Liputan6.com, Jakarta Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) yang tercantum dalam Program Penyusunan Peraturan Pemerintah di tahun 2023.
AMTI menilai revisi PP 109/2012 akan mengancam keberlangsungan mata rantai industri tembakau yang selama ini menjadi penghidupanjutaan masyarakat Indonesia dari hulu ke hilir.
Advertisement
“Jika revisi ini dijalankan, maka poin-poin aturan yang eksesif dan diskriminatif akan mengancam keberlangsungan industri tembakau,” ujar Sekretaris Jenderal AMTI Hananto Wibisono dalam acara dialog kebijakan multipihak bertema “Upaya Membangun Kesepahaman Bersama Tentang Kebijakan Pertembakauan Indonesia" dikutip Selasa (24/1/2023).
Hananto menjelaskan terganggunya industri tembakau akan berdampak pada nasib 2 juta petani tembakau, 2 juta peritel, 1.5 juta petani cengkih, dan 600 ribu karyawan. Padahal, industri tembakau selama ini menjadi salah satu penopang perekonomian nasional, khususnya pada saat pandemi COVID-19 melanda Indonesia.
“Menurut hasil studi UNAIR (Universitas Airlangga) pada tahun 2022, kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) industri tembakau kepada perekonomian negara mencapai 710,3 triliun dari hulu ke hilir. Industri ini mampu menggerakan perekonomian, khususnya di sentra produksi tembakau,” paparnya.
Hananto juga melihat faktor pertimbangan pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, dalam mendorong revisi PP 109/2012 tidak berdasarkan data yang valid, mengingat prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan selama empat tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat di tahun 2022 angka prevalensi perokok anak berusia 18 tahun ke bawah adalah 3,44 persen menurun dibanding tahun sebelumnya yakni 3,69 persen. Data tersebut menunjukkan perkembangan terkini yang telah mengarah pada progres. Selain itu, larangan merokok bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun sudah tercantum dalam PP 109/2012.
Ganggu Stabilitas Industri
Senada dengan Hananto, Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS, juga menekankan revisi PP 109/2012 akan menganggu stabilitas industri tembakau sebagai sawah ladang dari mayoritas anggota RTMM. Menurutnya, pekerja di sektor tembakau akan kembali termarjinalkan dan mendapat perlakuan diskriminatif.
“Pekerja tembakau sering jadi korban atas kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Revisi PP 109/2012 ini bertentangan dengan Undang-Undang karena tidak mengakomodir kepentingan pihak yang terlibat,” ujar Sudarto.
Sudarto menegaskan pihaknya akan selalu berupaya untuk membela dan mempertahankan industri tembakau sebagai sumber mata pencaharian anggotanya. Ia mengingatkan pemerintah agar memperhatikan dan melindungi pekerja di sektor tembakau yang jumlahnya besar.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Agus Sarjono, menyampaikan industri tembakau telah berkontribusi besar terhadap pendapatan negara. “Pemerintah selalu menekan industri ini dengan regulasi yang eksesif. Kita ini sudah berikan kontribusi besar bagi perekonomian. Pabrik-pabrik rokok juga selalu patuh pada aturan, termasuk PP 109/2012,” imbuhnya.
Advertisement
Unik! Rokok Daun Talas Bebas Cukai dan Nikotin, Dijual Rp 5.000 per Bungkus
Warga Desa Padurenan, Kecamatan Gebog, Jawa Tengah, menciptakan rokok tanpa menggunakan daun tembakau yang mengandung nikotin, melainkan memanfaatkan daun talas.
Menurut Ulwan Hakim, pembuat rokok berbahan daun talas di Kudus ide menciptakan rokok berbahan daun talas berawal ketika ia mengetahui adanya ekspor daun talas dalam jumlah besar, sehingga tertarik mencoba membuat rokok menggunakan daun talas.
"Ternyata rasanya tidak enak, terasa sengur, pahit, dan getir," ujarnya dikutip dari Antara, Senin (16/1/2023).
Uji coba membuat rokok kretek daun talas itu, kata dia, dimulai sejak tahun 2022 dengan mendatangkan daun talas yang sudah dirajang seperti halnya tembakau dari Jawa Barat, Purbalingga, dan Temanggung. Gagal dengan uji coba pertama, lantas mencoba mengombinasikannya dengan aneka daun lainnya, seperti daun pepaya, daun teh, hingga daun kopi.
Setelah melakukan serangkaian uji coba, akhirnya ia menemukan racikan rokok daun talas dengan sejumlah bahan rempah yang totalnya ada 17 bahan. Hanya saja, dia enggan menyebutkan bahan campurannya, mengingat rokok daun talas hasil produksinya mulai diuji coba di pasaran.
Sementara harga jual per bungkus dengan isi 12 batang sangat murah, hanya Rp5.000, mengingat tidak ada cukai seperti rokok berbahan tembakau.
"Saya juga sudah berkonsultasi dengan pihak Bea dan Cukai, rokok yang diproduksi karena tanpa bahan tembakau dan tidak mengandung nikotin tentunya tidak dikenakan cukai," ujar Ulwan.
Tak Kena Cukai
Dalam peraturan perundang-undangan, kata dia, hanya menyebutkan produk yang dikenakan pita cukai yakni rokok berbahan tembakau, vape, dan minuman beralkohol.
Untuk sementara ini, imbuh dia, sudah diproduksi satu bal atau 200 pak rokok. Sedangkan pemasarannya di wilayah Sumatera, Jambi dan beberapa daerah di Jawa.
"Respons dari masyarakat yang biasa merokok memang bervariasi, namun sudah banyak yang memberikan apresiasi sehingga banyak yang berminat sebagai alternatif bagi perokok berat yang sulit meninggalkan rokok tembakau," ujarnya.
Tanaman talas selama ini dikenal masyarakat jawa dengan sebutan tanaman lompong atau tumbuhan berumbi, yang banyak ditemukan di Asia Tenggara dan Selatan.
Di beberapa daerah yang sulit tumbuh tanaman padi, memanfaatkan ubi talas sebagai makanan pokok pengganti padi. Bahkan, daunnya juga bisa dimanfaatkan sebagai sayur yang dikenal dengan sayur lompong.
Informasinya, daun talas yang memiliki nama ilmiah Colocasia Esculenta memiliki kandungan serat, air, energi, protein, vitamin C, zat besi, serta berbagai mineral.
Advertisement