Jangan Panik, Perdagangan Karbon Tak Bikin Tarif Listrik Naik

Pemerintah resmi memulai mekanisme perdagangan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, dan akan terus dikembangkan untuk sektor ketenagalistrikan lainnya.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 24 Jan 2023, 15:30 WIB
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi memulai mekanisme perdagangan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara, dan akan terus dikembangkan untuk sektor ketenagalistrikan lainnya guna menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK).

Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjamin, implementasi perdagangan karbon ini tidak sampai membuat tarif listrik untuk masyarakat naik.

Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana berpendapat, kewajiban untuk memenuhi Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) tidak akan memberatkan perusahaan pembangkit listrik secara biaya.

"Kan ini angkanya berasal dari housekeeping, berasal dari peningkatan efisiensi yang tidak memerlukan biaya. Sehingga ini tidak mengakibatkan BPP (biaya pokok penyediaan) di pembangkit tersebut naik," terang Dadan di Jakarta, Selasa (24/1/2023).

Guna menghindari shock, ia mengatakan, pengenaan batas atas emisi di sektor ketenagalistrikan bakal dijalankan secara bertahap.

Untuk fase pertama, pemerintah target penurunan emisi 500 ribu ton CO2 dari penerapan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU). Itu berarti 1/500 dari target penurunan 250 juta ton CO2 dari sektor ketenagalistrikan.

Ke depan, Dadan menyatakan, angka itu bakal dinaikkan secara bertahap. Ia pun memastikan perusahaan pembangkit listrik tidak akan mengeluarkan ongkos besar untuk proses tersebut.

"Upaya tersebut tuh tanpa biaya juga. Kita kan sudah pernah melakukan audit ke pembangkit. Misalkan kontrol pembakarannya di-setting lagi. Itu tuh yang akan kita lakukan di 1-3 tahun pertama," tutur dia.

 


Perdagangan Karbon PLTU Resmi Dimulai, Target Emisi Turun 500 Ribu Ton

Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi memulai perdagangan karbon di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap, atau PLTU berbasis batu bara. Tujuannya, untuk menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dilaksanakan secara bertahap.

Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Subsektor Pembangkit Tenaga Listrik.

Lewat aturan tersebut, mekanisme perdagangan karbon tahap awal dimulai pada 2023-2024 untuk PLTU yang terhubung ke jaringan PLN. Targetnya, target penurunan emisi GRK sesuai Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 31,89 persen di 2030 bisa dimulai bertahap pada sektor kelistrikan, yakni 500 ribu ton.

"Tujuan utamanya adalah, memastikan bahwa terjadi penurunan emisi gas rumah kaca. Menurut saya outcome-nya harus ada nih, real penurunannya. Kita tidak ingin ini menjadi tukar menukar dokumen saja nanti, yang lebih membeli kepada yang kurang. Begitu ditotal ini balance-nya 0," kata Plt Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, Selasa (24/1/2023).

Kendati emisi diturunkan, Dadan ingin suplai dan harga listrik ke masyarakat tetap andal serta terjangkau. Oleh karenanya, penetapan angka Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) di fase awal ini tetap bersahabat.

"Tapi kita pun akan melihat bahwa di ujungnya kita akan mendapat penurunan (emisi gas rumah kaca). Dari perhitungan kami, angkanya 500 ribu ton untuk tahun ini. Memang kalau melihat ke angka 240-250 juta ton yang berasal dari sektor ketenagalistrikan, angkanya 1/500. Tidak besar," terangnya.


Siap Beri Sanksi

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Menurut dia, angka 500 ribu ton penurunan emisi di sektor kelistrikan ini sudah relatif besar. Secara perhitungan, PLTU dengan kapasitas 1 GW membuang emisi 5 juta ton. Artinya, ada 100 MW skala PLTU yang tidak dioperasikan.

"Kalau pakai PLTS, ini tinggal dikali 5. Jadi kira-kira nilainya sama dengan menyediakan listrik yang lebih bersih dengan skala 0,5-0,6 gw yang dibangun baru. Tapi kan kita tidak membangun, kita menggeser," jelas Dadan.

Dadan menekankan, pemerintah siap memberi sanksi bagi pembangkit listrik yang tidak memenuhi ketentuan batas atas emisi. Adapun alokasi PTBAE-PU untuk PLTU pada 2023 diberikan sebesar 100 persen kuota emisi untuk transaksi perdagangan karbon.

"Ini adalah regulasi wajib, ini adalah mandatori. Nanti gimana pak kalau saya tidak bisa memenuhi? Karena dalam permennya kan sanksinya relatively normal. Saya misalkan harusnya 100 (persen), bisanya 80 (persen)," jelasnya.

"Di tahun berikutnya, dikurangi 20 (persen) karena masih punya utang 20 (persen). Kalau enggak, kita bawa aja terus, kita akan catat, apakah nanti dikonversi jadi pajak karbon, misalkan. Karena sekarang kan belum siap," pungkas Dadan. 


Banyak yang Perlu Dibenahi dalam Pasar Karbon Indonesia

Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Salah satu bahasan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) adalah masalah pasar karbon. Dalam RUU PPSK ini akan mengatur mengenai desain infrastruktur bursa karbon, hingga sistem pengawasan oleh regulator yang relevan.

"Secara umum urgensi hadirnya pasar karbon sejalan dengan upaya Pemerintah tahun 2016 saat menyampaikan nationally determined contribution (NDC) sebagai komitmen terhadap program penurunan emisi karbon global," ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Selasa (22/11/2022).

Dia menjelaskan, melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan sebesar 41 persen dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

Sementara kebutuhan biaya untuk mitigasi perubahan iklim secara akumulatif selama 2020-2030 mencapai Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun per tahun, angka tersebut tidak mungkin seluruhnya ditutup dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), kata dia.

Selain itu, kehadiran pasar karbon diharapkan menjadi solusi untuk menutup kebutuhan pendanaan yang besar dari sisi pelaku usaha.

Mengingat urgensi kehadiran pasar karbon, maka pembahasan pasar karbon dalam RUU PPSK perlu mengakomodir beberapa perbaikan. Sebagai contoh pada pasal 26 misalnya menyebut bahwa ketentuan lebih lanjut terkait pasar karbon akan diatur oleh aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Sebaiknya Bappebti yang dilibatkan sebagai regulator utama pasar karbon, karena karbon secara umum didefinisikan sebagai komoditi ketimbang efek. Sementara ruang pengaturan OJK lebih pas terkait produk pembiayaan dari hasilperdagangan karbon, sesuai fungsi jasa keuangan,” tegas Bhima.  

Infografis Besaran Tarif Listrik Naik untuk Orang Kaya. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya