Liputan6.com, Jakarta Unjuk rasa sejumlah kepala desa menuntut perpanjangan masa jabatan dari enam tahun ke sembilan tahun dimungkinkan terlaksana. Meski demikian diharapkan tuntutan itu tak diikuti level atas khususnya jabatan presiden.
Hal itu diungkapkan Ketua Institut Harkat Negeri, Sudirman Said. Ia menilai perubahan dalam perpanjangan masa jabatan kepala desa bisa dimungkinkan. Sekalipun demikian ia menyoroti soal respons cepat dalam aturan itu.
Advertisement
"Aturan diubah dengan cepat, apakah itu tepat? Itu perlu dipertanyakan. Periode enam tahun sudah sangat cukup, jika dilihat dari latar belakang pembahasan terciptanya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa seharusnya tidak serta merta usulan itu diterima tapi perlu dipelajari secara mendalam,” jelas Sudirman Said, Sabtu (21/1/2022).
Sebelumnya diketahui sejumlah kepala desa mendatangi Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (17/1/2022). Mereka menuntut agar perpanjangan masa jabatan dari enam tahun menjadi sembilan tahun segera diberlakukan.
Menyikapi hal itu Sudirman mengaitkan dengan suasana yang terdengar saat ini tentang perpanjangan masa jabatan presiden, menurutnya jangan sampai respons terhadap unjuk rasa kepala dasa ditanggapi sama dengan pihak-pihak yang ingin memperpanjang jabatan di level kepemimpinan nasional.
"Melihatnya harus dari sisi moral publik, kewajaran, kepatutan, bukan semata-mata dari sisi legalistik yang bisa saja dibuat," tambah aktivis kemanusiaan ini yang juga pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia.
Ia lantas membayangkan bila nantinya bupati dan wali kota melakukan hal yang sama. Tentunya hal itu akan menjadi permasalahan etika dan kepatuhan.
Karena itu dia meminta agar DPR cermat. Sebab terlepas dari tuntutan para kepala desa, menurutnya di DPR banyak sekali agenda-agenda mendesak. Ia mempertanyakan mengapa usulan ini langsung direspons untuk dikaji padahal banyak proses yang perlu dilewati seperti kajian akademis, prolegnas dan sosialisasi ke masyarakat.
"DPR juga harus bertanya pada rakyat apakah perpanjangan jabatan ini menjadi solusi terhadap masalah-masalah di pedesaan?" tambahnya.
Selain itu, mantan Menteri ESDM itu juga menyoroti pentingnya mengingatkan kalangan yang berada di pucuk kepemimpinan agar mengedepankan nurani, kebenaran, kewajaran serta kepatutan dalam membuat keputusan-keputusan penting.
"Agregasi kekuatan masyarakat sipil harus muncul untuk mengingatkan dengan mengedepankan moralitas, karena secara alami kekuasan cenderung korup, maka harus ada proses check and balance," jelasnya.
Bahaya Berpikir Legalistik
Sebagai contoh ia kemudian menyebutkan beberapa posisi penting di tingkat elite. Menurutnya ada tiga level, yakni pertama yang paling rendah yang paling primitif adalah keserakahan, apa pun yang kita mau dikerjakan apakah itu legal atau tidak, yang kedua adalah legalistik melihat hukum yang boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan dan yang paling tinggi adalah level etik.
Ia lantas menjelaskan, ketika seseorang ada di ketinggian di tempat-tempat puncak sebetulnya berbahaya untuk berpikir secara legalistik, karena menurutnya orang yang berada di puncak atau pimpinan tertinggi itu bisa saja membuat peraturan.
Apabila hanya berfikir legalistik maka apa pun yang diinginkan akan dicarikan legal hukumnya.
"Jangan meneruskan praktik-praktik bernegara yang semakin hari meninggalkan aspek kepatutan, dan masyarakat harus didorong untuk menyuarakan terus sikap kritisnya," tutupnya.
Advertisement