Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan wisata di Machu Picchu dan Inca Trail Network -paket perjalanan menyusuri jejak masyarakat Inca di masa lalu- terpaksa dihentikan sementara sampai batas waktu yang belum ditentukan. Hal ini merupakan dampak dari kerusuhan politik di Peru.
Dikutip dari CNN, Senin (23/1/2023), Direktorat Kebudayaan Terdesentralisasi dan Direktorat Suaka Sejarah Machu Picchu mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Jumat, 20 Januari 2023, bahwa wisatawan yang memiliki tiket masuk tertanggal 21 Januari 2023 atau setelahnya dapat mengklaim pengembalian uang hingga satu bulan setelah protes berakhir.
Baca Juga
Advertisement
Sementara, menurut situs berita pemerintah Peru, Andina, sebagian jalur kereta api Urubamba - Ollantaytambo - Machu Picchu rusak selama protes anti-pemerintah pada Kamis, 19 Januari 2023. Situasi itu memaksa penghentian layanan kereta hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Layanan kereta yang ditangguhkan menyebabkan 417 orang, termasuk 300 warga negara asing, terdampar di Distrik Machu Picchu. Setidaknya 300 dari turis itu adalah orang asing, menurut Menteri Perdagangan Luar Negeri dan Pariwisata Peru Luis Helguero.
Helguero mengatakan pihak berwenang sedang mengevaluasi dan memperbaiki kerusakan agar para wisatawan dapat dievakuasi. Beberapa turis telah dievakuasi dengan berjalan kaki, tetapi perjalanan itu, kata Helguero, memakan waktu setidaknya enam hingga tujuh jam.
PeruRail mengatakan pada Kamis pekan lalu bahwa pihaknya menangguhkan layanannya ke dan dari Machu Picchu, di antara tujuan lainnya, karena jalur diblokir dan rusak di berbagai tempat. "Kami menyesali ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh penumpang kami karena situasi di luar kendali perusahaan karena protes di Cuzco," kata pernyataan itu.
Protes Berlanjut
Awal pekan ini, CNN melaporkan protes di Peru berlanjut di seluruh negeri yang menyebabkan sedikitnya 30 orang terluka. Setidaknya dua petugas polisi terluka dan 11 orang ditahan saat protes berubah menjadi kekerasan di selatan kota Puno pada Jumat pekan lalu.
Sebuah kantor polisi di Puno dibakar. Menteri Dalam Negeri Vicente Romero mengatakan pengunjuk rasa menyerang kantor polisi, gedung pemerintah, dan bisnis swasta di seluruh negeri.
Pada Sabtu, 21 Januari 2023, Polisi Nasional Peru menyerbu Universitas Nasional San Marcos untuk membubarkan pengunjuk rasa, kata pihak kepolisian di Twitter. Menurut cuitan tersebut, pihak berwenang diminta oleh perwakilan hukum universitas yang mengatakan orang tak dikenal "telah menggunakan kekerasan" terhadap staf universitas dan mengambil alih kampus universitas, termasuk memblokade pintu kampus.
Sekitar 200--300 politi memasuki kampus dengan bantuan kendaraan lapis baja untuk membubarkan pengunjuk rasa. Menurut kantor berita Andina, pihak berwenang juga menggunakan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa yang berjaga di dekat pintu masuk.
Pihak universitas tersebut mengatakan pada hari yang sama bahwa Kepolisian Nasional telah membersihkan pintu universitas, yang diduduki oleh pengunjuk rasa yang 'berpartisipasi dalam unjuk rasa di tingkat nasional'. Menteri Dalam Negeri Peru Vincent Romero Fernandez mencuit bahwa lebih dari 100 pengunjuk rasa ditangkap.
Advertisement
Kekerasan Politik Terburuk
Mengutip kanal Global Liputan6.com, ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di ibu kota Peru pada Jumat, 20 Januari 2022. Mereka mengumumkan akan terus beraksi untuk menuntut pengunduran diri Presiden Dina Boluarte.
"Boluarte, mundurlah! Mau apa Anda dengan Peru kami?" teriak Jose Luis Ayma Cuentas, yang rela bepergian hingga 20 jam dari Puno selatan untuk sampai ke Lima seperti dikutip dari AP, Sabtu 21 Januari 2023.
"Kami akan tinggal di sini sampai dia (Boluarte) mundur, sampai kongres dibubarkan, sampai ada pemilihan baru, jika tidak, kami tidak akan ke mana-mana," imbuhnya.
Banyak pengunjuk rasa dilaporkan datang dari Andes, daerah terpencil yang menjadi asal Pedro Castillo, Presiden Peru yang dimakzulkan dan dipenjara bulan lalu. Selama ini, protes yang diwarnai kerusuhan dilaporkan berpusat di wilayah selatan Peru dan telah menewaskan 55 orang dengan 700 lainnya terluka.
Sekarang, para pengunjuk rasa dinilai ingin menjadikan Lima, rumah bagi sekitar sepertiga dari populasi Peru yang berjumlah 34 juta, sebagai titik fokus demonstrasi yang dimulai ketika Boluarte dilantik pada 7 Desember 2022. Protes memicu kekerasan politik terburuk di negara itu dalam lebih dari dua dekade.
Rakyat Marah
Dalam protes yang berlangsung pekan lalu, para demonstran lebih terorganisir dari hari sebelumnya dan mereka mengambil alih jalan-jalan utama di pusat kota Lima sambil mengibarkan bendera dan meneriakkan, "Darah yang tumpah tidak akan pernah terlupakan", "Rakyat jangan menyerah", dan slogan-slogan lainnya.
Sementara itu, polisi dilaporkan lebih agresif dibanding hari sebelumnya. Mereka menembakkan gas air mata secara lebih membabi buta. Sekelompok pengunjuk rasa yang sedang duduk di alun-alun di depan Mahkamah Agung tanpa menimbulkan gangguan tiba-tiba harus berlarian ketika polisi yang mendekat menembakkan gas air mata, memenuhi area itu dengan asap dan bau menyengat.
"Saya marah, geram," kata Maddai Pardo Quintana. "Mereka ingin kita menghormati mereka, tetapi jika mereka memimpin dengan memberi contoh dan menghormati kita, kita juga pasti akan lebih menghormati mereka."
Pardo berasal dari Provinsi Chanchamayo. Ia juga bersumpah untuk tetap tinggal di ibu kota sampai Boluarte setuju untuk mengundurkan diri.
Protes yang berlarut-larut di Peru dimulai pada awal Desember untuk menunjukkan dukungan kepada Castillo yang digulingkan. Tetapi, seiring waktu dan bertambahnya jumlah korban jiwa, aksi bergeser dengan tuntutan yang lebih luas, yakni pembebasan Castillo, pengunduran diri Boluarte, pembubaran kongres, dan percepatan pemilu.
Advertisement