Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Jawa mempunyai hunian tradisional berupa rumah panggung. Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan dan memiliki fungsinya masing-masing. Semisal di bagian tengah, terdapat sebuah kamar yang dianggap sakral bernama krobongan atau pasren.
Krobongan biasanya dihiasi gorden, kasur, bantal, sajen, dan perlengkapan lainnya, tetapi tidak digunakan untuk tidur. Kamar tersebut sengaja dibiarkan kosong, guna dipersembahkan kepada Dewi Sri.
Advertisement
Para petani Jawa sangat menghormati Dewi Sri. Legenda yang dianggap berperan penting dalam keberhasilan pertanian orang Jawa kuno. Terlepas dari semua cerita itu, sosok tersebut memang sangat terkenal sebagai dewi padi dalam mitologi Jawa kuno.
"Kalau kami petani Jawa mengenal istilah Dewi Sri," ujar, Toyib salah satu petani di Kepil, Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (26/01/2022).
Mereka menjadikan krobongan sebagai tempat sakral yang khusus untuk melakukan pemujaan, pembakaran kemenyan, dan peletakan sajen. Mereka percaya, agar usahanya lancar perlu disediakan tempat khusus untuk menghormati sang dewi padi di dalam rumah.
Maka tak heran, kehormatan Dewi Sri begitu tinggi di hati petani Jawa. Itulah yang mendorong mereka untuk memperlakukan padi dengan rapi dan cukup hati-hati, mulai dari memotongnya sampai menyimpannya.
Bahkan, di lumbung padi pun, para petani umumnya meletakkan kaca dan minyak wangi. Tak hanya itu, padi juga diperlakukan dengan sopan dan hormat layaknya makhluk hidup lainnya.
Hal ini dipercaya dapat mendatangkan keberkahan serta kecukupan hingga musim berikutnya. Semua perlakuan tak baik terhadap beras atau padi, akan sangat melukai hati mereka.
Kemudian, selama musim panen Dewi Sri akan lebih dimuliakan. Para petani kerap mengadakan tradisi berupa upacara metik padi, seren taun, kenduri, dan lainnya. Acara itu biasanya disertai pesta dan pertunjukan wayang lakon Sri Sadono atau Sri Mulih.
"Intinya itu salah bentuk syukur kami saat panen, berbagi kepada alam semesta dan mahluk lainnya. Kan kita hidup ini selalu berdampingan," tambah Toyib.
Di samping itu, krobongan pada umumnya juga digunakan sebagai tempat penyimpanan senjata atau harta pusaka. Masyarakat Jawa ketika itu percaya, pusaka merupakan harta yang harus dijaga sebagai warisan adat budaya.
Namun sayangnya, seiring perkembangan zaman, krobongan mulai ditinggalkan. Bahkan, banyak generasi muda yang tidak mengenal hal tersebut. Padahal, ruangan tersebut pernah menjadi saksi betapa jayanya hasil pertanian masyarakat Jawa kala itu.
"Kalau sekarang sih jarang banget, lihat krobongan di rumah. Karena itu tadi, jumlah petani di desa bisa hitung, dan anak mudanya banyak yang pindah kota kemudian membangun rumah di sana," Toyib mengakhiri.