Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai pembentukan indeks/bursa harga acuan komoditas plus program B35 bakal memperkuat posisi industri sawit Indonesia di tingkat global.
Program B35 sebagai campuran minyak sawit 35 persen dan 65 persen BBM jenis solar ini rencana mulai diterapkan per 1 Februari 2023.
Advertisement
Sahat meyakini, program B35 akan mengangkat konsumsi minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri, yang selama ini lebih sering dilempar ke pasar ekspor.
"Sangat bagus itu (B35), tambah konsumsi dalam negeri. Kalau porsi ekspor bisa berubah enggak masalah, karena harga lebih bagus lagi," kata Sahat di Kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Menurut catatannya, saat ini dunia butuh suplai minyak sawit sekitar 248 juta ton per tahun. Jumlah itu terus bertambah 3 persen setiap tahunnya, atau sekitar 7 juta ton.
Oleh karenanya, ia mengajak para produsen sawit Tanah Air untuk menjemput peluang tersebut, dan tidak mengeluhkan kebijakan B35 yang dicanangkan pemerintah.
"Mereka harus bisa tingkatkan produktivitas, sekarang itu paling tidak 25 ton tandan buah sawit per hektar per tahun. Jangan cuma 12 ton, apalagi petani kita itu perlu dibantu," ungkap Sahat.
Di sisi lain, Sahat juga mendukung keras rencana pembentukan bursa hargaacuan komoditas, termasuk harga acuan sawit. Dengan catatan pengelola bursa komoditi itu berasal dari pihak independen yang tidak menggeluti bisnis sawit.
"Saya sangat setuju. Itu perlu didukung. Yang persoalannya adalah kalau ada bursa komoditi ini, itu pengelolanya jangan ikut campur yang berbisnis sawit. Jadi harus ada independent party," kata Sahat.
"Kalau tidak (dikelola oleh pengusaha non-sawit), ya itu udah tidak benar. Itu yang perlu dicegah," tegas dia.
Mendag Perintahkan Bappebti Bentuk Harga Acuan Sawit
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meminta Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk segera membentuk harga acuan sawit. Targetnya, bursa harga acuan itu bisa didirikan sebelum Juni 2023.
Pasalnya, harga acuan komoditas sawit semisal minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih berpatokan kepada Malaysia. Padahal, Mendag menegaskan, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.
"Beberapa kali di sidang kabinet disinggung, masa kita ikutnya Malaysia. Yang punya sawit kita, masa ikutnya Malaysia?" kata Mendag di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Oleh karenanya, Ketua Umum PAN tersebut mendesak Bappebti untuk segera mendirikan bursa harga acuan sawit.
"Kalau bisa sebelum Juni ini kita tidak ngikut Kuala Lumpur lagi. Sawitnya banyakan kita, kok ngikutnya ke sana? Kalau enggak bisa juga ya Bappebti yang akan disalahkan," tegasnya.
Tak hanya sawit, Mendag juga ingin menerbitkan harga acuan komoditas lain yang jadi sumber kekayaan alam Indonesia, seperti karet, kopi, dan lada.
"Dengan segala kewenangan yang dimiliki, kalau bisa karet, CPO, kopi itu sudah bisa di kita. Di layar itu terpampang harga kopi dan lain-lain," ujar dia.
"Jadi kalau memungkinkan Juni (2023) sudah terpampang di layar ya, bahwa kita punya patokan harga. Jadi nanti Malaysia berbalik lihat ke Indonesia dulu, gantian," seru Mendag Zulkifli Hasan.
Advertisement