Liputan6.com, Jakarta Indonesia mendeteksi satu kasus Subvarian Omicron XBB 1.5 atau yang dikenal dengan nama varian Kraken. Kasus pertama dari orang Polandia yang tengah melakukan perjalanan di Indonesia.
Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan mengutarakan bahwa temuan kasus Kraken baru satu. Namun, melihat karakter Kraken yang menular sangat cepat, adakah kemungkinan kehadiran Kraken picu lonjakan kenaikan kasus di RI?
Advertisement
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane mengatakan bahwa kemungkinan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 pasti ada. Dengan catatan testing di Indonesia adekuat.
Sayangnya, kata Masdalina, sepuluh bulan terakhir testing di tanah air terbilang rendah.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa Kraken sebenarnya bukan kejadian baru. Omicron varian ini sudah masuk di Indonesia di awal Januari yang dibawa oleh WNA Polandia tersebut.
Sehingga dia meyakini bahwa varian Kraken sudah menyebar saat ini dan sudah meluas. Akibat testing yang buruk, kasus ini pun tidak terlihat meningkat.
"Saya yakin di komunitas itu orang yang sakit cukup banyak. Masalahnya, Omicron ini sejak awal ditemukan di Desember 2021 tidak purulen. Purulen itu ditandai dengan angka kematian yang rendah, walaupun di awal-awal atau di Januari 2022 masih 400-an kematian, tapi tidaklah seganas Delta," kata Masdalina saat dihubungi Health Liputan6.com melalui sambungan telepon.
Makin ke sini COVID Omicron makin berkurang prulensinya. Yang bisa dilihat dari angka kematian yang sudah kurang dari dua digit. Seperti kemarin, 28 Januari 2023 hanya satu kematian akibat COVID-19. Hari sebelumnya dua orang meninggal akibat COVID-19
"Jadi, menurut pandangan kami, ini tidak berbahaya sejak awal," katanya menambahkan.
Testing Ideal, Seperti Apa?
Terkait testing COVID yang menurun, Masdalina, mengatakan, bila menggunakan indikator tes dari WHO, hitungan yang dites per minggu seharusnya adalah 270.000 orang. Disebabkan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta.
"Baru kemudian kita bisa mengatakan bahwa positivity rate kita adekuat," katanya.
"Dalam 10 bulan terakhir testing kita ini terus turun. Dan, saat ini tidak pernah mencapai 270 ribu per minggu. Permenkes terkait hal ini masih ada dan belum dicabut. Jadi, banyak standar-standar pengendalian kita yang kemudian indikatornya tidak bisa tercapai," Masdalina menambahkan.
Jadi, untuk menentukan apakah suatu kasus terjadi peningkatan yang signifikan atau tidak, jumlah yang dites per minggunya harus berkisar 270 hingga 273 ribu.
"Atau sekitar 30 sampai 50 ribu per hari," katanya.
"Tesnya juga enggak boleh ecek-ecek, harus PCR karena diagnostik. Bukan antigen," Masdalina menambahkan.
Advertisement
Prokes Masih Relevan dengan Kondisi Saat Ini
Mengingat bahwa saat ini status pandemi COVID-19 masih berlaku dan belum dicabut, protol kesehatan masih tetap relevan untuk dilakukan.
Prokes tidak semata-mata soal mencegah penularan Virus Corona penyebab COVID-19, tapi juga efektif mengurangi infeksi dari penyakit lain.
Terlebih saat ini, kembali muncul kasus campak. Penyakit yang tanpa disadari sebanyak 12 provinsi dan 56 kabupaten/kota telah menetapkan wilayahnya kondisi luar biasa (KLB) campak.
"Campak itu lebih menular daripada COVID. Pola penularannya sama, droplet juga," katanya.
Bahkan tak hanya itu, prokes seperti pakai masker baik di luar maupun di dalam ruangan juga dapat mencegah pemakainya dari infeksi seperti TB paru dan influenza.
"Prokes tetap perlu dan jangan lupa untuk berperilaku hidup bersih dan sehat," katanya.
"Jadi, meningkatkan imunitas kita, tetap istirahat yang cukup, makan yang baik, tidak stres, juga merupakan faktor-faktor membuat kita jauh lebih mampu bertahan menghadapi COVID ini," pungkasnya.