Liputan6.com, Lima - Ribuan pengunjuk rasa masih turun ke jalan-jalan di ibu kota Peru pada Jumat (21/1/2023). Mereka mengumumkan akan terus beraksi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte.
"Boluarte, mundurlah! Mau apa Anda dengan Peru kami?," teriak Jose Luis Ayma Cuentas, yang rela bepergian hingga 20 jam dari Puno selatan untuk sampai ke Lima seperti dikutip dari AP, Sabtu (20/1).
Advertisement
"Kami akan tinggal di sini sampai dia (Boluarte) mundur, sampai kongres dibubarkan, sampai ada pemilihan baru, jika tidak, kami tidak akan kemana-mana," imbuhnya.
Banyak pengunjuk rasa dilaporkan datang dari Andes, daerah terpencil yang menjadi asal Pedro Castillo, presiden Peru yang dimakzulkan dan dipenjara bulan lalu.
Selama ini, protes yang diwarnai kerusuhan dilaporkan berpusat di wilayah selatan Peru dan telah menewaskan 55 orang dengan 700 lainnya terluka.
Dan sekarang, para pengunjuk rasa dinilai ingin menjadikan Lima, rumah bagi sekitar sepertiga dari populasi Peru yang berjumlah 34 juta, sebagai titik fokus demonstrasi yang dimulai ketika Boluarte dilantik pada 7 Desember. Protes memicu kekerasan politik terburuk di negara itu dalam lebih dari dua dekade.
Dalam protes yang berlangsung pada Jumat, para demonstran lebih terorganisir dari hari sebelumnya dan mereka mengambil alih jalan-jalan utama di pusat kota Lima sambil mengibarkan bendera dan meneriakkan, "Darah yang tumpah tidak akan pernah terlupakan", "Rakyat jangan menyerah", dan slogan-slogan lainnya.
Sementara itu, polisi dilaporkan lebih agresif dibanding hari sebelumnya. Mereka menembakkan gas air mata secara lebih membabi buta.
Sekelompok pengunjuk rasa yang sedang duduk di alun-alun di depan Mahkamah Agung tanpa menimbulkan gangguan tiba-tiba harus berlarian ketika polisi yang mendekat menembakkan gas air mata, memenuhi area itu dengan asap dan bau menyengat.
"Saya marah, geram," kata Maddai Pardo Quintana. "Mereka ingin kita menghormati mereka, tetapi jika mereka memimpin dengan memberi contoh dan menghormati kita, kita juga pasti akan lebih menghormati mereka."
Pardo berasal dari Provinsi Chanchamayo. Ia juga bersumpah untuk tetap tinggal di ibu kota sampai Boluarte setuju untuk mengundurkan diri.
Pidato yang Menantang
Pada Jumat malam, Menteri Dalam Negeri Vicente Romero memuji tindakan polisi selama protes. Menurutnya, mereka sangat profesional.
Sebelumnya, pada Kamis malam, pidato Boluarte juga dinilai menantang demonstran. Dia menuduh pengunjuk rasa mengobarkan kekerasan, bersumpah akan menuntut para demonstran, dan mempertanyakan dari mana mereka mendapat pembiayaan.
"Anda ingin melanggar aturan hukum, Anda ingin menimbulkan kekacauan sehingga dalam kekacauan dan kebingungan itu Anda mengambil alih kekuasaan," kata Boluarte.
"Kepada rakyat Peru, kepada mereka yang ingin bekerja dalam damai dan kepada mereka yang melakukan aksi protes, saya sampaikan: Saya tidak akan bosan mengajak untuk berdialog dengan baik, untuk memberi tahu bahwa kami bekerja untuk negara," tambahnya.
Merespons pidato Boluarte, Maddai Pardo Quintana mengatakan, "Wanita itu sangat dingin, dia tidak punya perasaan, tidak punya belas kasihan kepada orang lain."
Di lain sisi, Boluarte sendiri telah mengatakan bahwa dia mendukung rencana percepatan pemilu pada tahun 2024, dari jadwal sebelum pada 2026. Namun, para pengunjuk rasa menilai itu belum cukup cepat.
Advertisement
Dari Castillo Kemudian Meluas
Protes yang berlarut-larut di Peru dimulai pada awal Desember untuk menunjukkan dukungan kepada Castillo yang digulingkan. Tetapi, seiring waktu dan bertambahnya jumlah korban jiwa, aksi bergeser dengan tuntutan yang lebih luas, yakni pembebasan Castillo, pengunduran diri Boluarte, pembubaran kongres, dan percepatan pemilu.
Castillo, yang merupakan mantan guru, adalah seorang pemula dalam politik Peru. Ia naik ke tampuk kekuasaan setelah menang tipis dalam pemilu tahun 2021, yang mengguncang negara itu dan menyibak perpecahan mendalam antara penduduk ibu kota dan pedesaan yang lama terabaikan.
Adapun Castillo digulingkan dan ditahan setelah ia mencoba membubarkan parlemen demi menghindari pemungutan suara untuk memakzulkannya. Pasca peristiwa itu, Boluarte yang menjabat sebagai wakil presiden, menggantikannya.