Susi Susanti: Saya dan Mas Alan Pacaran di Lapangan, Nggak Sempat Jalan-Jalan

Susi sangat ingin mendapatkan emas pada ajang Asian Games, karena itu adalah satu-satunya pertandingan yang belum pernah dia menangkan.

oleh Rinaldo diperbarui 26 Jan 2023, 17:08 WIB
Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Di dunia olahraga bulu tangkis, nama Susi Susanti dipastikan berada di posisi teratas. Prestasi yang dia torehkan sepanjang lebih 20 tahun memegang raket, tak hanya membuat harum Indonesia, melainkan juga menjadi kekaguman dunia.

Susi Susanti lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat pada 11 Februari 1971 dari pasangan Risad Haditono dan Purwo Banowati. Pendidikan SD ditempuh di Tasikmalaya, lalu SMP dan SMA Negeri di Ragunan, Jakarta Selatan, dan kemudian ke STIE Perbanas.

Sejak kecil, Susi sudah berlatih bulu tangkis untuk mewujudkan mimpi ayahnya menjadi juara dunia bulutangkis yang harus kandas lantaran beliau mengalami cedera lutut semasa muda. Di bawah bimbingan sang ayah, fisik serta gerakan Susi di lapangan berkembang pesat.

Kelebihan Susi ini kemudian membuat sang paman, Anton Purwosugiono, meliriknya. Pemilik klub bulu tangkis Tunas Inti Tasikmalaya ini kemudian melatih Susi pada usia 10 tahun. Tidak lama kemudian, Susi menjadi juara bulu tangkis tingkat SD se-Priangan.

Pada 1985, Susi yang masih duduk di bangku SMP memutuskan mengepakkan lebih lebar sayap kariernya di dunia bulu tangkis dengan hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan klub PB Jaya Raya di bawah asuhan pelatih Liang Ciu Sia.

Tahun itu pula Susi sukses menyabet gelar juara World Championship Junior, saat usianya masih 14 tahun. Susi meraih gelar tersebut ketika turun di nomor tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran.

Sejak itu Susi mulai mengukir prestasi emasnya. Susi memenangkan All England pada 1990, 1991, 1993 dan 1994, World Badminton Grand Prix Finals lima kali berturut-turut dari tahun 1990 hingga 1994 serta di 1996, dan Kejuaraan Dunia IBF pada tahun 1993.

Puncaknya tentu saat Susi berhasil memenangkan medali emas tunggal putri di Olimpiade Musim Panas 1992 di Barcelona, Spanyol dan medali perunggu di Olimpiade Musim Panas 1996 di Atlanta, Amerika Serikat. Ia juga memimpin tim Indonesia meraih kemenangan atas juara abadi Tiongkok di kompetisi Piala Uber 1994 dan 1996.

Susi juga satu-satunya pemain wanita yang memegang gelar tunggal Olimpiade, Kejuaraan Dunia, dan All-England secara bersamaan. Dia memenangkan Japan Open tiga kali dan Indonesian Open lima kali. Dia juga memenangkan banyak seri Badminton Grand Prix dan lima Badminton World Cup.

Perawakannya yang relatif kecil, gaya servisnya yang begitu tersohor, footwork-nya yang tanpa tanding, pergelangan tangan yang kuat, dan mental yang tangguh, membuat Susi dianggap banyak orang sebagai salah satu pemain tunggal putri terhebat sepanjang masa.

Susi Susanti menikah dengan Alan Budikusuma pada 9 Februari 1997 setelah berpacaran selama 9 tahun. Pasangan ini dijuluki Pasangan Emas Olimpiade karena keduanya meraih emas Olimpiade untuk Indonesia pada Olimpiade Barcelona 1992.

Susi sebenarnya masih bisa melanjutkan karier, apalagi dia sangat ingin mendapatkan emas pada ajang Asian Games, karena itu adalah satu-satunya pertandingan yang belum pernah dia menangkan. Namun, setelah dinyatakan hamil pada 1998, ia memutuskan untuk gantung raket dan tidak mengikuti Asian Games.

Acara pelepasan Susi berlangsung di Istora Senayan pada 30 Oktober 1999, yang merupakan pelepasan pertama kali yang pernah dilakukan PBSI. Dihadiri 2.500 penonton, pada kesempatan itu PBSI memberikan hadiah penghargaan berupa emas seberat 25 gram.

International Badminton Federation (sekarang Badminton World Federation) pada bulan Mei 2004 memberikan penghargaan Badminton Hall of Fame kepada Susi Susanti. Sebelumnya, ia juga menerima Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama pada 1992.

Kisah hidup Susi kemudian dibuat menjadi film biopik berjudul Susi Susanti: Love All yang dirilis pada 24 Oktober 2019. Kini, pasangan Alan dan Susi memiliki 3 orang anak, Laurencia Averina (1999), Albertus Edward (2000), dan Sebastianus Frederick (2003). Susi sendiri lebih mendorong anak-anaknya untuk mengejar karier selain di bulutangkis.

Berikut petikan wawancara Susi Susanti dengan Sheila Octarina dalam program Bincang Liputan6:


Mama-Papa, Awal dari Semua Mimpi

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bagaimana awalnya Mba Susi mengenal dunia bulutangkis?

Perkenalan saya di bulutangkis sebetulnya itu karena orangtua saya. Kebetulan Mama-Papa saya itu hobi bulutangkis. Jadi waktu kecil saya di Kota Tasikmalaya, kebetulan Mama sama Papa mantan pemain daerah lah kalau dibilang sih, bukan yang jago-jago banget.

Tapi impian jadi pemain bulutangkis itu ada di Papa. Tapi karena Papa waktu itu cedera, akhirnya pingin jadi juara dunia enggak kesampaian. Namun Papa masih tetap meneruskan hobinya di bulutangkis meskipun cuma level di Kota Tasik aja.

Di situlah perkenalan saya pertama, karena saya sering diajak Mama-Papa ke lapangan badminton. Jadi awalnya hanya nemenin Mama-Papa. Setelah itu saya mulai belajar tuh, nyoba-nyoba dari awal cuman aduh seneng ya ngambilin bola. Kan biasa anak-anak ngambil bola, terus di sana kan ada jajanan ya, ada kantin. Senang banget tuh waktu kecil.

Jadi, pertama bukan mau main badmintonnya, tapi jajannya waktu kecil itu. Tapi setelah itu saya mulai tertarik. Saya melihat Mama-Papa kan main, ah coba-coba mukul ternyata cukup menarik juga, senang juga.

Papa ketika itu sepertinya melihat saya punya bakat. Bakat saja kayanya tidak cukup. Tapi saya punya sifat yang kalau belum bisa tuh penasaran terus, pingin belajar, belajar, belajar. Nah di situlah mulai perkenalan pertama dan dari situ Papa mulai mengajarkan basic dari bulutangkis.

Anda masih ingat pertama kali ikut kejuaraan bulutangkis, itu tingkat SD ya?

Saya masih ingat waktu saya mulai belajar, setelah belajar bulutangkis, saya masuk ke klub bulutangkis yang kebetulan punya Om saya sendiri. Jadi memang keluarga besar Mama-Papa itu hobi bulutangkis. Nah di situlah mungkin waktu SD, kalau nggak salah sekitar kelas 3.

Jadi di Tasik sendiri, bukan sering, tapi memang rutin ada pertandingan-pertandingan, meskipun mungkin kayak 17 Agustusan. Nah waktu itu ada kelompok usia yunior, kalau yunior itu kan 18 tahun. Jadi waktu itu meskipun saya usianya masih 9-10 tahun, tapi pas ada pertandingan, kata Papa ikut saja, coba saja.

Ketika itu langsung juara?

Di situ saya nggak dapat juara, saya cuma dapat juara 3. Tapi buat saya piala itu sangat berharga sekali karena itu awal, awal yang sangat baik meskipun tidak menjadi juara 1, tapi kebanggaan bahwa setelah saya berlatih ternyata saya bisa dapat loh. Piala ini menjadi satu penyemangat saya.

Papa terus memberikan support dan semangat kepada saya. Kata Papa, ini kan baru juara 3, kamu bisa untuk jadi juara 1 dengan catatan berlatih lagi, bekerja keras lagi, kan impian kamu menjadi juara dunia. Nah, di situlah saya terpacu untuk berlatih lebih giat lagi dan ya ingin mengejar impian saya menjadi juara dunia.

Saat itu sudah membayangkan untuk menjadi juara dunia?

Saya punya impian jadi juara dunia sebetulnya dari mulai saya main bulutangkis. Jadi kebetulan waktu itu kan sering sekali nonton di TV itu ada Kak Verawati, Pak Rudy Hartono. Waktu itu ingat pada saat Pak Rudy menjadi juara All England, nah itu satu kebanggaan ya.

Saya melihat, waktu itu kan saya masih baru belajar-belajar ya. Waduh saya ingin kaya Pak Rudy, ingin jadi juara dunia. Kayanya waktu itu ke luar negeri saja sesuatu yang luar biasa ya. Apalagi waktu itu melihat Pak Rudy naik podium menjadi juara dan itu menjadi role model saya, menjadi idola saya, ah saya pingin kaya Pak Rudy deh, pengen jadi juara All England.

Jadi waktu saya bilang ke Papa, Beliau tentunya memberikan support yang luar biasa, karena impian Papa sebetulnya ingin menjadi juara dunia, tapi karena tidak tercapai akhirnya impian itu dititipkanlah ke saya.

 


Hijrah ke Jakarta, Jauh dari Orangtua

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti bersama Sheila Octarina dari Liputan6.com. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Setelah itu mulai meraih banyak kemenangan dalam berbagai kejuaraan dan masuk Pelatnas?

Jadi setelah saya waktu itu menjadi juara pertama kali, juara ketiga itu, di situ saya mulai rutin mengikuti kejuaraan-kejuaraan. Jadi ada open tournament, ada kelompok usia ya. Jadi kalau sekarang kan pertandingan itu ada kelompok anak-anak, usia dini, anak-anak, lalu juga remaja, lalu ada taruna yunior.

Waktu itu tahapannya dari Tasikmalaya saya mulai ngikutin kejuaraan ada di Bandung, ada di Purwokerto. Dalam level waktu itu masih kelompok usia remaja. Dari situlah mungkin klub besar yang mungkin saat ini seperti Djarum dan Jaya Raya memantau bibit-bibit yang ada di daerah.

Dan di usia 14 tahun saya mendapat tawaran untuk bergabung di klub besar. Jadi waktu itu di Tasik kan saya di klub Tunas Inti Tasik, jadi klub kecil yang ada di daerah gitu. Tapi dari hasil kejuaraan-kejuaraan itu saya dipantau oleh klub-klub besar seperti Djarum dan Jaya Raya.

Akhirnya saya memilih, bukan saya juga sih sebetulnya, tapi Papa dan Mama saya juga. Waktu itu saya dapat tawaran dari Jaya Raya dan Djarum. Tapi setelah mungkin berunding, Mama-Papa akhirnya memutuskan dipilihlah Jaya Raya di Jakarta.

Kenapa memilih untuk bergabung dengan Jaya Raya?

Alasannya, sebetulnya Djarum juga bagus karena waktu itu juga banyak melahirkan atlet-atlet dunia, seperti Pak Liem Swie King seperti itu. Akhirnya saya ke Jaya Raya di mana salah satunya mungkin idola saya, Pak Rudy Hartono yang menjadi pelatih di sana.

Lalu alasan kedua juga karena saudara-saudara banyak di Jakarta dibanding di Kudus. Nah, itu yang menjadi pilihan orangtua saya. Akhirnya di usia 14 tahun saya pindah ke Jakarta, masuk ke asrama, dan di situlah saya memutuskan bahwa ini adalah mungkin karier saya, impian saya dan bulutangkis tidak hanya sebagai hobi buat saya, tapi sudah menjadi profesi saya.

Bisa diceritakan bagaimana beratnya harus berpisah dari keluarga di usia yang masih belia?

Mungkin ini salah satu momen yang terberat ya. Pada saat dalam proses menuju impian saya, bagaimana saya harus berpisah dari orangtua, saya harus mandiri. Saya masuk asrama otomatis semua sendiri. Kalau dulu waktu di Tasik apa-apa ada Mama-Papa, lalu juga ada Mbak, semuanya terasa mudah.

Tapi di saat saya masuk ke asrama tentunya sangat berbeda jauh. Saya harus mandiri, berlatih sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Lalu juga tentunya juga tinggal di asrama saya juga harus mengatur diri sendiri, memenej waktu di mana pagi-pagi biasanya rutinitas itu kalau dibilang mungkin untuk seusia saya cukup berat ya.

Pukul 5 pagi saya harus sudah bangun, karena setengah enam harus sudah berlatih, sampai pukul 8. Karena pukul setengah sembilan saya harus sekolah. Jadi kebetulan memang kompleknya tuh sangat mendukung sekali untuk seorang atlet ada di sana, karena ada sekolah, ada tempat latihan dan asrama menjadi satu di komplek itu.

Lalu saya bersekolah di jam setengah sembilan sampai jam 2 siang. Pukul 3 sore saya sudah berlatih lagi sampai pukul 7. Nah, itu rutinitas yang harus saya jalankan sehari-hari. Dari hari Senin sampai hari Sabtu. Libur hanya hari Minggu.

Jadi libur cuma sehari?

Iya satu hari. Tapi saya menyadari karena itu sudah menjadi pilihan saya. Mungkin awal-awal cukup berat karena pada saat pertama kali pisah dari orangtua itu kayanya ada kerinduan, jadi ada kehilangan yah, di mana biasanya selalu berkumpul, selalu ada Mama-Papa yang selalu di samping saya.

Di sini saya harus sendiri, tapi saya harus, bukan hanya memberanikan diri, tapi mempunyai tekad yang kuat karena demi prestasi. Saya menyadari bahwa kalau saya mungkin di Tasikmalaya saja, mungkin tinggal enak ya, tapi untuk apa?

Jadwal latihan itu yang saya harus jalani setiap hari. Ada kalanya mungkin waktu itu saya juga sedih, ada kalanya saya juga merasa aduh kayanya capek banget ya, menyerah dengan keadaan itu. Tapi biasanya orangtua yang selalu memberikan support.

Mereka mengatakan, 'kan kamu maunya juara dunia, ya kamu harus lewati, kamu harus jalani, karena kan balik lagi itu semua untuk kamu. Kalau kamu mau berusaha dan tentunya apa impian itu ada di depan kamu'. itu yang selalu menjadikan motivasi buat saya, penyemangat dan yang menguatkan saya untuk bisa melewati itu semua.


Momen Pacaran di Lapangan Bulutangkis

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti dan Alan Budikusuma. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apakah rutinitas yang berakumulasi menjadi kebosanan itu yang membuat hampir menyerah?

Jadi kalau ditanya apakah saya senang-senang saja? Enggak. Karena setiap hari kan saya berlatih. Udah gitu juga disiplin kan harus tinggi, ada jam malam, ada jam mungkin makan saja juga ada aturannya, ada gizinya mungkin, berapa yang kita harus habisin. Lalu latihan juga enggak boleh terlambat, enggak boleh kurang, atau mungkin ngurangin jadwal latihan.

Nah hal-hal itu yang mungkin kalau dibilang membuat kebosanan ya. Apalagi mungkin di asrama kadang-kadang kita juga berantem sama teman, enggak omongan nanti gimana, kan itu banyaklah, bukan drama-drama, tapi memang kehidupan sehari-hari pasti akan ada ya seperti itu.

Nah, biasanya saya selalu berpikir positif. Paling kalau curhatan saya biasanya kalau dulu kan belum ada ya telepon, WA, sehingga nulis surat, dan rutin ke Mama-Papa, selalu mengirim surat untuk tentunya mendukung saya, men-support saya. Kadang-kadang saya juga kalau ada masalah apa, aduh kok gini-gini, Papa atau Mama selalu menguatkan.

Enggak apa-apa, kamu harus tegar, kamu harus kuat, kamu harus semangat, karena kan itu adalah masa depan kamu. Di saat kamu sudah memilih, kamu harus konsekuen, kamu harus bertanggung jawab dengan pilihan kamu, karena. Masa depan ada di tangan kamu sendiri. Jadi itu yang selalu menguatkan saya.

Kemudian, bagaimana cerita perkenalan dengan Alan Budikusuma?

Perkenalan pertama saya dengan Mas Alan sebetulnya di lapangan bulutangkis. Jadi kebetulan waktu di Jaya Raya di Jakarta, waktu itu di asrama kan banyak teman-teman dari provinsi dan kota kota yang berbeda. Jadi ada yang dari Jawa Timur, dari Solo, dari Jogja, saya dari Tasikmalaya. Jadi semua berkumpul.

Tapi buat kita sebetulnya itu menjadi satu keluarga karena kita jauh dari orangtua, otomatis mereka adalah saudara-saudara sendiri gitu. Karena sama-sama merasa senasib sepenanggungan di asrama, kita mesti latihan bareng-bareng, kita makan bareng-bareng. Kita juga kadang sekolah juga samaan ya.

Nah di situlah mulai mungkin, oh kayanya ada yang cocok nih. Ada yang buat curhat nih. Di situ mungkin awal pertama saya kenal Mas Alan di mana pada saat latihan, pada saat mungkin di kantin saat makan. Kadang-kadang saya juga kan ada masalah sama teman. Biasanya kan sama teman yang kayanya cocok ya kita curhat apa, salah satunya adalah Mas Alan. Di situlah mungkin kedekatan saya dengan Mas Alan dimulai dari sana.

Berawal dari curhat berarti ya?

Berawal dari curhat, lalu juga ya saling perhatiin lah. Sudah makan belum? Ayo makan bareng yuk? Gitu. Nah itu yang membuat kita menjadi dekat satu sama lain. Saling support, eh latihan ditambah dong, kan kamu mau pertandingan ke sana, biar sama-sama juara.

Jadi dari keseharian kita sama-sama saling support, saling memperhatikan. Akhirnya mulailah tumbuh bahwa kok kayaknya ini cocok ya, kayaknya kok dia perhatian sama saya, seperti itu. Begitu pula sebaliknya.

Boleh dikatakan cinta lokasi ya?

Cinlok ya, cinta lokasi, betul sekali, ha...ha...

Lantas bagaimana pacaran di tempat latihan, apakah ada acara kencan juga?

Itu berbeda sekali. Pacaran kita dengan teman-teman yang seusia kita pastinya beda, karena kita ada aturan yang banyak di asrama, lalu juga tanggung jawab kita juga berbeda, karena kan kita punya target sendiri.

Jadi waktu itu sebetulnya dari pelatih, dari orangtua sebetulnya enggak terlalu menyetujui kalau ada atlet yang pacaran. Kenapa? Takut ganggu. Karena banyak sekali contoh bahwa kalau pacaran itu mengganggu, bahkan malah jadi menurunkan prestasi.

Jadinya kurang fokus karena sering galau, begitu ya?

Betul. Takutnya kan kebawa perasaan atau gimana gitu. Atau mungkin konsentrasinya malah enggak ke bulutangkis tapi ke pacaran. Jadi hal itu yang ditakuti oleh tidak hanya orangtua, tapi juga pelatih tentunya.

Nah, buat saya dan Mas Alan sendiri waktu itu kita punya komitmen bahwa oke kita jalan saja, kita deket, tapi prioritas pertama kita adalah prestasi. Jadi biasa kita kalau pacaran itu enggak yang mungkin jalan-jalan keluar, maksudnya nonton atau segala macam, waktunya enggak ada, kita udah capek kan, gitu.

Jadi kita pacaran di lapangan atau kita ketemu ya cuma ketemu saja di kantin. Paling kalau seumpamanya mungkin latihan pun, oke kita tambahin latihan, tambahannya itu pacaran ya. Tapi di lapangan badminton.

Contohnya tambahan latihan, mungkin saya kurang smash-nya ya udah Mas Alan yang sparing-in, ayo kamu smash Mas Alan defense, atau Mas Alan mungkin yang mungkin fisiknya kurang bagus. Oke, ayo saya drilling-in kamu biar kuat di lapangannya.

Jadi support-nya nambah latihan, pacarannya di lapangan gitu. Paling sekali-sekali kita kalau mau ke luar pun itu di hari Minggu. Tapi biasanya hari Minggu saya dijemput sama Tante saya pulang ke rumah ya, ke rumah saudara. Otomatis enggak ada waktu untuk bisa jalan bareng tuh, paling ya ada di lapangan atau di kantin saja biasanya.

Kapan akhirnya hubungan dengan Mas Alan mendapat restu orangtua?

Kita sempet kayak backstreet ya karena kan takut. Sebab kalau kita kalah selalu ada rumor-rumor. Wartawan-wartawan selalu mengatakan, wah habis kebanyakan pacaran tuh. Nah itu akan membuat pelatih marah, orangtua marah.

Akhirnya kita kita jauh-jauhan saja. Tapi kita tunjukin dengan prestasi. Nah, itu yang membuat kita juga mungkin bisa bertahan, tidak hanya komunikasi, tapi hubungan yang lama, pacaran sampai akhirnya kita sudah juara, kayaknya baru direstui deh hubungan kita.

 


Sang Idola yang Akhirnya Menjadi Pelatih

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain Orangtua dan Mas Alan, siapa lagi sosok-sosok yang berada di balik kesuksesan seorang Susi Susanti?

Saya sukses tentunya tidak sendiri ya. Saya selalu mengatakan bahwa banyak sekali orang-orang di sekeliling saya yang menjadikan saya menjadi seorang juara. Pelatih pastinya, karena tanpa pelatih saya tidak mungkin bisa sukses dari mungkin ilmu-ilmu lalu juga mungkin jadwal program-program latihan diberikan.

Pelatih saya banyak sekali, mulai yang dari Kota Tasikmalaya, lalu di Jaya Raya sampai di pelatnas, semua punya jasa yang luar biasa. Karena kelebihan-kelebihan mereka yang diberikan kepada saya. Karena setiap pelatih kan berbeda-beda. Ada yang mungkin strateginya bagus, ada yang programnya bagus, ada yang disiplinnya bagus.

Jadi buat saya semua pelatih mulai dari yang di Tasikmalaya ada Om saya, lalu juga di Jaya Raya itu waktu itu ada saudara sepupu saya yang menjadi pelatih fisik, ada Ibu Retno, ada Ibu Minarni, ada Pak Rudy Hartono.

Lalu juga di pelatnas banyak juga pelatih-pelatih. Ada Pak Atik Jauhari, ada Pak Anton almarhum, lalu ada Pak Tahir Djide, lalu yang terakhir yang sampai mengantar saya menjadi juara All England, juara dunia, juara Olimpiade itu Ibu Liang Chiu Sia. Jadi banyak sekali yang punya peran penting yang berjasa atas prestasi saya.

Selain itu tentunya teman-teman seperjuangan saya. Meskipun kita bersaing di lapangan, tapi di luar lapangan kita adalah saudara. Di saat kita berlatih, mereka juga yang mensparing kita dan itu juga punya peran penting. Tanpa mereka saya enggak mungkin latihan sendiri.

Lalu juga tentunya lawan saya juga, tanpa mereka lawan dari negara-negara lain, tanpa mereka juga saya tidak mungkin akan menjadi juara. Dari mereka saya juga banyak belajar dari kekalahan dan kemenangan dan bagaimana kita juga bisa menjadikan bahwa olahraga ini, mungkin dia musuh bebuyutan, tapi dari mereka saya termotivasi untuk bisa menjadi yang terbaik.

Bisa sedikit diceritakan bagaimana rasanya dilatih oleh Rudy Hartono yang tak lain idola Mba Susi, ada rasa deg-degan nggak sih?

Pasti ya, karena Beliau jadi role model saya, idola saya. Waktu itu Beliau menjadi Ketua Club PB Jaya Raya. Memang tidak setiap hari Pak Rudy datang, tapi setiap Pak Rudy mau datang, waduh kita udah kayaknya tegang banget ya.

Aduh Pak Rudy mau ngelatih saya nggak ya? Dan biasanya Pak Rudy hanya memilih atlet-atlet yang kalau dibilang mungkin yang menonjol saja yang mungkin langsung dipegang sama Pak Rudy. Saya cukup bangga, cukup senang karena saya salah satu yang dipilih waktu itu.

Buat saya ini menjadi tidak hanya penyemangat tapi menjadi support yang luar biasa sekali, karena di saat Pak Rudy bilang kamu kalau mau jadi juara, kamu harus gini-gini. Itu saya catat dan saya merasa bahwa saya ingin kayak Pak Rudy.

Jadi pada saat saya mungkin di pelatnas, saya menjadi juara All England oke, juara All England baru sekali, dua kali, saya hanya empat kali juara All England gitu, sedangkan Pak Rudy 8 kali. Tapi itu yang memberikan motivasi bahwa Pak Rudy bisa, kenapa saya enggak? Jadi kemenangan demi kemenangan itu tidak membuat saya menjadi puas.

Ketika menghadapi lawan dari berbagai negara yang memiliki fisik lebih tinggi, adakah perasan tidak percaya diri?

Awal-awal ada. Karena kalau dibilang tinggi badan saya kan biasa-biasa saja, malah di bawah standar untuk atlet ya. Tinggi saya cuma 162, sedangkan apalagi kalau dari Eropa mereka ada yang 180, ada yang 190. Otomatis begitu masuk lapangan, waduh tinggi banget ya, kayak raksasa kalau dibilang gitu.

Tapi dari pelatih, dari Papa saya selalu menekankan bahwa di saat kamu bertanding, kamu nggak usah melihat lawan kamu mau tinggi, mau jago, mau apa, kamu main saja, konsentrasi fokus saja dengan lawan kamu. Istilahnya, di saat kita masuk lapangan, kita kan enggak tahu mau menang, mau kalah, main dulu, maksimal dulu dengan apa yang dipunya.

Jadi jangan takut dulu. Itu yang selalu saya ingat, meskipun mungkin enggak ada lah kalau orang ngomong, masuk lapangan pertandingan itu katanya enggak tegang, pasti tegang. Meskipun saya sudah juara dunia, juara Olimpiade, saat masuk lapangan pasti tegang. Tapi fokus kita jangan ketegangan kita sendiri, tapi fokus kita adalah ke lawan.

 


Berharap Lahirnya Calon Juara Tunggal Putri

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Melihat perkembangan dunia bulutangkis nasional, kenapa sampai sekarang belum lagi melahirkan pemain tunggal putri sekaliber Susi Susanti?

Kalau bertemu wartawan atau masyarakat penggemar bulutangkis saya selalu ditanya kenapa saat ini belum ada tunggal putri yang muncul lagi? Sebetulnya bukannya tidak ada, tapi kita juga harus tahu bahwa memang bibit putri di Indonesia itu tidak sebanyak putra. Itu menjadi salah satu sebab kenapa kita kayanya sulit sekali mencari, mungkin atlet yang bukan hanya berbakat tapi juga berprestasi.

Jadi peminat untuk atlet putri itu jauh lebih sedikit dibanding putra. Tapi bukan berarti tidak ada. Jadi yang saya tahu bahwa PB PBSI sudah bekerja keras untuk bisa membina atlet-atlet putri Indonesia untuk bisa mencapai prestasi yang memang diinginkan. Tapi saat ini kan proses yah, proses itu masih panjang.

Jadi saya masih ingat bahwa pada saat mungkin kita bisa flashback juga zamannya Ibu Minarni. Kalau putri kayanya yang muncul cuma satu ya. Lalu setelah itu Ibu Ivana Lie muncul satu lagi. Setelah itu mungkin ada Elizabeth Latief, Sarwendah. Lalu setelah Sarwendah saya, jadi kayanya munculnya satu-satu.

Sedangkan kalau putra kita tahu banyak. Mulai dari zaman Pak Rudy Hartono itu aja kan, ada Pak Rudy Hartono, ada Pak Liem Swie King, ada Lius Pongoh, banyak banget begitu kan? Begitu pula di zaman saya. Kenapa? Karena memang satu, bibit di putri itu lebih minim.

Kita adat timur ya, biasanya kalau orangtua yang punya anak perempuan kayanya sedikit, mungkin kurang mendukung, kurang support kalau anaknya milih ke olahraga, kenapa? Paling gampang itu, aduh nanti badan kamu itu bisa kekar, katanya. Kamu kayak enggak feminim.

Rata-rata mungkin orangtua akan memilih anak-anak perempuannya itu ke seni, ke nyanyi, ke musik yang kayaknya lebih dekat ke dunia wanita. Nah itu menjadi salah satu mungkin ya.

Kedua, proses menuju juara dunia itu kan juga tidak mudah, tidak hanya bakat tapi juga kemauan. Nah, di putri sendiri, atlet putri sekarang ini banyak yang punya bakat, kemauannya kurang, ada yang punya kemauan, bakatnya kurang. Nah itu juga yang membuat kita memang agak sedikit sulit di sana.

Tapi bukan berarti tidak ada. Mungkin setelah saya tuh waktu itu kan kita berharap Mia Audina. Ternyata Mia malah pindah ke Belanda. Itu yang membuat kita ada satu generasi yang hilang. Nah, untuk saat ini kita sedang mengejar bagaimana menciptakan atlet-atlet putri Indonesia yang punya prestasi yang bisa membanggakan seperti dulu lagi.

Sebetulnya kita saat ini ada Putri KW, ada Gregoria Mariska yang kita harapkan untuk ke depannya. Memang saat ini lagi proses kematangan ya dan pelan-pelan mudah-mudahanlah mereka bisa berbicara lebih lagi, berprestasi lagi.

Menurut pandangan Mba Susi, bagaimana peta kekuatan bulutangkis negara-negara di dunia saat ini?

Kalau ditanya sekarang negara mana yang paling kuat, lebih merata ya. Contohnya kalau dulu kan Indonesia, Denmark, China, Malaysia yang mendominasi. Tapi sekarang ini sudah mulai berbalik. Sekarang Taiwan cukup kuat, India cukup kuat, lalu mungkin Spanyol. Kita kan mungkin ngeliat Spanyol selalu dari sepak bola. Nah juara dunia putri malah dari Spanyol.

Lalu ada mungkin kemarin yang mengagetkan bahwa dari Islandia, lalu dari Turki, dari Israel, mereka bisa masuk dalam 20 besar dunia. Nah itu kan yang kalau ditanya sekarang yang kuat mana? Sekarang sudah merata. BWF sangat luar biasa sekali programnya memassalkan bulutangkis di dunia. Dan ini kerja sama dari negara-negara yang punya kekuatan bulutangkis dunia.

Maksudnya membantu negara-negara yang bulutangkisnya belum berkembang?

Jadi Indonesia sendiri, lalu juga China, lalu Denmark. Mereka membantu negara-negara kecil untuk bisa membina. Contohnya mungkin Indonesia mungkin biasanya mendapat kiriman latihan dari negara-negara lain. mungkin waktu itu ada dari Amerika Latin ya. Waktu itu sampai latihan di Kudus, dititipkan.

Lalu dari Guatemala, tidak hanya latihan di sini, tapi juga kita mengirimkan pelatih-pelatih, sehingga otomatis kan programnya sama. Mereka juga istilahnya membina masing-masing di negara masing-masing itu dengan baik. Otomatis kan persaingan akan semakin baik.

Tapi ada plus minusnya juga kalau buat saya dan BWF pun sebetulnya ini menjadi salah satu strategi BWF juga karena apa? Semakin banyak negara-negara yang menyukai bulutangkis, otomatis kekuatan bulutangkis di Olimpiade itu akan tetap terjaga.

Ini menjadi salah satu mungkin strategi tidak hanya BWF, tapi juga mungkin negara-negara yang mungkin secara bulutangkisnya kuat yah, karena otomatis kita juga harus mempertahankan bulutangkis di Olimpiade.

 


Pilihan Sulit Sebelum Gantung Raket

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apa momen paling berkesan sepanjang perjalanan karier Mba Susi?

Kalau ditanya momen yang paling berkesan pasti Olimpiade ya. Olimpiade Barcelona tahun 1992. Kenapa? Mungkin saya sudah juara All England, saya juara dunia. Tapi Olimpiade itu adalah kejuaraan yang tertinggi di mana pengakuan dunia itu ada di sana.

Saya juara All England, juara dunia, namun hanya orang-orang yang mungkin senang bulutangkis saja yang tahu. Tapi di saat Olimpiade itu, semua mata dunia memandang ke sana dan pengakuan dunia ada di sana.

Lalu juga kenapa yang paling sulit? Karena menuju Olimpiade itu tidak mudah. Kita persiapan itu biasanya minimal empat tahun sebelum Olimpiade, itu sudah dipersiapkan. Lalu menuju Olimpiade itu ada seleksi. Dua tahun sebelum Olimpiade kita harus ikut seleksi di mana hanya atlet-atlet yang mempunyai rangking tertinggi yang boleh bermain di sana.

Biasanya 16 besar dunia itu baru boleh bisa bertanding di Olimpiade. Jadi itu sulit sekali untuk menuju ke sana. Belum lagi tekanan, belum lagi beban, belum lagi mungkin target-target yang diberikan di sana.

Lalu juga pastinya Olimpiade itu memberikan sesuatu yang paling berkesan tahun 1992, karena waktu itu pertama kali bulutangkis dipertandingkan dan otomatis beban tanggung jawabnya berlipat ya, karena Indonesia waktu itu kan kesempatan untuk bisa meraih medali memang di bulutangkis.

Beban yang terasa waktu itu betul-betul berat ya?

Waktu itu saya sempat takut ketemu orang, karena pada saat saya lolos di Olimpiade, tekanan atau tanggung jawab dan beban itu ada di pundak saya. Setiap ketemu orang, saya selalu dikatakan kamu harus emas, kamu harus emas, bukan oleh pengurus saja, bukan oleh Ketua PBSI atau oleh Menpora, tapi masyarakat yang ketemu, Susi kamu emas ya, kamu harus emas ya? Aduh, harus... harus... harus, aduh saya bilang. Sampai saya takut waktu itu.

Itu yang memberikan saya momen yang nggak mungkin dilupakan. Tapi kembali lagi bahwa di saat itulah saya harus menerima tanggung jawab dan di saat terakhir itu saya harus betul-betul kuat untuk mengemban tugas. Di saat itu saya berusaha untuk bisa siap dalam situasi apa pun. Itu yang selalu menjadi mungkin kenangan yang tidak hanya menyenangkan, tapi prosesnya menuju ke sana itu luar biasa sekali.

Lantas apa yang membuat Mba Susi akhirnya memutuskan gantung raket?

Itu salah satu keputusan yang sangat, kalau dibilang sangat penting buat saya. Seorang atlet di saat tersulit itu salah satunya adalah bagaimana kita memutuskan untuk pensiun. Karena kan dari kecil sampai kita berkarier itu kan di bulutangkis. Bahkan sekolah pun kalau dibilang jadi nomor dua yah.

Dan yang paling ditakutkan dari pensiunnya seorang atlet, kita mau ngapain sih setelah tidak menjadi atlet? Karena apa? Keahlian kita hanya mungkin kalau saya di bulutangkis, hanya bulutangkis saja. Kalau sekolah ya saya hanya lulusan SMA, saya kuliah itu pun harus saya tinggalkan karena kan saya harus memilih, saya kuliah sampai semester 3.

Itu pun kenapa saya memutuskan mundur karena sempat saya ujian, tapi saya juga harus latihan sambil ngapalin ujian, akhirnya saya cedera. Akhirnya di situlah saya memutuskan, nggak saya hanya bulutangkis saja, daripada saya cedera dan saya berhenti.

Nah di saat saya mundur, saya juga harus memikirkan saya mau ngapain lagi setelah mundur. Karena kita belum ada jaminan dari pemerintah meskipun kita udah juara dunia, juara Olimpiade atau apa pun. Di saat kita mundur kita bukan siapa-siapa. Kita masyarakat biasa dan harus memulai dari nol lagi.

Jadi, alasan mundur?

Sebetulnya saya mundur tuh nggak sengaja. Sebetulnya keinginan saya mundur adalah setelah saya menyelesaikan tugas satu lagi yaitu Asian Games di tahun 1998, yaitu di Desember. Ternyata di Agustus (mundur).

Jadi saya married tahun 1997, saya pikir masih dua tahun lagi saya pingin main bulutangkis. Yah, saya punya rencana, tapi Tuhan yang memutuskan. Yang menentukan Tuhan. Di Agustus 1998 saat pertandingan Singapore Open, saya masih ingat itu pertandingan terakhir saya.

Ketika itu saya kalah di final oleh musuh bebuyutan saya Ye Zhaoying. Saya pulang ternyata positif, saya dinyatakan hamil. Itulah satu keputusan cukup sulit, apakah saya mau meneruskan kehamilan atau saya mau meneruskan karier.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan Mas Alan, dari orangtua saya, dari pelatih saya, semua terserah saya yang memutuskan. Di satu sisi saya masih punya ambisi. Saya juara semua, hanya satu Asian Games yang belum saya dapat. Tapi di satu sisi lagi, saya dapat berkat dari Tuhan, yaitu sebagai wanita saya sempurna, saya hamil anak yang saya kandung.

Di situ keputusan sulit, aduh gimana ya? Akhirnya saya memutuskan, mungkin di agama saya kalau saya memutuskan untuk karier saya otomatis harus membunuh janin yang ada di perut saya. Itu kan dosa. Saya lebih takut dosa.

Akhirnya saya memutuskan, nggak deh saya bilang gitu, mungkin sudah cukup. Saya mau sempurna, tapi kesempurnaan itu milik Tuhan. Tapi saya mendapatkan berkat yang luar biasa yaitu gantinya seorang anak. Akhirnya di situlah saya memutuskan pensiun.

 


Kegiatan Setelah Pensiun dari Bulutangkis

Mantan atlet bulutangkis nasional Susi Susanti dan Alan Budikusuma. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apa kesibukan Mba Susi sekarang?

Kesibukan saya pastinya ibu rumah tangga yang terutama, karena saya sudah punya anak 3. Kegiatan di rumah sehari-hari, lalu saya ada bisnis juga, yang nggak jauh-jauh dari alat olahraga. Lalu juga saya ada spa tapi lebih ke sport massage refleksiologi.

Saya juga tetap berkecimpung di dunia bulutangkis, saya menjadi Wakil Ketua di PB Jaya Raya. Banyak bantu juga sih untuk bulutangkis tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara tetangga kita.

Bagaimana dengan anak-anak, tidak ada yang tertarik menggeluti bulutangkis?

Aduh, anak-anak saya sudah terlambat ya untuk jadi atlet bulutangkis. Tapi waktu kecil sih mereka semua saya perkenalkan ke olahraga. Karena buat saya olahraga sangat penting sekali. Tidak hanya untuk prestasi tapi untuk kesehatan. Jadi waktu kecil sih mereka juga main bulutangkis.

Selain bulutangkis ya mereka berenang. Karena kan penting ya kalau di air kita harus bisa gitu. Lalu juga bela diri juga saya masukin juga mulai dari ya aikido lalu juga wushu. Jadi mereka paling nggak untuk protect diri sendiri.

Kalau untuk menjadi atlet, sampai sekarang sih nggak. Tapi untuk jadi tim sekolah aja mereka iya, sampai sekarang mungkin di Amerika pun mereka masih tetep menekuni bulutangkis di sekolah. Tapi kalau untuk jadi ngikutin mama papanya enggak sih, mereka saat ini lebih ke sekolah aja.

Tapi Mba Susi memang tidak pernah mengharuskan mereka untuk jadi atlet?

Enggak, nggak banget. Saya ngebebasin. Karena saya tahu bahwa mungkin kalau orang nanya mereka kan mama-papanya atlet bulutangkis, juara. Punya bakat nggak? Kalau ditanya punya bakat, punya. Tapi balik lagi, bakat aja nggak cukup. Karena melihat bahwa pada saat mereka latihan waktu kecil, maunya on-off, ya udah nggak mungkin gitu.

Dari dia sendiri, dari anak-anak sendiri mereka nggak ada keseriusan, nggak ada ketertarikan, dan nggak ada kemauan yang kuat untuk kayak jadi juara. Jadi latihan sebentar, aduh panas, Pah. Aduh ikut pertandingan nggak ada AC-nya, panas ya nggak mau ah.

Ya gimana mau jadi juara, nggak ada kemauan, nggak bisa ngelawan. Tidak hanya ngelawan lawan, melawan diri sendiri aja nggak bisa, susah. Jadi saya bilang ya udah bulutangkis untuk tambah nilai aja deh, nggak apa-apa. Tapi ya udah, kalau kamu sudah mutusin ke sekolah, ya kamu harus sekolah dengan baik, gitu aja sih.

Apa nih harapan Mba Susi untuk pemerintah dan calon-calon atlet bulutangkis kita di masa depan?

Mungkin untuk teman-teman Sahabat Liputan6 ya, yang ingin menjadi seorang atlet profesional atau atlet berprestasi, kalian pasti bisa. Tapi tentunya bakat saja tidak cukup. Kemauan yang keras, mau kerja keras, disiplin, lalu latihan yang giat, tidak mudah patah semangat. Saya percaya bahwa masa depan ada di tangan kalian. Tetap semangat, pasti bisa.

Dan mungkin bulutangkis saat ini juga sudah bisa memberikan sesuatu yang tidak hanya prestasi, tidak hanya kebanggaan, tapi juga fresh money yang cukup banyak. Dan saat ini mungkin pemerintah juga sudah lebih baik lagi secara perhatian, karena dari hasil prestasi-prestasi atlet ada perhatian yang lebih.

Tapi kita juga tetap berharap bahwa masa prestasi bulutangkis atau masa emasnya atlet itu ada batasnya, tentunya penghargaan lalu juga kita berharap ada masa depan, jaminan yang lebih juga terhadap atlet-atlet, karena juara itu hanya satu di dunia.

Ketika ada yang ingin anaknya menjadi atlet, tentunya orangtua selalu menanyakan ada masa depan nggak? Ada jaminan nggak? Ya kita berharap bahwa pemerintah juga memperhatikan ini, karena dengan ada jaminan tentunya akan membuka peluang, memberikan harapan dan juga penyemangat generasi muda agar mereka juga mau menjadi atlet karena ada jaminan dan ada penghargaan yang layak sampai masa tuanya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya