Cerita Akhir Pekan: Gegap Walking Tour untuk Hidupkan Wisata Urban

Sejumlah paket walking tour alias tur dengan berjalan kaki bermunculan di berbagai kota.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 28 Jan 2023, 10:43 WIB
Petak Sembilan di kawasan Glodok merupakan salah satu rute favorit untuk tur dalam kota Jakarta. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Sektor pariwisata kembali menggeliat seiring situasi pandemi Covid-19 yang melandai. Masing-masing destinasi seakan berpacu mengejar ketertinggalan mengingat lebih dari dua tahun para pelaku usaha harus melambat atau bahkan terpaksa berhenti. Salah satunya dengan mengembangkan wisata urban.

Mengutip Edward Inskeep dalam buku Tourism Planning-An Integrated Suistainable Approach, wisata urban didefinisikan sebagai pariwisata yang bertempat di kota besar dengan pariwisata dianggap penting tapi bukan aktivitas utama dari daerah perkotaan tersebut. Artinya, pariwisata adalah aktivitas pendukung penting sebuah kota. Mayoritas adalah wisata buatan.

Bentuk aktivitas wisatanya bisa beragam, seperti walking tour alias tur dengan berjalan kaki. Pemainnya bermunculan di berbagai kota, khususnya di Jakarta. Mereka menyiapkan sejumlah rute untuk dijelajahi para peserta selama beberapa jam didampingi pemandu.

Walk Indies, misalnya. Berjalan sejak 2015, usaha itu dilatarbelakangi kecintaan para pendiri terhadap sejarah, terutama sejarah Indonesia. Mereka miris karena merasa begitu banyak cerita masa lalu yang tidak diajarkan dalam kurikulum sejarah formal di sekolah.

"Kota Jakarta sangat tua, lebih tua dari tetangganya di Asia. Namun, warganya sendiri banyak yang tidak mengerti cerita dan kemahsyurannya di masa lalu," tutur Rico Pratama, pendiri Walk Indies, kepada Liputan6.com, Kamis, 26 Januari 2023.

Dari pemahaman itu pula, mereka menyiapkan banyak paket perjalanan yang bisa dipilih para peserta. Setidaknya ada 15 paket yang tersedia saat ini dengan moda transportasi yang bervariasi, mulai dari hanya jalan kaki, dikombinasikan dengan bersepeda, naik kapal pesiar, hingga naik bus untuk berkunjung ke Karawang dan Banten.

"Yang paling populer adalah Secret Society of Batavia (Fremason di Batavia), Queen of the East (Kota Tua), Jejak Kuno di Salemba, Hermes & Elephant (Harmoni), dan Tjerita dari Pantjoran (Glodok)," sambung Rico.

Di Kelapa Gading terdapat wahana House of trap dan berbagai kuliner Nusantara.

Bisa Semua Kalangan

Suasana walking tour di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Komunitas tur jalan kaki juga eksis di Kota Kembang. Bandoeng Waktoe Itoe (BWI) salah satunya yang sudah berjalan selama satu tahun sejak berdiri pada 19 Januari 2023. Serupa dengan kemunculan Walk Indies, komunitas itu juga berjalan dimulai dari kegemaran para pendiri terhadap sejarah, khususnya sejarah Bandung dan sekitarnya.

"Dengan kegiatan ini memungkinkan kami untuk mengungkap fakta sejarah langsung ke tempatnya," kata Sansan Yusadi dan Rifkia Ali, founder dan co-founder BWI, dalam kesempatan berbeda.

Saat menyusun rute perjalanan, minimal ada satu cagar budaya atau gedung bersejarah yang bisa dimasuki para peserta. Pihaknya kini menyediakan 20an rute yang pesertanya antara 10--20 orang per sesi. Mayoritas dari Bandung dan sekitarnya, tetapi ada pula yang berasal dari Jabodetabek.

"Jarak rutenya kurang lebih satu kilometer. Responsnya lumayan. Tiap rute baru pasti ada peserta baru. Peserta umum, semua umur," ucap Ali.

Mengingat wisata ini ditujukan untuk semua orang, BWI pun berencana untuk berkolaborasi dengan DILANS, yakni komunitas disabel dan lanjut usia di Bandung. Kerja sama sudah mulai dirintis pada Desember 2022 dengan menggelar tur menggunakan bus khusus disabilitas. "Di luar itu, belum ada mitra lain," kata dia lagi.


Leluasa Mengobservasi

Salah satu destinasi yang disinggahi selama walking tour di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat. (dok. Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Rico menjelaskan metode jalan kaki paling tepat untuk mengobservasi berbagai tempat, dibandingkan dengan naik kendaraan. Ia mencontohkan pengalamannya dengan berjalan kaki, peserta bisa menemukan sisa tembok Kota Batavia yang berusia 400 tahun di daerah perumahan pinggir kali.

"Sulit dijangkau dengan mobil. Dan ternyata, banyak tempat di Jakarta niscaya bisa dikunjungi dengan berjalan kaki," ucapnya.

Pihaknya merujuk Singapura, Australia, dan London sebagai acuan model walking tour yang ideal. Ada pula sejumlah pertimbangan sebelum mereka menjadikannya sebagai rute tur wajib. Ketersediaan trotoar, seberapa menarik dan banyak tempat bersejarahnya, dan bagaimana ceritanya bisa relevan dengan kondisi Jakarta masa kini, adalah sederet faktor yang diperhatikan.

Paket-paket tur tersebut disebutnya berdampak positif pada wisata urban. Menurut Rico, lebih banyak peserta turnya kini suka berjalan kaki, observasi bangunan naik kendaraan umum, hingga mempelajari sejarah Jakarta. "Kunjungan ke beberapa museum yang belum dikenal menjadi meningkat, seperti Museum Prasasti, Museum MH Thamrin, dan Gedung Joeang," tutur dia.

Di samping itu, paket tur wisata kota juga bisa menghidupkan 'usaha kerakyatan'. "Biasa kami bermitra dengan kedai-kedai makanan, minuman, galeri, museum, tempat ibadah, dan dinas pariwisata, agar mendapatkan izin resmi dan dapat memperkenalkan hidden gem of Jakarta," imbuh Rico.

 

 


Kendala Lapangan

Tak hanya menyimpan diorama masa lalu, Musem KAA menyimpan kisah bagaimana Indonesia berperan penting dalam perdamaian dunia.

Baik BWI maupun Walk Indies menilai bahwa wisata jalan kaki berdampak positif pada minat orang untuk belajar sejarah. "Termasuk yang ada di kota-kota besar lain, telah membuat narasi sejarah lebih menarik serta manusiawi," ujar Ali.

Di sisi lain, ada sejumlah ganjalan yang dirasakan para pengelola walking tour. Bagi Walk Indies, kendala utama adalah suhu panas di beberapa daerah yang bisa membuat pemandu dan para peserta tidak nyaman, seperti di Kota Tua. Begitu pula dengan kondisi jalan yang kurang bersahabat bagi pejalan kaki.

"Menyeberang jalan di zebra cross kadang masih kesulitan karena kendaraan tidak mau berhenti," sebut Rico.

Sementara, BWI lebih menyoroti soal perizinan, khususnya untuk mengunjungi gedung-gedung bersejarah yang akan disinggahi. Waktu pengurusannya cukup memakan waktu, padahal upaya mereka bisa sekaligus mempromosikan tanpa beriklan.

Ia juga mengaku peran pemerintah, khususnya Pemkot Bandung, dalam mendukung keberlanjutan tur kota masih minim. "Khususnya untuk BWI, belum mendapatkan dukungan dalam bentuk apapun," ucap Ali.

Sementara, Walk Indies dan komunitas serupa di Jakarta lebih beruntung. Mereka mendapat dukungan nyata, setidaknya dibantu promosi lewat media sosial pemerintah. "Dilibatkan di dalam forum forum dengar pendapat dalam penyusunan rencana promosi pariwisata dan SOP pramuwisata," kata Rico yang menandakan pemerintah DKI Jakarta menganggap penting walking tour untuk menghidupkan pariwisata Jakarta.

Wisata urban adalah wisata yang menjadikan ruang-ruang publik kota dan pengalaman hidup di perkotaan sebagai atraksi utama. (Dok: Liputan6.com/Trisyani)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya