Liputan6.com, Yogyakarta Setiap musim haji datang, Kementerian Agama Republik Indonesia menyampaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (biasa disingkat BPIH) dan sekaligus memberikan usulan besaran Biaya perjalanan ibadah haji (lazim disingkat Bipih). Tahun 2023 ini, Kemenag mengusulkan BPIH sebesar Rp 98.893.909 per jamaah. Sedangkan Bipih diusulkan sebesar Rp.69.193.733,60.
Mengetahui usulan tersebut, mantan anggota Dewan Pengawas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) 2017-2022, Muhammad Akhyar Adnan menerangkan bahwa setiap jamaah akan mendapatkan subsidi sebesar Rp.29.700.175,40. “Kalau diperhitungkan bahwa setiap jamaah sudah memiliki akumulasi virtual account (berdasarkan bagi hasil yang dibagikan BPKH dua kali setahun), tentu akan berkurang sebesar akumulasi Virtual Account tersebut,” kata Muhammad Akhyar dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (22/01).
Advertisement
Ia memberi contoh, misalnya saja jumlahnya Rp3 juta, maka setiap jamaah harus menyiapkan Rp29.700.175,40 dikurangi Rp3.000.000,- sama dengan Rp26.700.175,40. Padahal, sebelum pandemi, termasuk pada tahun 2022, jamaah hanya melunasi sebesar Rp10 juta saja.
Beratkah angka ini?
Menurut Muhammad Akhyar, itulah yang selalu menjadi bahan perdebatan. Kalau dibandingkan dengan masa sebelum pandemi, atau bahkan tahun 2022, ketika setoran lunas hanya Rp10juta, maka tentu terasa mahal dan lebih berat. Akhyar mengajak masyarakat untuk lihat kenaikan komponen biaya haji, mulai dari depresiasi (rupiah terhadap dolar AS dan Riyal Saudi Arabia) naiknya biaya pesawat, hotel atau akomodasi, konsumsi, sampai dengan beban masyair yang tahun lalu naik dari SAR1500 menjadi SAR6000, maka kenaikan tersebut menjadi dapat ‘dimaklumi’.
“Apalagi kalau memang difahami dengan sungguh-sungguh penegasan Allah swt dalam QS 3:97, bahwa ada syarat [mutlak] kesanggupan, maka semuanya menjadi dapat difahami dan dimaklumi. Artinya – dalam bahasa yang lebih lugas – jangan memaksakan diri, kalau memang belum sanggup,” jelasnya.
Sebuah perbandingan lain, dapat diberikan bahwa bila seseorang berumrah rela membayar Rp25juta untuk periode menetap di KSA selama 10hari, maka untuk menetap 40 hari (masa haji), wajar bila total biaya menjadi 4 x Rp25juta, atau Rp100juta. Ini belum mempertimbangkan bahwa musim haji terjadi dalam peak season, ketika semua komponen biaya naik setidaknya dua kali lipat di luar musim haji. Apalagi dari semua setoran tersebut, sebesar SAR1500 akan dikembalikan sebagai living cost jamaah haji.
Terkait tudingan yang dilemparkan oleh Iskan Qalba Lubis dari Komisi VIII DPR RI bahwa kisruh biaya haji karena kesalahan BPKH di masa lalu, Akhyar menganggap kalau tudingan tersebut tidak beralasan sekaligus absurd.
“Untuk diketahui masyarakat bahwa BPKH sudah lama membaca dan bahkan mengkaji sustainabilitas dana haji. Intinya, bila tidak ada perubahan kebijakan dalam pengelolaan dana haji, maka memang akan ada ancaman terjadi Ponzi Scheme, ketika suatu tahun nanti, subsidi jamaah berangkat [harus] diambilkan dari setoran jamaah tunggu. Atas dasar ini, sudah sejak beberapa waktu yang lalu BPKH mengajak agar semua pihak menyadari hal ini dan sekaligus mengantisipasi dan melakukan mitigasi,” kata Akhyar yang juga Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Langkah Antisipasi dan Mitigasi
Antara lain, jelas Akhyar, dengan menghitung Bipih secara lebih realistis. Sederhananya, kurangi besaran subsidi untuk jamaah berangkat, karena pada hakekatnya Nilai Manfaat yang dihasilkan BPKH adalah milik seluruh jamaah, bukan hanya ‘hak’ jamaah berangkat. Tetapi, mengapa selama ini jamaah berangkat diberikan subsidi besar, dengan menggunakan hak milik jamaah tunggu. Bukankah ini tidak adil dan sekaligus zalim?
Tetapi apa yang terjadi? Nyatanya, konsep dan usulan ini selalu ditolak Komisi VIII DPR. Mengapa? Tentu karena alasan politis, agar ada kesan bahwa sebagian anggota DPR Komisi VIII dipandang berjuang oleh konstituennya, agar tidak ada kenaikan Bipih, walau itu dilakukan secara tidak adil, karena pada hakikatnya besaran subsidi yang dulu ‘dibungkus’ dengan istilah indirect cost, adalah ‘milik’ jamaah tunggu.
Atas dasar itulah, Akhyar berpendapat bahwa tuduhan Iskan Qalba Lubis tidak berdasar dan tidak konsisten. Terutama ketika dia menyalahkan pihak lain (BPKH) dalam pengelolaan dana haji, apalagi ketika menuduh atau menyalahkan penggunaan Nilai Manfaat yang terlalu besar untuk jamaah yang sudah berangkat sebelum ini. “Bukankah selama ini Iskan yang selalu menolak usulan menaikkan Bipih untuk tahun-tahun sebelumnya?” tanya Akhyar.
Adakah Solusi Kisruh Biaya Haji?
Setiap penyakit ada obatnya, dan setiap problem tentu ada solusinya. Akhyar memandang, setidaknya ada ada dua kategori solusi.
“Pertama: fundamental, strategis dan jangka panjang. Kedua: parsial, taktikal dan jangka pendek,” sebutnya.
Solusi yang fundamental, strategis dan akan bermanfaat untuk jangka panjang sebetulnya lebih mudah secara teoritis, walau mungkin agak berat pada sisi implementasinya.
Akhyar mengajak semua elemen berpegang teguh apa yang ditegaskan Allah swt dalam QS 3:97, bahwa ibadah haji itu mempunyai syarat istitho’ah, yakni kemampuan yang selama ini dirumuskan dalam tiga bentuk: (a) mampu finansial, (b) keamanan dan (c) kesehatan. Ini berarti, bahwa hanya bagi yang mampu saja kewajiban itu berlaku. Bagi yang belum atau tidak mampu, walau sudah berusaha, maka sesungguhnya gugurlah kewajiban tersebut baginya. Apa maknanya? Tentu tidak ada istilah subsidi dalam beribadah haji.
Makanya setiap jamaah harus membayar at cost besaran Bipih. Bahwa – karena sudah lama ‘menabung’ di BPKH – lalu mendapatkan bagi hasil atau Nilai Manfaat, itu sah dan menjadi miliknya.
“Sebaliknya, BPKH tidak perlu pusing-pusing untuk memilah-milah besaran subsidi untuk jamaah berangkat dan jamaah tunggu. Semua Nilai Manfaat yang dihasilkan dibagi secara proporsional untuk jamaah haji. Dengan demikian issue tahunan tentang BPIH dan Bipih selesai dengan sendirinya dan tidak perlu diributkan lagi setiap tahun,” jelasnya.
Lantas, bagaimana dengan solusi jangka pendeknya?
Advertisement
Mengatur Proporsi Perbandingan Bipih
Dalam hal ini, Akhyar menyampaikan ada beberapa alternatif. Tetapi, karena terbatasnya ruangan, penting untuk fokuskan kepada salah satunya saja.
“Apa yang saat ini coba ditawarkan oleh Kemenag RI dan BPKH, mungkin dapat dipertimbangkan. Yakni dengan mengatur proporsi perbandingan Bipih : Nilai Manfaat sebesar 70%:30%. Secara berkala dilakukan perubahan, misalnya menjadi 75%:25%; 80%:20%, 85%:15%, dan seterusnya,” jelasnya.
Hal tersebut, menurut Akhyar memang akan selalu mengundang perdebatan, karena tidak diketahui dasar [ilmiah] perbandingan 70%:30% itu. Ia mencontohkan seperti tahun 2023 ini saja, berbagai komentar muncul, termasuk dari mereka yang sudah setiap tahun membahas BPIH dan Bipih ini. Resiko ini tidak bisa diatasi, karena pilihan ini mengandung unsur-unsur non-ubudiyyah, termasuk unsur atau pertimbangan politik.
“Satu hal dapat dipertimbangkan BPKH untuk mengatasi faktor ‘kaget’ dan banyak yang tidak siap dengan dana keberangkatan yang cukup besar dalam waktu ‘singkat’, yakni dengan membuka kesempatan jamaah tunggu menambah tabungan dananya secara berkala, apakah tiap bulan, tiap pekan bahkan tiap hari. Konsekuensinya adalah BPKH harus menghitung dan membagi Nilai Manfaat secara proporsional Nilai Manfaat kepada setiap jamaah. Sehingga ini mirip dengan peran Bank yang biasa menerima tabungan nasabah,” jelasnya.
Dengan demikian, ketika diumumkan besaran BPIH dan Bipih, maka jamaah tidak lagi terlalu kaget mendengar jumlahnya dan berusaha untuk menutup kekurangannya.
“Di sisi lain, BPKH juga akan mendapat tambahan dana kelola, tidak hanya dari setoran awal, tetapi juga ada setoran berjalan,” tutup Akhyar.
(*)