Liputan6.com, Jakarta - Kecaman telah datang dari banyak negara, atas aksi pembakaran Al-Qur'an yang dilakukan oleh seorang ekstremis sayap kanan Swedia-Denmark di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia, Sabtu 21 Januari 2023 lalu. Salah satu negara yang mengutuk aksi tersebut adalah Indonesia.
"Indonesia mengutuk keras aksi pembakaran kitab suci Al-Qur'an oleh Rasmus Paludan, politisi Swedia, di Stockholm," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri RI melalui akun resminya di Twitter pada Minggu 22 Januari.
Advertisement
Hampir sepekan kemudian, pada Jumat 27 Januari, Kedutaan Besar Swedia di Indonesia pun buka suara perihal aksi pembakaran salinan kitab suci umat Muslim tersebut. Pihaknya menegaskan bahwa upaya tersebut sama sekali tidak merepresentasikan pemerintah negaranya.
"Pemerintah Swedia sangat tidak menyetujui tindakan Islamofobia yang dilakukan oleh ekstrimis sayap kanan di Swedia. Tindakan ini sama sekali tidak mencerminkan posisi Pemerintah Swedia," tulis Kedutaan Besar Swedia di Jakarta melalui akun resmi Instagram @swedenjakarta, Jumat (27/1/2023).
Dari Swedia, Menteri Luar Negeri Tobias Billstrom turut menanggapi insiden pembakaran Al-Qur'an di negaranya.
"Provokasi islamofobia sangat mengerikan. Swedia menjunjung kebebasan berekspresi, tetapi bukan berarti pemerintah Swedia, atau saya sendiri, mendukung pendapat yang diungkapkan," kata Billstrom di Twitter.
Sementara itu, sebelumnya Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan penistaan kitab suci serta melukai dan menodai toleransi umat beragama.
Kemlu juga menegaskan bahwa kebebasan berpendapat seharusnya dilakukan secara bertanggung jawab.
Paludan Klaim Dapat Izin Pemerintah Swedia
Dikutip dari kantor berita Turki, Anadolu, Rasmus Paludan, pemimpin Partai Stram Kurs (Garis Keras) dilaporkan membakar mushaf Al-Qur'an atas izin pemerintah dan perlindungan polisi.
Pemerintah Swedia mengizinkan aksi pembakaran Al-Qur'an karena menilai hal itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Aksi pembakaran itu terjadi selama demonstrasi yang menentang permintaan Turki pekan lalu agar Swedia mengambil langkah tegas melawan PKK (Partai Pekerja Kurdistan) yang dianggap Turki sebagai kelompok teror.
Swedia dan Finlandia secara resmi telah mengajukan diri untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tahun lalu.
Namun, Turki menyatakan keberatan dan menuduh kedua negara itu menoleransi bahkan mendukung kelompok teror, termasuk PKK dan organisasi teroris Fetullah (FETO).
Advertisement
Terjadi di Tengah Ketegangan Turki-Swedia dan NATO
Peristiwa ini terjadi saat Swedia tengah berjuang untuk meyakinkan Presiden Recep Tayyip Erdogan agar mengizinkannya bergabung dengan NATO.
Mengutip laporan Daily Mail, Sabtu (21/1/2023), Rasmus Paludan yang berusia 41 tahun disebut memiliki izin untuk membakar salinan Al-Qur'an di depan gedung tersebut pada Sabtu 21 Januari. Bertepatan dengan dua demonstrasi terkait yang direncanakan untuk memprotes Turki.
Paludan yang merupakan keturunan Denmark-Swedia mengatakan dia ingin 'menandai kebebasan berbicara' setelah digantungnya patung Presiden Turki Tayyip Erdogan di dekat balai kota Stockholm yang memicu tanggapan keras di Turki. Swedia juga mengutuk aksi tersebut.
Keputusan untuk mengizinkan pembakaran salinan Al-Qur'an terjadi di tengah hubungan yang tegang antara Swedia dan Turki, setelah keputusan terakhir terkait pengajuan Swedia masuk NATO.
Swedia dan Finlandia berupaya masuk keanggotaan NATO sejak invasi Rusia ke Ukraina, tetapi tawaran mereka harus disetujui oleh semua 30 negara anggota NATO. Kedua negara Nordik tersebut masih mengandalkan suara dari Turki dan Hongaria, yang telah dijanjikan oleh Perdana Menteri Hongaria Viktor Orbán pada tahun 2023.
Sejatinya Finlandia dan Swedia secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan NATO pada Mei tahun lalu, mengabaikan non-blok militer selama beberapa dekade, sebuah keputusan yang dipicu oleh aksi militer Rusia terhadap Ukraina. Tapi Turki – anggota NATO selama lebih dari 70 tahun – menyuarakan keberatan, mengatakan kedua negara telah mentolerir dan mendukung kelompok teroris.
Kemudian pada Juni 2022, Turki dan kedua negara Nordik tersebut menandatangani sebuah memorandum pada pertemuan puncak NATO untuk mengatasi masalah keamanan Ankara, membuka jalan bagi keanggotaan mereka di aliansi tersebut. Tujuh bulan telah berlalu sejak penandatanganan memorandum tersebut dan Swedia belum juga memenuhi rekomendasi yang telah disepakati.
Imbas Pembakaran Al-Qur'an, Pesan Erdogan ke Swedia: Jangan Lagi Berharap Dukungan Kami untuk Gabung NATO
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, Swedia seharusnya tidak lagi mengharapkan dukungan Turki atas keanggotaannya di NATO. Pernyataan Erdogan itu muncul setelah aksi pembakaran salinan Al-Qur'an di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm pada Sabtu (21/1/2023).
"Mereka yang mengizinkan penistaan agama seperti itu di depan kedutaan kami tidak lagi dapat mengharapkan dukungan kami bagi keanggotaan NATO mereka," kata Erdogan seperti dikutip dari Channel News Asia, Selasa (24/1/2023).
"Jika Anda sangat mencintai anggota organisasi teroris dan musuh Islam dan melindungi mereka maka kami menyarankan Anda untuk meminta dukungan mereka demi keamanan negara Anda," imbuhnya.
Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom menolak mengomentari pernyataan Erdogan. Kepada Reuters, Billstrom mengatakan ingin memahami lebih dulu dengan tepat apa yang disampaikan Erdogan.
"Tetapi Swedia akan menghormati kesepakatan yang ada antara Swedia, Finlandia, dan Turki mengenai keanggotaan NATO kami," terangnya.
Advertisement