Mengenang Sosok Nano Riantiarno, Pendiri Teater Koma yang Meninggal Dunia

Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno meninggal dunia pada Jumat pagi (20/1/2023).

oleh Asnida Riani diperbarui 20 Jan 2023, 09:30 WIB
Pendiri Teater Koma Norbertus "Nano" Riantiarno. (dok. Instagram @nanoriantiarno/https://www.instagram.com/p/CmQ6Oecyk4G/)

Liputan6.com, Jakarta - Dunia teater Indonesia tengah berduka atas kepergian salah satu putra terbaiknya. Nano Riantiarno, yang dikenal sebagai pendiri Teater Koma, meninggal dunia hari ini, Jumat (20/1/2023).

Kabar duka ini salah satunya dibagikan istri pria bernama asli Norbertus Riantiarno ini, Ratna Riantiarno, melalui Instagram Story. Ia menulis, "Telah berpulang ke rumah Bapa di Surga, suami, ayah, kakak, guru kami tercinta, Norbertus Riantiarno, di rumah beliau, pada pagi hari, Jumat, 20 Januari 2023, pukul 06.58 WIB. Mohon dimaafkan segala kesalahan beliau."

"Rumah duka: Sanggar Teater Koma, Jl. Cempaka Raya No. 15, Bintaro, Jakarta Selatan," imbuhnya. "Penguburan almarhum direncanakan Sabtu, 21 Januari 2023, sebelum pukul 12.00 WIB di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor."

Pria berusia 73 tahun itu diketahui sakit. Sejak November 2022, baik Nano maupun Ratna, kerap berbagi aktivitas mereka di rumah melalui akun Instagram masing-masing. Saat itu, di tengah kondisi kesehatannya yang menurun, Nano dikunjungi beberapa sahabatnya, termasuk aktris Sha Ine Febriyanti dan pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya.

Bersama lusinan doa dan ungkapan belasungkawa, sosok Nano pun dikenang. Mengutip situs web Teater Koma, pria kelahiran 6 Juni 1949 ini telah berteater sejak 1965 di kota kelahirannya, Cirebon, Jawa Barat.

Saat itu, Nano bergabung dengan kelompok kesenian Tunas Tanah Air Cirebon, dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kendati namanya besar di dunia teater, kegiatan seninya justru diawali melalui puisi dan cerpen ketika ia masih duduk di bangku SLTP.

 

 


Mendirikan Teater Koma

Penulis naskah Semar Gugat, Nano Riantiarno saat di Sanggar Teater Koma, Bintaro, Tangerang, Rabu (24/2). Setelah 20 tahun berlalu, Teater Koma kembali akan pentaskan Semar Gugat ke pentas panggung pertunjukan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Setelah tamat SMU pada 1967, Nano meneruskan pendidikan ke Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta, seangkatan dengan Slamet Rahardjo dan Boyke Roring. Di sela-sela kesibukannya kuliah di ATNI, ia menyempatkan diri berguru pada Arifin C. Noer dengan jadi anggota Teater Kecil.

Di tempat itulah Nano menemukan jodohnya, Ratna Madjid, yang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 28 Juli 1978, dinikahinya. Dari pernikahan itu, keduanya dianugerahi tiga anak: Rangga Buana, Rasapta Candrika, dan Gagah Tridarma Prasetya.

Ketika Teguh Karya membuka kursus akting sebagai kegiatan ekstrakurikuler di ATNI, Nano bergabung ke sana. Meski kegiatan ekstrakurikuler itu tidak berlanjut, ia tetap bergabung bersama Teguh Karya, yang kemudian mendirikan Teater Populer pada 1968.

Di Teater Populer ini pun Nano tidak bertahan lama. Ia kemudian mendirikan kelompok teater baru yang diberi nama Teater Koma. Kata koma, menurut Nano, berarti "berkesinambungan, tidak pernah akan selesai, tidak pernah titik."

Melalui kelompok inilah nama Nano melambung sebagai salah satu tokoh teater Indonesia. Sebagai penulis, peserta International Writing Program tahun 1978 di Iowa University, Amerika Serikat dan International Word Festival tahun 1987 di Canberra, Australia, ini sudah melahirkan puluhan naskah drama, puluhan skenenario film, beberapa novel, dan cerpen.

 


Penghargaan

Nano Riantiarno dan Ratna Riantiarno dalam konferensi pers Savitri secara daring, Rabu (24/3/2021) (Liputan6.com/Komarudin)

Beberapa karyanya itu sempat memperoleh penghargaan di sederet sayembara. Pada 1972, 1973, 1974, dan 1975, misalnya, Nano meraih penghargaan dari Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta.

Skenario filmnya berjudul Jakarta, Jakarta pun meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1978 di Ujung Pandang dalam kategori penulisan skenario film terbaik. Begitu pula dua novelnya, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, mendapat penghargaan dari Sayembara Novel Majalah femina dan Kartini.

Karya sinetronnya berjudul Karina juga meraih Piala Viia pada Festival Film Indonesia 1987. Naskah dramanya yang berjudul Semar Gugat pada 1988 telah mengantar Nano ke Bangkok untuk menerima penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand saat itu.

Di samping memimpin Teater Koma, ia juga bekerja di beberapa tempat. Nano tercatat ikut mendirikan majalah Zaman dan bekerja sebagai redaktur (1979—1985). Ia pun pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985—1990) dan jadi anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kesenian Indonesia di Amerika Serikat (KIAS) pada 1991—1992.


Larangan Pentas

Penulis naskah Semar Gugat, Nano Riantiarno saat di Sanggar Teater Koma, Bintaro, Tangerang, Rabu (24/2). Setelah 20 tahun berlalu, Teater Koma kembali akan pentaskan Semar Gugat ke pentas panggung pertunjukan. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Nano juga sering jadi pembicara. Makalah-makalahnya tentang teater modern Indonesia pernah dibacakan antara lain di Cornell University, Ithaca, AS, pada 1990, serta Sydney University of New South Wales-Sydney, Monash University, universitas di Adelaide, serta universitas di Pert pada 1992.

Selain itu, Nano juga pernah melakukan kunjungan budaya ke negara-negara, seperti Mediterania, Skandinavia, Jerman, dan China. Pada 1987, atas undangan Japan Foundation, ia berkeliling Jepang untuk bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh teater di Negeri Sakura.

Selama berkarier di dunia teater, sejumlah pementasan Nano pernah terkena larangan tampil. Pementasan Suksesi, misalnya, dilarang berlanjut setelah 11 hari dipentaskan di Taman Ismail Marzuki pada Oktober 1990.

Begitu pula dengan pementasan Opera Kecoa yang direncanakan berlangsung pada 27 November—7 Desember 1990. Ketika itu, pementasan lakon tersebut terpaksa dibatalkan karena dilarang pemerintah. Dengan adanya pelarangan itu, lakon ini juga batal dipentaskan di tiga kota di Jepang, yakni Tokyo, Osaka, dan Fukuoda.

Padahal, Opera Kecoa pernah dipentaskan di dua kota: Jakarta dan Bandung, pada 1985, 11 hari di Jakarta dan 3 hari di Bandung. Kini, setelah banyak torehan karya dan jejak tiada dua, Nano telah beristirahat beriring doa orang-orang terkasih.

 

Infografis: Warisan Budaya Indonesia yang Sudah Diakui UNESCO

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya