Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan berencana menerapkan kebijakan zero ODOL (Over Dimension Overloaded) pada tahun ini. Untuk menerapkannya, Kemenhub harus mempertimbangkan berbagai hal, temasuk terganggunya arus logistik.
Misalnya, kenaikan harga barang bisa terjadi akibat bertambahnya biaya transportasi logistik maupun akibat pasok yang tidak lancar akibat kemacetan yang diperkirakan makin parah.
Advertisement
"Kalau memang ada pembatasan terhadap muatan itu memang akan berkorelasi dengan biaya distribusinya akan semakin mahal," kata Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto kepada wartawan ditulis, Selasa (24/1/2023).
Dia menjelaskan, pengurangan daya angkut membuat pengusaha harus menambah angkutan logistik mereka. Dia melanjutkan, hal itu akan menambah ongkos kirim dan biasanya juga akan terepresentasi dari harga barang yang semakin mahal.
"Konsekuensi ke inflasi itu sebetulnya kalau biaya distribusinya meningkat kemungkinan inflasi bisa berdampak," kata Eko lagi.
Meskipun, sambung dia, inflasi di Indonesia terjadi karena banyak faktor seperti kekurangan ketersediaan atau memang barang tersebut tidak ada. Begitu juga dengan kapasitas produksi hingga jalur distribusi.
Eko melanjutkan, terhambatnya distribusi memang berpotensi membuat kelangkaan barang yang berujung pada kenaikan harga di masyarakat. Kebijakan zero ODOL mengharuskan pengusaha menambah angkutan logistik mereka sehingga berpotensi menyebabkan kemacetan di jalan.
Data BPTJ
Data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menyebutkan kalau kemacetan lalu lintas serta tidak tertatanya sistem transportasi publik berdampak terhadap kerugian ekonomi negara yang mencapai Rp 7,4 triliun per tahun.
Dampak pertama dari kemacetan adalah pemborosan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebanyak 2,2 juta liter per harinya di enam kota metropolitan. Sedangkan Dirlantas Polda Metro Jaya mengungkapkan bahwa negara merugi Rp 71 triliun akibat kemacetan yang terjadi di seluruh Indonesia.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat bahwa kerugian negara akibat bahwa estimasi kerugian akibat macet di Jabodetabek mencapai hampir 100 triliun. Kemacetan disebabkan pertumbuhan kendaraan bermotor yang sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan penambahan infrastruktur jalan yang baik.
Angka tersebut berbanding relatif drastis dengan ongkos perawatan jalan yang dibutuhkan akibat truk ODOL. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memperkirakan keuangan negara bisa hemat Rp 7,45 miliar per 10 tahun berkat efisiensi biaya pemeliharaan jalan, apabila tidak dilalui oleh kendaraan ODOL.
Kementerian PUPR memperkirakan apabila jalan memiliki umur rencana 10 tahun dengan kondisi lalu lintas tinggi tanpa dilewati ODOL, maka total investasi selama 10 tahun yang dibutuhkan adalah Rp 31,9 miliar. Biaya investasi itu terdiri dari rekonstruksi senilai Rp 24 miliar, rehabilitasi jalan Rp 7,5 miliar dan biaya rutin Rp 400 juta.
Advertisement
Bebankan ke Pengusaha
Eko mengatakan, tidak ada pihak yang tidak dirugikan akibat diberlakukan kebijakan ODOL. Dia melanjutkan, pengusaha memang harus menambah armada sehingga dirugikan secara kebijakan. Tapi, dia melanjutkan, kalau tidak dilakukan pembatasan terhadap berat maka berpotensi menimbulkan kerugian lain.
"Cara berpikir kita sebagai seorang pembuat kebijakan harus memikirkan yang mana kerugiannya paling minimal," katanya.
Anggota Komisi V DPR RI, Sudewo meminta agar pemerintah melakukan kajian lebih mendalam untuk membuka kemungkinan pemberian toleransi kelebihan muatan dalam batasan tertentu. Dia mengatakan, penerapan kebijakan yang keliru justru bisa menimbulkan inflasi dan kesulitan ekonomi.
Politisi Partai Gerindra ini menambahkan, dampak lain dari Zero ODOL adalah peningkatan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Peningkatan konsumsi BBM akan mendorong naiknya ongkos angkutan dan berujung pada meroketnya harga setiap barang.
Dia melanjutkan, kondisi itu bisa diperburuk dengan daya beli masyarakat rendah dan tidak bisa menjangkau sehingga memicu inflasi.