Liputan6.com, Jakarta - Menurut survei dari organisasi filantropi, hanya 16,5 persen remaja berusia 17 hingga 19 tahun di Jepang yang percaya bahwa mereka pasti akan menikah di masa depan. Sementara, sisanya menyebutkan masalah psikologis dan finansial menjadi sandungan untuk menikah.
Melansir dari laman Japan Today pada Senin, 23 Januari 2023, angka rendah yang terlihat dalam survei online pada Desember 2022 oleh Nippon Foundation kontras dengan 65,5 persen dari 1.000 responden yang mengatakan ingin menikah. Sementara, 17,4 persen menyatakan tidak memiliki keinginan tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Dalam pertanyaan pilihan ganda yang menanyakan mengapa responden percaya mereka tidak akan menikah, 47,3 persen dari 514 pria yang memberikan jawaban valid mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pasangan atau berpikir mereka tidak akan menemukan pasangan.
Sisanya, 23,2 persen menyebutkan kesulitan dalam hal keuangan. Di antara 486 responden wanita, 52,3 persen mengatakan secara psikologis tidak terlalu membebani menjadi lajang.
Sebanyak 36,9 persen menyatakan tidak ingin membesarkan anak dan 35,1 persen menyatakan tidak ingin kehilangan kebebasannya, dengan persentase perempuan yang memberikan jawaban demikian lebih tinggi daripada responden laki-laki. Dalam masyarakat Jepang yang mulai menua, diyakini ada korelasi positif antara penurunan pernikahan dan penurunan kelahiran.
Jumlah bayi yang lahir di ekonomi terbesar ketiga di dunia itu kemungkinan akan turun ke rekor terendah selama tujuh tahun berturut-turut pada 2022. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Jepang, baru-baru ini, jumlah bayi yang lahir ada di bawah garis 800 ribu untuk pertama kalinya.
Penurunan Kelahiran
Terkait penurunan kelahiran di Jepang, 74,1 persen responden mengatakan mereka merasakan krisis. Ketika ditanya mengenai kendala memiliki anak, jawaban beban keuangan menjadi kendala terbesar yang disebutkan baik oleh responden laki-laki maupun perempuan. Sementara, menggratiskan pendidikan adalah salah satu langkah yang paling mereka inginkan untuk diterapkan pemerintah dalam mengatasi penurunan kelahiran.
Melansir dari DW, Kementerian Jepang menyebut pandemi Covid-19 sebagai salah satu faktor dalam penurunan tingkat kelahiran. Jumlah rata-rata anak yang akan dimiliki seorang wanita selama hidupnya terus turun selama enam tahun terakhir.
Hal lainnya yang membuat populasi menyusut di Jepang adalah 1,44 juta orang di Jepang meninggal pada tahun yang sama. Aya Fujii, seorang psikolog menyebutkan bahwa ada beberapa alasan yang ia lihat di masyarakat terhadap penurunan kelahiran.
"Salah satunya adalah bahwa tidak seperti di negara lain, upah di sini pada dasarnya tetap sama selama bertahun-tahun. Itu berarti banyak anak muda melihatnya sebagai beban keuangan yang terlalu besar untuk mencoba memiliki keluarga," jelasnya.
Advertisement
Tunjangan Anak
Menurut Japan News, penting untuk memahami pemikiran dan keadaan ekonomi generasi muda. Pemerintah telah menetapkan peningkatan layanan pendidikan dan pengasuhan anak usia dini, promosi reformasi untuk keseimbangan kehidupan kerja, dan dukungan keuangan sebagai pilar langkah-langkah baru. Di antara langkah-langkah dukungan keuangan, pemerintah juga telah mempertimbangkan untuk memperluas tunjangan anak.
Saat ini, 10 ribu hingga 15 ribu yen atau setara dengan Rp1,1 juta hingga Rp1,7 juta per bulan ditawarkan pemerintah Jepang untuk setiap anak hingga usia sekolah menengah pertama. Setelah ide ini keluar, ada gagasan baru lainnya untuk menaikkan tunjangan menjadi Rp3,4 juta untuk anak kedua dan Rp6 juta untuk anak ketiga dan seterusnya.
Masalah sulit lainnya adalah bagaimana mendapatkan 2,5 triliun yen atau setara dengan Rp288 triliun sumber daya keuangan yang akan dibutuhkan untuk memperluas tunjangan anak. Jika pemerintah mengandalkan menaikkan pajak atau menerbitkan obligasi penutup defisit, beban rumah tangga yang mengasuh anak dan generasi mendatang hanya akan bertambah.
Program Lumpsum
Tidak hanya tunjangan anak yang diupayakan oleh pemerintah Jepang. Melansir Sora News 24, untuk meningkatkan tingkat kelahiran di Jepang Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan berharap janji uang tunai tambahan di bank akan mendorong lebih banyak orang untuk menambah bayi pada tiap-tiap keluarga.
Saat ini, orangtua baru di Jepang menerima Hibah Lumpsum Persalinan dan Perawatan Anak sebesar 420 ribu yen atau setara dengan Rp48 juta setelah kelahiran anak mereka. Menteri Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang Katsunobu Kato ingin menaikkan angkanya menjadi Rp57 juta.
Rencananya, program tersebut akan diserahkan oleh Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan berharap akan disetujui untuk diberlakukan pada 2023 yang dimulai pada musim semi. Namun, peningkatan jumlah hibah seperti itu tidak akan membuat siapa pun termotivasi untuk memiliki anak dan mungkin bukan insentif yang efektif. Menurut surat kabar Mainichi Shimbun, rata-rata nasional untuk biaya melahirkan adalah sekitar 473 ribu yen atau sekitar Rp54 juta.
Advertisement