Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan mengatakan akan terus membatasi masuknya pelancong dari China hingga akhir Februari 2023 karena kekhawatiran penyebaran COVID-19 di negara itu. Terlebih setelah liburan Tahun Baru Imlek.
Korea Selatan pada awal Januari 2023 berhenti mengeluarkan sebagian besar visa jangka pendek di konsulatnya di China, dengan alasan kekhawatiran tentang lonjakan virus di Tiongkok.
Advertisement
Korea Selatan juga mewajibkan semua penumpang dari China, Hong Kong, dan Makau untuk menyerahkan bukti tes negatif yang diambil 48 jam sebelum kedatangan mereka dan melakukan tes lagi setelah tiba, seperti dikutip dari situs berita NST.com.my, Jumat (27/1/2023).
Langkah-langkah tersebut, yang awalnya diberlakukan pada Januari, mendorong China untuk membalas dengan menangguhkan aplikasi visa jangka pendek Korea Selatan, meningkatkan kekhawatiran tentang gangguan aktivitas bisnis di negara yang sangat bergantung pada ekspor ke China.
Otoritas kesehatan juga memutuskan untuk memperpanjang tindakan virus corona pada pelancong jangka pendek dari China selama satu bulan lagi.
Meskipun ada beberapa indikasi wabah COVID-19 di kota-kota besar China melambat, pejabat Korea Selatan tetap khawatir tentang kebangkitan virus setelah pertemuan besar-besaran dan perjalanan lintas negara selama liburan Tahun Baru Imlek yang berakhir minggu ini.
Para pejabat Korea Selatan selama pertemuan membuka kemungkinan pelonggaran pembatasan lebih awal jika situasi COVID-19 di China semakin membaik, kata Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan dalam sebuah pernyataan.
Libur Imlek Bakal Picu COVID-19 Melonjak di China?
Menurut informasi Wakil Perdana Menteri China Sun Chunlan, wabah COVID-19 berada pada tingkat yang "relatif rendah". Media pemerintah melaporkan hal itu pada Kamis 19 Januari 2023 malam, setelah pejabat kesehatan mengatakan jumlah pasien COVID-19 di klinik, ruang gawat darurat, dan dengan kondisi kritis telah mencapai puncaknya.
Kendati demikian, mengutip DW Indonesia, Sabtu (21/1/2023), ada keraguan yang menyebar tentang wabah yang membanjiri rumah sakit dan krematorium sejak Beijing mencabut kebijakan nol-COVID dan syarat pengujian massal bulan lalu.
Beberapa ahli kesehatan memperkirakan bahwa lebih dari satu juta orang akan meninggal akibat penyakit tersebut di China tahun ini, dengan perusahaan data kesehatan yang berbasis di Inggris, Airfinity, memperkirakan angka kematian akibat COVID-19 dapat mencapai 36.000 orang per hari pada minggu depan.
"Saat ini, pandemi secara keseluruhan di negara ini berada pada tingkat yang relatif rendah," kata Sun dalam komentarnya yang dilaporkan oleh kantor berita pemerintah Xinhua.
"Jumlah pasien kritis di rumah sakit terus menurun, meskipun misi penyelamatan masih berat."
Komentarnya muncul sehari sebelum puncak mudik pada libur Tahun Baru Imlek, Jumat 20 Januari, salah satu hari tersibuk di seluruh China sejak pandemi merebak pada akhir 2019. Sebanyak 2,1 miliar warga diperkirakan pulang ke kampung halamannya sejak 7 Januari dan 15 Februari mendatang, menurut perkiraan Kementerian Transportasi China.
Para penumpang yang penuh dengan koper dan kotak-kotak hadiah memadati kereta api pada hari Jumat 20 Januari. "Semua orang ingin sekali pulang ke rumah. Bagaimanapun juga, kami sudah lama tidak bertemu dengan keluarga kami," kata seorang pria berusia 30 tahun bermarga Li kepada Reuters di stasiun kereta api barat Beijing.
Regulator internet China mengatakan pada pekan ini bahwa mereka akan menyensor "informasi palsu" tentang penyebaran Virus Corona COVID-19, yang dapat menyebabkan sentimen "suram" selama perayaan Tahun Baru Imlek.
Advertisement
Analis: Pembukaan China Membahayakan, Tapi Bantu Hidupkan Ekonomi
Presiden China Xi Jinping mengatakan prihatin dengan masuknya wisatawan ke daerah pedesaan yang memiliki sistem medis lemah.
China melaporkan lonjakan besar dalam rawat inap COVID-19 dalam awal pekan tahun ini hingga 15 Januari, ke level tertinggi sejak pandemi dimulai, menurut laporan yang diterbitkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis 19 Januari.
Rawat inap di rumah sakit naik 70% dari minggu sebelumnya menjadi 63.307, menurut WHO, mengutip data yang disampaikan oleh Beijing.
Meskipun pembukaan kembali China terbukti membahayakan, investor berharap bahwa hal itu pada akhirnya akan membantu menghidupkan kembali ekonominya senilai 17 triliun dolar.
Terjadi Lonjakan
"Pasar secara luas mengantisipasi lonjakan permintaan yang terpendam akan dilepaskan dari pembukaan kembali ekonomi RRT," kata para analis Nomura dalam sebuah catatan.
Para analis memperingatkan bahwa penurunan kekayaan rumah tangga dan lonjakan pengangguran kaum muda, merupakan dampak dari penguncian selama bertahun-tahun, dan dapat meredam rebound.
Pengeluaran wisatawan China untuk perjalanan telah tumbuh menjadi 255 miliar dolar pada tahun 2019 sebelum pandemi dan menyumbang 33% dari pengeluaran di pasar barang pribadi mewah global, menurut perkiraan Bain.
Advertisement