Liputan6.com, Yogyakarta Masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit masih miskin. Antropolog dari Universitas Indonesia, Suraya Afif mengatakan penyebabnya adalah belum jalannya program reformasi agraria yang dicanangkan pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah seharusnya membuat kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan sawit dan tidak sekedar memberikan konsesi lahan pada perusahaan sawit.
“Pemerintah perlu mengatasi atas keterlanjuran ini. Isu agraria harus menjadikan persoalan kemiskinan dan stunting menjadi tujuan utama untuk memberikan kesejahteraan pada masyarakat di pedesaan. Di daerah sekitar perkebunan sawit kelompok perempuan paling terkena dampak,” kata Afif dalam Konferensi Internasional yang bertajuk The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the politic of social Protection in Indonesia, di Gedung Masri Singarimbun, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Rabu 18 Januari 2023.
Afif menyebutkan hasil penelitiannya, banyak pemuda dan perempuan di desa sekitar perkebunan sawit yang keluar dari desa. Hal ini karena mencari penghasilan baru ke perkotaan sebab tidak memiliki mata pencaharian.
Baca Juga
Advertisement
"Sebenarnya obsesi mereka punya lahan untuk mata pencaharian namun lahan dikuasai perusahaan perkebunan,” jelasnya.
Menurutnya penduduk desa sekitar perkebunan sawit saat ini tidak hanya kesulitan untuk mendapatkan akses sumber penghasilan, tapi juga memiliki kendala akses pada sumber pangan.
"Tidak hanya hidup miskin, para anggota keluarga juga mengalami persoalan stunting," paparnya.
Sosiolog dari Universitas Sumatera Utara Henri Sitorus mengatakan saat ini yang dibutuhkan masyarakat sekitar perkebunan sawit adalah pembukaan akses pangan dan sumber daya lahan.
“Studi kasus yang kita temukan sangat beragam terkait keamanan pangan dan perikanan. Belum lagi ketimpangan dan kesempatan kerja di perusahaan perkebunan sawit meski hanya sebagai buruh lepas,” katanya.