Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia berkomitmen terus melakukan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam (SDA). Salah satunya dengan melakukan larangan ekspor nikel guna diolah di dalam negeri sebagai wujud hilirisasi.
Larangan ekspor nikel ini pun sebelumnya ditentang oleh Uni Eropa melalui gugatan kepada Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Advertisement
Dubes Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket mengatakan, pihaknya sebenarnya tidak mempermasalahkan keinginan RI untuk melakukan hilirisasi nikel, untuk memberikan nilai tambah bagi perekonomian, ketimbang hanya mengekspor bahan mentah.
"Itu adalah tujuan yang kami dukung sepenuhnya karena membantu perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata dia dalam EU Ambassadors' 2023 Media Luncheon di Jakarta, Selasa 24 Januari 2023.
"Yang tidak kami setujui adalah cara yang ingin dilakukan pemerintah Indonesia dengan memberlakukan pelarangan komoditas dan bahan baku tertentu," tambah dia.
Hal tersebut, kata Dubes, bertentangan dengan prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang ditandatangani dan diratifikasi oleh Indonesia dan juga Uni Eropa.
WTO, kata dia, juga melarang praktik tersebut karena dinilai menimbulkan persaingan tidak sehat antar-perusahaan. "Hal itu akan mengecualikan orang dari rantai nilai, rantai pasok, sehingga tidak adil.
Dubes EU menambahkan, pihaknya meyakini bahwa Indonesia bisa memperoleh manfaat yang sama dengan mempromosikan inward investment atau investasi dari mancanegara. Hilirisasi bisa digenjot dengan tetap mematuhi aturan WTO.
Pada dasarnya, itulah tawaran yang diajukan Uni Eropa terkait Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). "Yang sama-sama menguntungkan, yang membuka perbatasan dan meliberalisasi perdagangan kita."
Kata Dubes EU, berdasarkan kalkulasi para ekonom, hal itu juga akan menguntungkan Indonesia.
"Liberalisasi bagus untuk penciptaan lapangan kerja, untuk ekspor, dan juga bagi Uni Eropa. Tapi lebih dari itu, hal tersebut memiliki efek yang sangat kuat untuk mendukung Indonesia," tutup dia.
Hilirisasi Nikel Bisa Bikin Indonesia Cuan Rp 440 Triliun di 2022
Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin agar Indonesia terus melakukan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam (SDA). Banyak manfaat di sektor ekonomi dan sosial dengan hilirisasi dan industrialisasi.
Jokowi mencontohkan, hilirisasi nikel telah meningkatkan ekspor besi baja 18 kali lipat. Tahun 2014, hanya sekitar Rp 16 triliun dan pada 2021 melonjak jadi Rp 306 triliun.
"Di akhir 2022 ini, kita harapkan bisa mencapai Rp 440 triliun. Itu hanya dari nikel," kata Jokowi dalam pembukaan sidang tahunan MPR RI di Jakarta, Selasa (16/8/2022).
Setelah nikel, pemerintah juga akan mendorong hilirisasi bauksit, hilirisasi tembaga, dan timah. Hal ini untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari ekspor sektor minerba.
"Kita harus membangun ekosistem industri di dalam negeri yang terintegrasi, yang akan mendukung pengembangan ekosistem ekonomi hijau dunia," tegasnya.
Selain hilirisasi, fokus pemerintah juga ialah optimalisasi sumber energi bersih dan ekonomi hijau. Hal ini untuk mencapai target emisi nol persen atau Net Zero Emission (NZE) pada 2030 hingga mengurangi dampak negatif perubahan iklim.
"Persemaian dan rehabilitasi hutan tropis dan hutan mangrove, serta rehabilitasi habitat laut, akan terus dilakukan, dan akan menjadi potensi besar penyerap karbon," tutup Jokowi.
Advertisement
Indonesia Kalah Gugatan Nikel di WTO, Jokowi: Kita Banding
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pantang menyerah meskipun kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut dia, itu jadi bentuk komitmen Pemerintah RI dalam program hilirisasi industri. Sehingga Indonesia bukan hanya dikenal sebagai pengekspor bahan mentah alias raw material saja.
"Sekali lagi, meskipun kita kalah di WTO, kalah kita urusan nikel ini digugat oleh Uni Eropa dibawa ke WTO kita kalah, enggak apa-apa. Kalah saya sampaikan ke menteri, banding," tegas Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 di Ritz-Carlton Hotel Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Jokowi pun tidak mempermasalahkan bila ada sejumlah negara yang menggugat kebijakan Indonesia yang menahan laju ekspor bahan mentah. "Kalau ada negara lain yang menggugat, ya itu haknya negara lain yang menggugat, karena ya memang terganggu," imbuhnya.
Setelah melakukan pengecekan alasan Uni Eropa menggugat larangan ekspor nikel, ia menemukan bahwa komoditas tersebut jadi bahan utama sektor industri di sana.
"Kalau dikerjain di sini, di sana akan ada pengangguran. Di sana akan ada pabrik yang tutup, di sana akan ada industri yang tutup," papar Jokowi.
"Tapi kan kita juga mau maju, kita ingin maju, negara kita ingin menjadi negara maju. Kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja kita takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju," tuturnya.
Oleh karenanya, ia mengajak seluruh jajarannya untuk terus berkomitmen dan tidak gentar menghadapi gertakan negara maju atas kebijakan yang diambil Pemerintah RI.
"Terus saya sampaikan kepada menteri, terus (lanjutkan program hilirisasi), tidak boleh berhenti. Tidak hanya berhenti di nikel, tapi terus yang lain," pungkas Jokowi.
Pemerintah Didukung Hadapi Kebijakan Global soal Nikel
Putusan panel World Trade Organization (WTO) menghendaki agar pemerintah Indonesia membuka kembali ekspor nikel. Sebelumnya hal itu sempat disengketakan oleh Uni Eropa melalui Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB).
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Fajar Hasan mengatakan, putusan WTO tersebut harus dilawan. Sebab, putusan WTO berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan khususnya nikel.
“Putusan panel WTO menghendaki pemerintah Indonesia membuka kembali Kran ekspor nikel. Ini berpotensi dapat mengganggu program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia," kata pengusaha muda asal Sulawesi Tenggara ini, melalui keterangan tertulis, Senin(28/11/2022).
Fajar meyakini, hilirisasi telah dirasakan oleh rakyat, efek nilai tambahnya menggerakan pertumbuhan ekonomi khususnya bagi daerah. Misalnya, pembangunan smelter nikel di daerah, menyerap tenaga kerja dan pendapatan negara/daerah menjadi meningkat.
“Ini fakta statistik dan empirik bahwa program hilirisasi harus berlanjut, tidak boleh terhenti hanya karena tekanan Uni Eropa dan WTO," ungkap Fajar Hasan.
Advertisement