Liputan6.com, Jakarta - Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi, utamanya yang berusia 0-6 bulan. Kandungan gizi, nutrisi, dan manfaatnya tak tergantikan oleh susu jenis lain, minuman maupun makanan apapun.
Namun, terkadang ada bayi yang sampai kekurangan ASI. Misalnya, karena kehilangan ibu kandung, ASI yang tak mencukupi, ibu sakit, atau penyebab lainnya. Karena itu ada yang menginisiasi gerakan berbagi ASI atau donor ASI.
Tentu saja gerakan ini patut diapresiasi. Ini adalah upaya melindungi bayi, dengan mencukupi kebutuhan nutrisinya sejak dini.
Baca Juga
Advertisement
Lantas, Bagaimana ketentuan hukum Islam donor ASI?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa MUI, telah memberikan pedoman bagi umat Islam, melalui Fatwa Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla’).
Penjelasan Fatwa MUI nomor 28 tahun 2013 sebagaimana dikutip dari laman mui.or.id, Jumat (27/1/2023):
Pertama, seorang ibu dapat menyusui anak yang bukan anak kandungnya. Sebaliknya, seorang anak dapat menerima ASI dari ibu yang bukan ibu kandungnya, jika memenuhi syarat syari.
Kedua, harus mengikuti aturan saat memberi dan menerima ASI, karena ibu menyusui harus sehat jasmani dan rohani, dan tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Ketiga, dapat memberikan dan menerima kompensasi untuk layanan manajemen donor ASI, dengan catatan tidak untuk didistribusikan atau dijual, dan ujrah (upah) diperoleh melalui jasa pengasuhan anak dan bukan melalui jual beli ASI.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Dalil untuk Donor ASI
Fatwa ini merujuk sejumlah dalil baik Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW di antaranya QS Al-Baqarah ayat 233.
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
"Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.
Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Selain itu, juga surat Ali Iman ayat 23 sebagai berikut:
وأمهـاتـكم التي أرضـعـنكم وأخـواتـكـم من الرضـاعـة
“Dan ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara sepersusuanmu.”
Sementara itu, fatwa juga merujuk hadits Nabi Muhammad SAW yaitu:
لارضاع إلا ما أنـشز العـظـم وأنـبـت اللـحـم
Tidak dianggap sebagai persusuan kecuali persusuan yang dilakukan pada masa pembentukan tulang dan pertumbuhan daging. (HR Abu Dawud, //Kitab Nikah, Bab Radhaa’atu Al-Kabiir).
“Diharamkan (untuk dinikahi) akibat persusuan apa-apa yang diharamkan (untuk dinikahi) dari nasab/hubungan keluarga.” (HR Bukhari, Kitab Al-Syahadaat Bab Al-Syahadatu Ala Al-Ansaab Muslim, Kitab Al-Radhaa’ Bab Yakhrumu Min AlRadhaa’ Maa Yakhrumu Min Al-Wilaadah)
Fatwa yang ditetapkan di Jakarta pada 4 Ramadhan 1434 H (13 Juli 2013 M) tersebut dapat menjadikan pedoman bagi masyakat (terutama umat agama Islam) agar pola kehidupannya sesuai dengan tuntunan syariah Islam.
Tim Rembulan
Advertisement