi global," terang Perry.
Untuk 2023, ia memproyeksikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih tinggi, sejalan dengan meningkatnya mobilitas masyarakat pasca penghapusan kebijakan PPKM.
"Investasi juga diperkirakan akan membaik, didorong oleh membaiknya prospek bisnis, meningkatnya aliran masuk penanaman modal asing (PMA), serta berlanjutnya penyelesaian program proyek strategis nasional (PSN)," imbuhnya.
Di sisi lain, ekspor diperkirakan tumbuh lebih rendah akibat melambatnya ekonomi global, meskipun akan termoderasi dengan permintaan dari China.
Berdasarkan lapangan usaha, Perry melanjutkan, prospek sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, informasi dan komunikasi, serta konstruksi diperkirakan tumbuh cukup kuat, didorong kenaikan permintaan domestik.
"Sementara secara spasial, per wilayah, pertumbuhan ekonomi yang kuat diperkirakan terjadi di seluruh wilayah NKRI seiring dengan perbaikan permintaan domestik," tutur Perry.
Advertisement