Liputan6.com, Jakarta - Pada hari ini, Selasa (24/1/2023), terdakwa Ferdy Sambo membacakan pleidoi atau nota pembelaan kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Pleidoi dibacakan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Dalam pledoi tersebut, terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J itu memberi judul 'Setitik Harapan Dalam Ruang sesak Pengadilan'. Dia menerangkan, nota pembelaan ini awalnya hendak diberi judul 'Pembelaan yang sia-sia'.
Advertisement
Sambo mengatakan, dirinya dan keluarga menerima hinaan, caci-maki, olok-olok serta tekanan luar biasa dari semua pihak selama menjalani pemeriksaan dan persidangan perkara ini. Sambo merasa, tidak ada ruang sedikit pun untuk menyampaikan pembelaan dan bahkan sepotong katapun.
"Berbagai tuduhan bahkan vonis telah dijatuhkan kepada saya sebelum adanya putusan dari Majelis Hakim," ujar Sambo saat membacakan pleidoi, Selasa (24/1/2023).
Menurutnya, selama bertugas 28 tahun sebagai anggota Polri. Ia tidak pernah melihat adanya tekanan yang begitu besar terhadap seorang terdakwa sebagaimana perkara pembunuhan berencana Brigadir J yang diklaim telah merenggut haknya sebagai terdakwa.
"Saya nyaris kehilangan hak sebagai seorang terdakwa untuk mendapatkan pemeriksaan yang objektif, dianggap telah bersalah sejak awal pemeriksaan dan haruslah dihukum berat tanpa perlu mempertimbangkan alasan apapun dari saya sebagai terdakwa," kata Sambo.
Berikut sederet pernyataan pleidoi atau nota pembelaan terdakwa Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dihimpun Liputan6.com:
1. Beri Judul Pleidoi Setitik Harapan dalam Ruang Sesak Pengadilan, Sampaikan Penyesalan Mendalam
Setelah terdakwa Kuat Ma'ruf dan Ricky Rizal yang membacakan pembelaannya, giliran bekas jenderal polisi Ferdy Sambo membacakan pembelaannya.
Dia menyebut pleidoinya dengan pembelaan yang sia-sia.
"Nota pembelaan ini awalnya hendak saya beri judul 'Pembelaan yang Sia-Sia' karena di tengah hinaan, caci-maki, olok-olok serta tekanan luar biasa dari semua pihak terhadap saya dan keluarga dalam menjalani pemeriksaan danpersidangan perkara ini, acapkali membawa saya dalam keputusasaan dan rasafrustasi," kata Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/1/2023).
Sambo mengatakan, dirinya dan keluarga menerima hinaan, caci-maki, olok-olok serta tekanan luar biasa dari semua pihak selama menjalani pemeriksaan dan persidangan perkara ini. Dia merasa, tidak ada ruang sedikitpun untuk menyampaikan pembelaan dan bahkan sepotong katapun.
"Berbagai tuduhan bahkan vonis telah dijatuhkan kepada saya sebelum adanya putusan dari Majelis Hakim," ujar Sambo.
Ferdy menyesal atas perbuatannya yang menimbulkan korban yaitu Brigadir J. Akibat perbuatan tersebut, ia juga menyesal telah memberikan luka bagi keluarga Brigadir J.
"Majelis Hakim yang Mulia, Jaksa Penuntut Umum, dan Penasihat Hukum yang Terhormat, sungguh setiap waktu rasa bersalah dalam diri saya tidak pernah berhenti, penyesalan mendalam atas timbulnya korban Yosua, atas luka bagi keluarga yang ditinggalkan," ucap dia.
Secara khusus, ia juga mengungkapkan penyesalan terhadap istrinya Putri Chandrawathi.
"Terlebih secara khusus terhadap istri saya yang terkasih Putri Candrawathi yang untuk kedua kalinya harus menderita karena tanpa dasar dan bukti-bukti kesalahannya telah dijadikan terdakwa dalam persidangan ini setelah menjadi korban perkosaan yang merampas kehormatan dan martabatnya sebagai seorang perempuan, istri dan ibu dari anak-anak kami, tidak bisa saya bayangkan bagaimana hancur dan sakit perasaannya, kiranya Tuhan sajalah yang selalu menguatkan dan menghiburnya," terang dia.
Selain itu, ia menyesal atas peristiwa pembunuhan terjadi terhadap almarhum Brigadir J juga telah menyeret pihak yang tidak bersalah.
"Saya sungguh menyesali bahwa peristiwa pembunuhan yang terjadi terhadap almarhum Yosua telah menyeret mereka yang tidak terlibat dan tidak bersalah ke dalam ruang persidangan perdana, mereka dituntut atas perbuatan dan kesalahan yang tidak mereka ketahui," papar dia.
Sambo juga menyampaikan penyesalan atas perbuatannya terhadap Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal dan Richard Eliezer.
"Penyesalan yang teramat dalam juga terhadap Kuat Ma’ruf dan Ricky Rizal sebagai orang-orang yang baik yang telah didudukan sebagai terdakwa tanpa tahu apa kesalahannya, juga terhadap Richard Eliezer yang harus menghadapi situasi ini," kata dia.
Ferdy Sambo mengaku bersalah dan menyesal atas amarah dan kekesalannya tersebut sehingga menutup logikanya.
"Saya bersalah dan menyesal karena amarah dan emosi telah menutup logika berpikir saya, saya lupa bahwa saya seorang Inspektur Jenderal Polisi dan pejabat utama Polri yang tidak pantas melakukan hal tersebut," ucap Sambo.
Advertisement
2. Sebut Tekanan yang Diterima Bertubi-tubi
Selain itu menurut Ferdy Sambo, tekanan yang diterimanya bertubi-tubi. Bahkan dia menuding media melakukan pembingkaian terhadap dirinya yang sedang duduk sebagai terdakwa.
"Media framing dan produksi hoaks terhadap saya sebagai terdakwa dan keluarga secara instens terus dilancarkan sepanjang pemeriksaan, berikut tekanan massa baik di dalam maupun di luar persidangan yang kemudian telah mempengaruhi persepsi publik," kata Sambo.
"Bahkan mungkin memengaruhi arah pemeriksaan perkara inimengikuti kemauan sebagian pihak, termasuk juga mereka yang mencari popularitas dari perkara yang tengah saya hadapi," dia menambahkan.
Sambo mengatakan, selama 28 tahun bekerja sebagai aparat penegak hukum dan menangani berbagai perkara kejahatan termasuk pembunuhan, belum pernah menyaksikan tekanan yang begitu besar terhadap seorang terdakwa sebagaimana yang dialami hari ini.
"Saya nyaris kehilangan hak sebagai seorang terdakwa untuk mendapatkan pemeriksaan yang objektif, dianggap telah bersalah sejak awal pemeriksaan dan haruslah dihukum berat tanpa perlu mempertimbangkan alasan apapun dari saya sebagai terdakwa," ucap Sambo.
Ditambah framing opini masyarakat dan tekanan dari publik di luar persidangan, lanjut Sambo, telah mempengaruhi persepsi publik. Bahkan mungkin memengaruhi arah pemeriksaan perkara ini mengikuti kemauan sebagian pihak.
"Termasuk juga mereka yang mencari popularitas dari perkara yang tengah saya hadapi. Saya tidak memahami bagaimana hal tersebut terjadi, sementara prinsip negara hukum yang memberikan hak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara di mata hukum masih diletakkan dalam konstitusi negara kita," bebernya.
Alasan itu dikutip Sambo atas adanya prinsip asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) yangseharusnya ditegakkan sebagaimana Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), huruf c KUHAP, dan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
"Yang menegaskan bahwa setiap orang yang dituntut dan dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya," kata Sambo.
3. Sebut Dirinya Seolah Penjahat Terbesar Sepanjang Sejarah dengan Berbagai Macam Tuduhan
Ferdy Sambo pun mengungkap rasa kecewanya atas tuduhan maupun 'bully' yang dilontarkan publik terhadap dirinya. Seolah menjadikannya sebagai penjahat terbesar sepanjang sejarah manusia.
"Sejak awal saya ditempatkan sebagai terperiksa dalam perkara ini, beragam tuduhan telah disebarluaskan di media dan masyarakat. Seolah saya adalah penjahat terbesar sepanjang sejarah manusia," kata Sambo.
Menurutnya semenjak dirinya dijadikan tersangka dalam perkara ini dan mengakui kebohongan skenario palsu yang sempat dibuatnya. Beragam 'bully' tak mendasar menyasar kepadanya dan keluarganya.
"Saya telah dituduh secara sadis melakukan penyiksaan terhadap almarhum Yosua sejak dari Magelang, begitu juga tudingan sebagai bandar narkoba dan judi, melakukan perselingkuhan dan menikah siri dengan banyak perempuan, melakukan LGBT," ungkapnya.
"Memiliki bunker yang penuh dengan uang, sampai dengan penempatan uang ratusan triliun dalam. Rekening atas nama Yosua, yang kesemuanya adalah tidak benar dan telah sengaja disebarkan untuk menggiring opini yang menyeramkan terhadap diri saya," tambah dia.
Sehingga, Mantan Kadiv Propam Polri itu memandang dengan beragam tuduhan yang menimpanya. Membuat pandangan dirinya layak mendapat hukuman paling berat tanpa perlu mendengar dan mempertimbangkan penjelasan dari terdakwa.
Advertisement
4. Sebut Semua Kebahagian Sirna Berganti Suram, Sepi, dan Gelap
Ferdy Sambo pun menuturkan, kehidupannya yang bahagia kini sirna dan berubah suram ketika harus terseret dan mendekam di jeruji besi.
"Hari ini tepat 165 hari saya berada dalam tahanan untuk menjalani pemeriksaan perkara ini. Berada dalam tahanan berarti kehilangan kemerdekaan dalam hidup sebagai manusia yang selama ini saya nikmati," kata Sambo.
Menurut prinsip masyarakat di Sulawesi Selatan, hidup bakal lengkap dan sempurna dengan kehadiran keluarga. Namun, dia harus menelan kenyataan pahit, jauh dari dekapan hangat keluarga, sahabat dan handai tolan.
"Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sungguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap. Di dalam jeruji tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya sebagai manusia," ucap Sambo.
Mantan Kadiv Propam Polri itu mengaku tak pernah membayangkan kehidupannya yang begitu terhormat dalam sekejap terperosok hancur, sebagaimana keputusan pemecatan tidak hormat (PTDH) dan perkara pidana.
"Demikianlah penyesalan kerap tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului," ucap dia.
Sambo lantas mengatakan, jika penderitaan yang menimpanya diawali dari peristiwa di Magelang, Jawa Tengah, 7 Juli 2022. Ketika insiden dugaan pelecehan yang dialami Putri Candrawathi oleh Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
"8 Juli 2022, istri saya yang terkasih Putri Candrawathi tiba dari Magelang dan menyampaikan bahwa dirinya telah diperkosa oleh Almarhum Yosua sehari sebelumnya di rumah kami di Magelang," tutur Sambo.
Kondisi itu, diakui Sambo, telah memicu emosinya hingga tak bisa berpikir jernih membayangkan semua cerita pelecehan yang dialami Putri. Dimana, harkat martabat keluarganya telah hancur, karena tindakan Brigadir J.
"Membayangkan harkat dan martabat saya sebagai seorang laki-laki, seorang suami yang telah dihempaskan dan diinjak-injak. Juga membayangkan bagaimana kami harus menghadapi ini, menjelaskannya di hadapan wajah anak -anak kami, juga bertemu para anggota bawahan dan semua kolega kami," ucap Sambo.
5. Masih Tak Akui Perintah 'Tembak Chad'
Ferdy Sambo tetap kukuh terhadap keterangan terkait 'Hajar Chad', bukan 'Tembak Chad' sebagaimana yang diakui Terdakwa Richard Eliezer alias Bharada E.
Pengakuan Sambo ini disampaikannya bermula ketika momen ketika melintas rumah dinas Duren Tiga dan melihat Brigadir J di depan rumah, seketika itu juga kemarahannya meluap atas pelecehan yang dialami Putri Candrawathi.
"Segera saya perintahkan ADC dan sopir menghentikan mobil yang saya tumpangi, masuk ke dalam rumah dan meminta Kuat Maruf yang kebetulan berada di sana untuk memanggil Ricky dan Yosua agar menemui saya," ucap Sambo.
Dengan nada berat, Sambo mengakui kala itu sedang dalam kondisi amarah yang memuncak. Ketika mengkonfirmasi kepada Brigadir J atas tindakan pelecehan. Namun jawaban mantan ajudannya itu dirasa lancang dan tak sesuai harapannya.
"Namun Yosua menjawab dengan lancang, 'kurang ajar bagaimana komandan?' seolah tidak ada satu apapun yang terjadi, kesabaran dan akal pikiran saya pupus, entah apa yang ada dibenak saya saat itu," kata Sambo.
Setelah mengatakan itulah, Sambo dalam pleidoinya tetap menyatakan jika kalimat yang diucapkan adalah 'Hajar'. Hal itu berbeda dengan keterangan dari Bharada E yang mengaku ketika itu perintahnya adalah 'Tembak Chad'.
"Namun seketika itu juga terlontar dari mulut saya 'hajar Chad, kamu hajar Chad.' Richard lantas mengokang senjatanya dan menembak beberapa kali kearah Yosua, peluru Richard menembus tubuhnya, kemudian menyebabkan Yosua jatuh dan meninggal dunia," terang dia.
"Kejadian tersebut begitu cepat, 'stop berhenti' saya sempat mengucapkannya berupaya menghentikan tembakan Richard dan sontak menyadarkan saya bahwa telah terjadi penembakan oleh Richard Eliezer yang dapat mengakibatkan matinya Yosua," sambung Sambo.
Sambo mengklaim setelah Brigadir J terjatuh akibat tembakan dari Bharada E, maka dirinya memerintahkan ajudan Prayogi untuk segera memanggil ambulan untuk memberikan pertolongan kepada Brigadir J.
"Saya begitu panik, namun harus segera memutuskan apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut, terutama untuk melindungi Richard Eliezer pasca terjadinya peristiwa penembakan," terangnya.
Advertisement
6. Pamer Pernah dapat Penghargaan dari Presiden RI
Ferdy Sambo lantas sempat membeberkan prestasinya selama 28 tahun menjadi anggota Polri. Di depan Majelis Hakim, Ferdy Sambo pun mengaku, pernah mendapat penghargaan Bhayangkara Pratama dari Presiden RI.
"Saya telah 28 tahun mengabdikan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepada nusa dan bangsa, sehingga atas kesetiaan dan dharma bakti tersebut saya telah dianugerahi Bintang Bhayangkara Pratama yang diberikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia," kata Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo mengatakan, telah mengungkap sejumlah kasus besar selama menjadi anggota Polri. Atas kinerjanya itu, ia diberikan penghargaan 6 pin emas dari Kapolri.
"Saya juga telah mendapatkan penghargaan tertinggi dari Polri berupa 6 PIN Emas Kapolri atas pengungkapan berbagai kasus penting di Kepolisian, antara lain: pengungkapan kasus narkoba jaringan internasional dengan penyitaan barang bukti 4 ton 212 kilogram (kg) sabu. Pengungkapan kasus Djoko Chandra, pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang yang menyelematkan pekerja migran Indonesia di luar negeri, dan banyak pengungkapan kasus besar lainnya," tutur Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo mengaku, bersalah dan menyesal karena telah terseret kasus pembunuhan terhadap Brigadir J.
"Saya bersalah dan menyesal karena amarah dan emosi telah menutup logika berpikir saya, saya lupa bahwa saya seorang Inspektur Jenderal Polisi dan pejabat utama Polri yang tidak pantas melakukan hal tersebut," ucap Ferdy Sambo.
7. Sampaikan 10 Alasan agar Dapatkan Vonis Seadil-adilnya
Ferdy Sambo mengungkap sederet alasan untuk dapatkan vonis seadil-adilnya dari Majelis Hakim atas tuntutan hukuman seumur hidup dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Setidaknya Eks Kadiv Propam Polri itu menuangkan 10 alasan agar bisa dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Dengan diawali dirinya mengucapkan permintaan maaf atas kasus ini kepada semua pihak.
"Di tengah persidangan yang begitu sesak dan penuh tekanan ini, saya kembali menyampaikan permohonan maaf yang mendalam kepada keluarga korban Yosua, kepada Bapak Presiden Republik Indonesia," ucap Sambo.
"Dan seluruh jajarannya, kepada bapak Kapolri dan Kepolisian Republik Indonesia yang sangat saya cintai, kepada masyarakat Indonesia yang telah terganggu dengan peristiwa ini," tambah dia.
Tak cuma itu, Sambo juga mengucapkan permohonan maaf kepada istrinya Putri Candrawathi dan anak-anak, karena harus ikut berdampak akibat perbuatan tindak pidana yang diakuinya.
"Saya telah lalai menjalankan tugas sebagai seorang suami, sebagai seorang ayah yang baik, semoga Tuhan mengampuni saya dan kiranya Ia selalu memberikan keteguhan dan kekuatan kepada kalian," tuturnya.
Setelah itu, Ferdy Sambo menjabarkan alasan untuk majelis hakim berkenan memberikan vonis yang adil berdasarkan hukum dan penilaian objektif atas fakta dan bukti selama persidangan, berikut 10 pertimbangan:
Pertama, bahwa sejak awal saya tidak merencanakan pembunuhan terhadap korban Yosua karena peristiwa tersebut terjadi begitu singkat dan diliputi emosi mengingat hancurnya martabat saya juga istri saya yang telah menjadi korban perkosaan.
Kedua, dalam pemeriksaan saya telah berupaya untuk menyajikan semua fakta yang saya ketahui, termasuk mendorong saksi atau terdakwa lain sebagaimana dalam keterangan Kuat Maruf untuk mengungkap skenario tidak benar pada saat pemeriksaan oleh Patsus di tingkat penyidikan.
Ketiga, Saya telah mengakui cerita tidak benar mengenai tembak-menembak di rumah Duren Tiga 46.
Keempat, saya telah menyesali perbuatan saya, meminta maaf dan siap bertanggungjawab sesuai perbuatan dan kesalahan saya.
Kelima, saya telah berupaya untuk bersikap kooperatif selama menjalani persidangan, menyampaikan semua keterangan yang memang saya ketahui.
Keenam, saya telah mendapatkan hukuman dari masyarakat (social punishment) yang begitu berat tidak saja terhadap diri saya, namun juga terhadap istri, keluarga, bahkan anak-anak kami.
Ketujuh, baik saya maupun istri saya telah didudukkan sebagai terdakwa dalam persidangan ini dan berada di dalam tahanan, sementara empat orang anak-anak kami terkhusus yang masih balita juga punya hak dan masih membutuhkan perawatan juga perhatian dari kedua orang tuanya.
Kedelapan, sebelumnya saya tidak pernah melakukan tindak pidana di masyarakat, melakukan pelanggaran etik maupun disiplin di Kepolisian.
Kesembilan, saya telah 28 tahun mengabdikan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepada nusa dan bangsa, sehingga atas kesetiaan dan dharma bakti tersebut saya telah dianugerahi Bintang Bhayangkara Pratama yang diberikan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia.
Saya juga telah mendapatkan penghargaan tertinggi dari Polri berupa 6 PIN Emas Kapolri atas pengungkapan berbagai kasus penting di Kepolisian, antara lain: pengungkapan kasus narkoba jaringan internasional dengan penyitaan barang bukti 4 ton 212 kilogram (kg) sabu.
Pengungkapan kasus Djoko Chandra, pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang yang menyelamatkan pekerja migran Indonesia di luar negeri, dan banyak pengungkapan kasus besar lainnya.
Kesepuluh, atas perkara ini saya telah dijatuhi hukuman administratif dari POLRI berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota POLRI, akibatnya saya telah kehilangan pekerjaan, dan tidak lagi mendapatkan hak-hak apapun termasuk uang pensiun, sehingga saya telah kehilangan sumber penghidupan bagi saya dan keluarga.
Advertisement
8. Mengaku Terus Termenung Saat Berada di Tahanan dan Kutip Ayat Alkitab Mengenai Pertobatan
Ferdy Sambo pun mengungkapkan bahwa kehidupannya berubah drastis setelah 165 hari mendekam di ruang tahanan.
"Berada dalam tahanan berarti kehilangan kemerdekaan dalam hidup sebagai manusia yang selama ini saya nikmati, jauh dari berbagai fasilitas, kehilangan kehangatan keluarga, sahabat dan handaitolan. Semua hakikat kebahagiaan dalam kehidupan manusia yang sebelumnya saya rasakan sungguh telah sirna berganti menjadi suram, sepi, dan gelap," papar Sambo.
Sambo menerangkan, ia terus merenung di dalam jeruji tahanan yang sempit. Betapa rapuhnya kehidupannya sebagai manusia.
Tak pernah terbayangkan jika sebelumnya kehidupan begitu terhormat dalam sekejap terperosok dalam nestapa dan kesulitan yang tidak terperikan.
"Demikianlah penyesalan kerab tiba belakangan, tertinggal oleh amarah dan murka yang mendahului," ujar Sambo.
Ferdy Sambo pun mengungkapkan penyesalan karena kesalahan. Ia juga memohon maaf kepada Tuhan Maha Pengasih untuk bertobat dan memperbaiki diri.
"Sebagai manusia biasa saya juga tak luput dari salah dan dosa, kiranya Tuhan maha pengasih berkenan mengampuni saya, memberikan kesempatan kepada saya untuk bertobat dan memperbaiki diri,” ujar dia.
Ferdy Sambo pun mengutip ayat alkitab mengenai pertobatan. Ia mengutip dari Mazmur 51 ayat 13 dan Wahyu 3 ayat 19.
"Sebagaimana juga termuat dalam kitab Mazmur 51 ayat: 'Janganlah membuang aku dari hadapanmu dan janganlah mengambil rohmu yang kudus daripadaku'. Demikian pula termuat dalam kitab Wahyu 3 ayat 19: 'Barang siapa ku kasihi, ia ku tegor dan ku hajar, sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah.' Dan masa lalu, adalah pengalaman berharga, hari ini adalah kehidupan kepastian, hari esok adalah pengharapan," jelas dia.