Liputan6.com, Jakarta - Usulan kenaikan biaya haji 2023 yang ditanggung jamaah menuai polemik. Publik gusar. Mengapa terjadi perbedaan penambahan yang signifikan antara jamaah haji yang berangkat tahun ini dan sebelumnya. Diketahui, selisihnya hingga mencapai Rp 30 juta.
Menanggapi hal itu, Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi mengatakan, gejolak kenaikan harga ibadah haji secara total memang terjadi. Tercatat, pada tahun 2016 ongkos haji sudah berada di atas Rp 60 juta.
"Saya sudah mengkritisi sejak 2016, sebelum BPKH terbentuk. Jemaah kita waktu itu dikenai biaya sekitar Rp 30 jutaan padahal riilnya Rp 60 juta. Lalu jamaah kita masih dikenai biaya Rp 35 juta, bahkan harga itu sampai 2019, padahal riilnya terus bertambah tapi yang dikenakan ke jamaah masih dikisaran segitu. Saya mengatakan jangan sampai bom waktu! karena harga naik dan seterusnya karena adanya inflasi," wanti Dadi saat berbincang dengan Liputan6.com, Selasa (24/1/2023) malam.
Dadi menyayangkan, peringatan yang diwanti dirinya terhadap pemerintah dijawab dengan kebijakan yang populis. Menunda kenaikan dan memilih menyesuaikan angka dengan dana manfaat. Kala itu, menurut Dadi, masa tunggu jamaah masih di angka 1 sampai 2 juta per tahunnya. Namun ketika sekarang sudah 5 juta orang, maka penyesuaian yang populis dipastikan tidak lagi relevan.
Baca Juga
Advertisement
"Nanti bom waktunya ketika riil cost semakin membengkak. (Sedangkan) harga 'jual' ke jamaah haji masih di angka yang sama," jelas dia.
Dadi menekankan, kenaikan bukan untuk dihindari karena menjadi keniscayaan tersebab inflasi. Tapi, pemerintah seharusnya mampu berkomunikasi untuk membuka ruang diskusi secara berjenjang.
"Saya tidak anti dengan kenaikan tapi yang saya sesalkan komunikasi dari pemerintah yang terlambat karena harga tidak mungkin turun ketika tahun ini Kemenag menaikkan biaya haji yang dibebankan ke jamaah Rp69 juta dari sebelumnya Rp 39 juta," beber Dadi.
Sikap Pemerintah Bikin Heran Jemaah
Dadi mempertanyakan sikap pemerintah berbeda antara jamaah haji sebelumnya dan sekarang. Sebab diketahui, jamaah kloter tahun sebelumnya diberikan sampai 69% bahkan 70% 'subsidi' dana haji. Namun sekarang dibuat menjadi 30% saja dan 70 nya kepada jamaah.
"Sekarang di-flip, kenapa?," tanya Dadi.
Dadi meneruskan, jika alasan flip tersebut guna keberlanjutan dana manfaat untuk jamaah berikutnya yang ada dalam masa tunggu, maka disayangkan jamaah yang berangkat tahun ini. Sebab sebagian dari mereka adalah yang tergeser kloter tahun lalu dan saat akan berangkat tahun ini dengan waktu yang singkat harus menutup kekurangan selisih dari ongkos yang ditanggung jamaah.
"Saya punya kolega yang harusnya berangkat haji tahun sebelumnya 2020 tapi tergeser menjadi tahun ini, akibat pandemi. Awalnya dia hanya dibebankan menambah 10 juta tapi karena tergeser, bukan dari kehendak dia menjadi tahun ini nambah selisihnya kan berbeda jauh sekali sekira Rp 44 juta sekian dan dikali 2 karena bersama istri berangkatnya, ini kan berat," kritik Dadi.
Advertisement
Konsep Istitha'ah yang Cenderung Multitafsir
Istitha'ah menjadi konsep yang kerap digunakan calon jamaah haji. Sederhananya, Istitha'ah adalah sebuah kemampuan para calon jamaah dalam memenuhi segala tanggungan selama ibadah, mulai dari fisik, mental hingga finansial.
Dadi menyayangkan bila ada yang menggunakan konsep Istitha'ah dengan kemampuan calon jamaah yang batal berangkat karena tidak sanggup melunasi sehingga kembali masuk dalam daftar tunggu berikutnya.
"Saya banyak bicara dengan mereka para calon jamaah, kalau faktanya naik dan tidak sanggup dan tidak berangkat, maka itu yang menjadi keresahan publik saat ini," jelas Dadi.
Dadi meyakini, ketidaksanggupan calon jamaah pada saat terakhir sebelum keberangkatan untuk melakukan pelunasan bukan termasuk Istitha'ah. Sebab, saat pertama kali calon jamaah menyetorkan dananya sebesar Rp 25 juta, hal itu sudah merupakan sebuah Istitha'ah.
"Mereka pas mendaftar belasan tahun lalu itu sudah istitha'ah. Lalu tidak berangkat (karena tidak sanggup pelunasan dengan harga yang naik) itu kebijakan pemerintah ini, pemerintah sini atau Saudi. Jadi memang konsep Istitha'ah ini relatif dan multitafsir," jelas Dadi.
Membedah Sumber Masalah
Dadi lalu membedah, dimana akar masalah dari kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat ini. Pertama, ketika pemerintah mengusulkan angka penggunaan dana manfaat di-flip dari yang 30-70 jadi 70-30. Meski Menteri Agama mengatakan untuk prinsip keberlanjutan namu dipastikan terlambat.
"Kalau dalam penelitian saya, Kemenag terlambat mengantisipasi, gagal membuat rencana kebijakannya. Lalu apakah kita punya road map? Haji Indonesia 50 tahun ke depan gimana? 20 tahun gimana? BPKH nasibnya gimana? kita belum pernah dengar kan? Yang ada prediksi dari tahun ke tahun tidak jangka panjang, saat semua sudah mahal baru," kritik dia.
Dadi berharap, jamaah yang berangkat haji tida seperti tengah berdagang dengan pembeli di pasar. Kalau mau ya bayar kalau tidak mampu ya lewat.
"Istilahnya kita sekarang jual berapa kalau mau silakan kalau tidak ya bubar, masa mau gitu? Kayak di pasar, kan tidak," dia menutup
Advertisement