Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengklaim pihaknya dalam menangani suatu kasus berpedoman pada prosedur hukum yang ada. Termasuk saat menangani Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe.
Atas dasar itu, KPK tak habis pikir dilaporkan pihak Lukas Enembe ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lantaran dianggap melanggar HAM dalam menangani Lukas.
Advertisement
"Kami ingin tegaskan seluruh proses di dalam penanganan perkara, prinsip kami tidak akan pernah melanggar hukum," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (20/1/2023).
Ali menegaskan, tim lembaga antirasuah dalam mengusut sebuah kasus memiliki pijakan hukum. Ali meminta pihak Lukas Enembe menjelaskan secara langsung pelanggaran HAM yang dilakukan pihaknya.
"Sehingga kami juga tidak paham kemudian apa yang disampaikan oleh pihak keluarga ataupun penasihat hukumnya terkait hal dimaksud, melanggar HAM-nya di mana? Justru kami menjunjung tinggi HAM," kata Ali.
Ali mengklaim pihak lembaga antirasuah sudah memenuhi hak Lukas Enembe mendapatkan perawatan kesehatan. Bahkan, Ali menyebut pihaknya mempersilakan tim dokter Lukas Enembe mengawasi langsung.
"Saya kira hak-haknya sudah terpenuhi semua. Kami juga dampingi dokter Rutan KPK termasuk dokter pribadi kami beri kesempatan untuk turut mengawasi, melihat langsung keadaan tersangka LE yang saat ini di RSPAD," ungkap Ali.
Diketahui, pihak keluarga Lukas mengadukan KPK ke Komnas HAM. Pihak keluarga meminta Komnas HAM mengecek langsung kondisi Lukas di rumah tahanan (rutan). Pihak Lukas menyebut kliennya tak mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan selama ditahan.
Diduga Terima Suap
KPK menjerat Gubernur nonaktif Papua Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lukas Enembe diduga menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp10 miliar.
Selain itu, KPK juga telah memblokir rekening dengan nilai sekitar Rp76,2 miliar.
Kasus ini bermula saat Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka mendapatkan proyek infrastruktur usai melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua. Padahal perusahaan Rijatono bergerak dibidang farmasi.
Kesepakatan yang disanggupi Rijatono dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14% dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.
Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijatono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.
Dari tiga proyek itu, Lukas diduga sudah menerima Rp1 miliar dari Rijatono.
Dalam kasus ini, Rijatono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Advertisement