Wamendes: Wacana Jabatan Kades 9 Tahun Dikaji Serius, Bukan Semata-mata Komoditas Politik

Wakil Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Budi Arie Setiadi, menanggapi soal usulan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Menurutnya, wacana itu mesti dikaji secara mendalam.

oleh Jonathan Pandapotan Purba diperbarui 31 Jan 2023, 12:49 WIB
Wakil Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Budi Arie Setiadi (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Budi Arie Setiadi, menanggapi soal usulan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun. Menurutnya, wacana itu mesti dikaji secara mendalam.

"Usulan masa Jabatan Kades 9 Tahun harus dikaji serius dan mendalam melibatkan seluruh pihak karena di tingkat juklak dan juknis perlu implementasi yang utuh serta komperhensif," kata Budi lewat keterangannya, Senin (23/1/2023).

Budi menjelaskan, pemilihan Kades di desa-desa tidak dilakukan secara serentak. Selain itu, karakteritik desa- desa di Indonesia juga sangat beragam.

"Yang utama dan harus diperhatikan adalah aspirasi warga desa. Sebab pembangunan desa harus diabadikan seluruh nya untuk kemajuan desa serta peningkatan kesejahteraan warga desa," ucapnya.

Budi melanjutkan, fokus pembahasan hal ini adalah total masa jabatan kades. Dia berkata, jabatan kades 9 tahun bukan semata-mata untuk komoditas politik.

"Concernnya di total masa jabatan kades. Apakah tetap 18 tahun atau jadi 27 tahun. Wacana Masa jabatan Kades 9 tahun bukan semata-mata komoditas politik tapi betul-betul keinginan untuk membangun dan memajukan desa," tuturnya.

"Sebab masa depan indonesia ada di desa. Jadi membangun dan memajukan desa adalah upaya memajukan desa. Indonesia maju akan terwujud jika desa- desa nya maju," tandas Budi.


Tak Ada Keuntungan Bagi Rakyat

Sementara, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai, tak ada keuntungan bagi rakyat apabila masa jabatan Kades diperpanjang.

"Jika 9 tahun yang mendapat keuntungan hanya kepala Desanya. Sementara rakyat di Desa rugi. Sebab regenerasi kepemimpinan di Desa akan sangat lambat," kata Ubedilah lewat pesan tertulis, Jumat (20/1).

Menurutnya, anak- anak muda di desa yang punya visi besar membangun desa akan terhambat menjadi kades. Setidaknya, lama menunggu giliran menjadi kepala desa.

"Apalagi jika kepala desa incumbent terpilih lagi selama tiga kali pemilihan jadi bisa 27 tahun jadi kepala desa. Nah generasi muda kehilangan kesempatan minimal 9 tahun," ujarnya.

Akhirnya, kata Ubedilah, desa terus menerus dipimpin generasi tua maka energi perubahannya rendah, bahkan semakin hilang.

"Akhirnya rakyat di desa yang dirugikan karena minimnya gagasan-gagasan baru," ucapnya.

Ubedilah menilai, 6 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk melaksanakan program-program desa. Termasuk untuk mengatasi keterbelahan sosial akibat pilkades.

"Juga waktu yang sangat lama untuk untuk memerintah desa dengan jumlah penduduk yang rata-rata hanya puluhan ribu," kata dia.


Masalah Utama

Menurutnya, masalah utamanya bukan soal kurangnya waktu masa jabatan. Melainkan minimnya kemampuan kepemimpinan kades untuk melaksanakan pembangunan desa. Selain itu, minimnya kemampuan kepala desa untuk mengatasi masalah keterbelahan sosial pasca pilkades.

"Itu masalah substansinya. Jadi diperpanjang 9 tahun pun jika masalah substansinya tidak diatasi maka Kepala Desa tidak akan mampu jalankan program programnya dengan baik termasuk tidak mampu atasi problem keterbelahan sosial itu. Jadi solusinya bukan perpanjang masa jabatan," tuturnya.

Ubedilah juga menepis alasan bila dana pilkades lebih baik diperuntukkan untuk pembangunan. Menurutnya, dana pilkades sudah disiapkan APBN dan sudah dianggarkan sesuai peruntukannya. Dana itu juga tidak menguras APBN dan tak mengganggu uang negara seperti pembangunan kereta cepat dan pembangunan IKN.

"Sebab angka dana pilkades itu seluruh Indonesia saya hitung totalnya tidak sampe Rp50 triliun itupun pilkades tidak dilakukan serentak, masing-masing daerah berbeda-beda waktunya sehingga dananya tidak dubutuhkan dalam waktu yang sama," jelasnya.

Dia berkata, argumen perpanjangan masa jabatan kepala desa lemah dan merusak demokrasi. Sebab, jabatan publik yang dipilih rakyat dalam demokrasi harus dipergilirkan agar terhindar dari kecenderungan otoriter dan korupsi.

"Bayangkan 6 tahun saja sudah ada 686 kepala desa tersangka korupsi, apalagi 9 tahun," ujarnya.

Dia melanjutkan, menurut pasal 39 UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan, Kepala Desa dapat ikut pilkades selama tiga periode berturut - turut atau tidak berturut-turut. Bila 9 tahun, berarti kepala desa bisa menjabat sampai 27 tahun.

"Jadi kekuasaan yang terlalu lama itu cenderung absolut dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Jabatan 9 tahun hingga berpeluang 27 tahun terlalu lama dan berpotensi besar menjadi absolut," ucapnya.

Sumber: Muhammad Genantan Saputra/Merdeka.com

 

Infografis Nomor Urut 18 Parpol Peserta Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya