Kisah Ibu yang Peluk dan Maafkan Pembunuh Anaknya di Ruang Sidang: Mereka Bisa Disembuhkan

Ibu dari Suliman Abdul-Mutakallim, Rukeiya, tidak marah saat bertatapan dengan pembunuh anaknya, tetapi justru memaafkan dan bahkan memeluknya di persidangan.

oleh Alycia Catelyn diperbarui 22 Jan 2023, 19:10 WIB
Seorang ibu memaafkan pembunuh anaknya. (The Enquirer/Liz Dufour)

Liputan6.com, Cincinnati - Hati ibu mana yang tak terluka jika nyawa anaknya terenggut dengan cara sadis: meninggal ditembak orang tak dikenal. Meski perih, wanita bernama Rukiye ini memilih untuk mengikhlaskan segalanya, menganggap kematian Suliman Abdul-Mutakallim adalah kehendak sang pencipta.

Tak hanya itu, ibunda Suliman Abdul-Mutakallim bahkan memutuskan untuk memaafkan pembunuh sang putra. Di ruang sidang, ia melakukan sesuatu yang menurut para veteran di ruang sidang belum pernah mereka lihat: memeluk sang pembunuh.

Melansir dari USA Today, Minggu (22/1/2022), Suliman Abdul-Mutakallim diketahui ditembak di bagian belakang kepalanya saat berjalan pulang membawa makanan untuk dirinya dan istrinya.

Pihak berwenang menyatakan Suliman sebagai korban yang tidak bersalah.

Tak berapa lama, pelaku pembunuhan Suliman terungkap. Dua remaja mengaku bersalah di persidangan pada Januari 2018 dan dijatuhi hukuman penjara. Salah satu remaja tersebut bernama Javon Coulter.

Di persidangan, ibu Suliman, Rukiye, anehnya justru tidak tampak marah saat bertatapan dengan pembunuh sang anak. Ternyata hal itu karena ia memilih untuk memaafkan dengan tidak ada rasa dendam, dan bahkan menawarkan untuk memeluk Javon.

Rukiye pun menyatakan akan mengunjungi para pelaku di penjara secara teratur dan membantu mereka menjadi orang yang lebih baik.

"Mereka telah terinfeksi oleh suatu penyakit, tetapi masih muda. Mereka bisa disembuhkan," kata Rukiye.

Menurut Rukiye juga, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Hal itu nyatanya tidak akan membuat sang putra hidup kembali.

Rukiye mengatakan pembunuh putranya adalah anak-anak muda yang masih memiliki ibu, sama seperti dirinya.

"Para pemuda itu, meskipun mereka mengambil nyawa putra saya, kita harus berjuang untuk mereka. Karena mereka akan keluar (dari penjara) kembali. Dan mereka akan beranjak dewasa. Namun, jika mereka tidak memiliki harapan, maka penyakit yang sama ini akan terulang kembali dan mereka akan mengambil nyawa anak orang lain dan akhirnya nyawa mereka sendiri," ucap Rukiye.


Kronologi Kejadian

Ilustrasi pistol. (pixabay)

Pada 28 Juni 2015, Suliman Abdul-Mutakallim sedang berjalan pulang dengan membawa makanan di South Cumminsville, Amerika Serikat (AS). 

Tiba-tiba, ia ditembak di bagian belakang kepala. Tiga orang tidak dikenal ternyata merampoknya.

Petugas mengatakan bahwa dompet Suliman tidak ditemukan di tempat kejadian. Dompet Suliman diperkirakan berisi kurang dari 60 dolar AS, setara dengan 900 ribu rupiah.

Untuk menangkap siapa yang membunuh Suliman, kepolisian mengecek rekaman kamera closed circuit television (CCTV) di area sekitar.

Kepolisian pun akhirnya mengidentifikasi tiga perampok tersebut. Salah satunya, Javon Coulter, yang berusia 14 tahun. Javon terlihat dalam video pengawasan menarik uang dari saku depan celana Suliman tepat setelah penembakan.

Video CCTV juga menunjukkan Javon menyerahkan uang kepada dua orang lain yang bersamanya. Salah satunya adalah Valentino Pettis yang berusia 17 tahun. Polisi meyakini orang ketiga adalah seorang pria berusia 20-an, tetapi ia tidak pernah dituntut.

Setelah menembak dan mengambil dompet Suliman, Javon, Valentino, dan orang ketiga kemudian berjalan menyusuri jalan sembari membawa makanan milik Suliman. Meninggalkannya dalam kondisi bersimbah darah.


Mengubah Sistem Hukum

Ilustrasi Hukum. (unsplash.com/Tingey)

Rukiye merupakan penduduk asli Carolina Utara, AS. Ia adalah seorang Muslim taat yang pindah agama di akhir masa remajanya.

Dalam sebuah wawancara di rumahnya di College Hill, Rukiye mengenang momen saat Suliman meninggal di University of Cincinnati Medical Center.

Rukiye dan anggota keluarga lainnya berada di samping tempat tidur Suliman. Ia memegang tangan anaknya.

Agamanya mengajarkan bahwa tidak ada selamat tinggal. Maka dari itu, Rukiye berbisik kepada putranya, "Sampai jumpa lagi." Lalu, Rukiye mencium Suliman.

Suliman merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ia juga adalah anggota Veteran Angkatan Laut di AS.

Usai persidangan, Rukiye juga menganjurkan perubahan pembebasan bersyarat baru di sistem hukum AS. Ini pun disetujui oleh hukum. 

Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan mengubah opsi pembebasan bersyarat Ohio, AS, ditandatangani oleh Gubernur Mike DeWine pada 10 Januari 2021, dilansir dari WCPO.

Setelah pembunuhan anaknya dan menghadiri persidangan, Rukiye langsung mengadvokasi RUU Senat 256, yang akan menghapus hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat untuk remaja yang dihukum.

"Baginya untuk mengakui bahwa mereka adalah anak-anak yang membuat kesalahan yang mengerikan dan memiliki rahmat untuk memahami, sungguh luar biasa," kata Kevin Werner, anggota Pusat Keadilan dan Kebijakan Ohio.


Sisi dari Javon

Ilustrasi hukum. (Unsplash)

Ibu Javon, Malyyka Bonner, memahami bahwa anaknya perlu dihukum atas apa yang terjadi.

"Sebuah kesalahan telah dilakukan," kata Malyyka, dikutip dari Cincinnati.

Di persidangan, salah satu dari tiga pelaku, Valentino atau 'Tino', menyalahkan dan menuduh Javon. Seorang saksi di pengadilan mengatakan bahwa setelah penembakan itu, Valentino marah kepada Javon karena ia menembak "pria yang tidak bersalah".

Namun, Javon memberi tahu polisi bahwa orang ketiga yang tidak disebutkan namanya yang menembakkan pistol.

"Kudengar Tino yang melakukannya. Saya mendengar Javon melakukannya. Saya mendengar orang ketiga yang melakukannya," ucap Detektif Kepolisian Cincinnati Eric Karaguleff saat bersaksi di sidang.

"Saya tidak peduli, tidak masalah, mereka semua berperan dalam kejadian itu."

Malyyka mengatakan bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi. Javon tidak pernah membicarakannya kepadanya.

"Saya tidak berpikir ia bisa sepenuhnya memahami... Seluruh realitas dari apa yang sebenarnya terjadi," tutur Malyyka.

Kasus terhadap Javon dan Valentino dimulai di pengadilan remaja, tetapi keduanya akhirnya dipindahkan ke pengadilan dewasa atas tuduhan pembunuhan. Keduanya mengaku bersalah atas pembunuhan tidak disengaja. Javon juga mengaku bersalah atas perampokan.

Malyyka tidak ingin sistem hukum tersebut menelantarkan putranya begitu saja. Ia takut ketika anaknya dibebaskan dari penjara, akan sulit untuk dirinya mencari pendidikan, pelatihan kerja dan perawatan yang memadai.

Infografis Herry Wirawan, dari Vonis Seumur Hidup hingga Hukuman Mati. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya