Kritik Perang Ukraina, Perempuan Rusia Usia 19 Tahun Terancam hingga 7 Tahun Penjara

Olesya, yang memiliki tato anti-Putin di salah satu pergelangan kakinya, menjalani tahanan rumah di apartemen ibunya di Severodvinsk, Arkhangelsk.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 30 Jan 2023, 12:21 WIB
Bendera Ukraina berkibar ditiup angin saat tanda perdamaian raksasa dipasang para demonstran jelang KTT Uni Eropa dan NATO di Brussels, Belgia, 22 Maret 2022. Pengunjuk rasa meminta para pemimpin Uni Eropa memberlakukan larangan penuh terhadap bahan bakar Rusia. (AP Photo/Geert Vanden Wijngaert)

Liputan6.com, Moskow - Perempuan Rusia berusia 19 tahun, Olesya Krivtsova, berstatus tahanan rumah setelah didakwa atas unggahannya di sosial media yang menurut pihak berwenang mendiskreditkan tentara Rusia dan membenarkan terorisme.

Olesya, yang memiliki tato anti-Putin di salah satu pergelangan kakinya, menjalani tahanan rumah di apartemen ibunya di Severodvinsk, Arkhangelsk. Dia dilarang online, menggunakan bentuk komunikasi lainnya, serta harus memakai gelang pelacak untuk memantau setiap pergerakannya.

Pejabat Rusia menambahkan Olesya ke dalam daftar teroris dan ekstremis, setara dengan ISIS, Al Qaeda, dan Taliban menyusul unggahan ceritanya di Instagram tentang ledakan di Jembatan Krimea pada Oktober, yang turut mengkritik Rusia karena menginvasi Ukraina.

Perempuan yang merupakan mahasiswa Northern (Arctic) Federal University di Arkhangelsk itu juga menghadapi tuntutan pidana karena mendiskreditkan tentara Rusia melalui unggahan ulang tentang perang yang diduga kritis dalam obrolan siswa di jejaring sosial Rusia VK.

"Kasus Olesya bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir," kata Alexei Kichin, pengacara Olesya kepada CNN seperti dikutip pada Senin (30/1/2023).

Kichin mengatakan, Olesya kemungkinan menghadapi hukuman tiga tahun penjara atas dakwaan mendiskreditkan tentara Rusia dan hingga tujuh tahun penjara berdasarkan pasal pembenaran terorisme. Namun, dia tetap mengharapkan hukuman yang lebih ringan bagi kliennya, seperti denda misalnya.


'Peringatan'

Presiden Rusia Vladimir Putin memegang teropong saat menonton latihan militer Center-2019 di lapangan tembak Donguz dekat Orenburg, Rusia, 20 September 2019. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa dia tidak akan ragu menggunakan senjata nuklir untuk menangkal upaya Ukraina merebut kembali kendali atas wilayah yang didudukinya yang akan diserap Moskow. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Pemantau hak asasi manusia independen OVD-Info mengungkapkan bahwa terdapat setidaknya 61 kasus tuduhan pembenaran terorisme via internet pada tahun 2022 di Rusia.

Ibu Olesya, Natalya Krivtsova, meyakini bahwa pemerintah berusaha memberi peringatan kepada publik lewat kasus putrinya.

"Kami tinggal di Arkhangels dan ini merupakan wilayah yang luas tapi terlalu jauh dari pusat. Tidak ada lagi protes di Arkhangelsk, jadi mereka mencoba mencengkeram semua yang tersisa," ujar Natalya.

Kepala Partai Komunis setempat, Alexander Novikov, secara terbuka mengejek Olesya di televisi, menyebutnya "si bodoh yang harus dikirim ke garis depan wilayah Donbas, sehingga dia bisa menatap langsung pertempuan sebagai bagian dari batalion Arkhangelsk".

Ini bukan kali pertama Olesya berurusan dengan pihak berwenang karena mengemukakan pandangannya secara terbuka. Mei tahun lalu, dia menghadapi tuntutan administratif karena mendiskreditkan tentara Rusia dengan menyebarkan poster antiperang.

Masalah pun menjadi serius ketika dia kembali dituduh mendiskreditkan tentara Rusia via media sosial pada Oktober lalu. Menurut pengacaranya, pelanggaran berulang berdasarkan pasal yang sama berubah menjadi kasus pidana.

"Dia memiliki rasa keadilan yang tinggi, yang membuat hidupnya sulit. Ketidakmampuan untuk tetap diam sekarang menjadi dosa besar di Rusia," ungkap Natalya.


Diancam dengan Palu Godam

Warga membersihkan puing-puing setelah rudal Rusia menghantam apartemen di Kota Dnipro, Ukraina, 14 Januari 2023. Rusia meluncurkan gelombang serangan besar untuk memukul infrastruktur energi di Ukraina termasuk sebuah gedung apartemen sembilan lantai di Kota Dnipro yang menyebabkan 12 orang tewas. (AP Photo/Roman Chop)

Natalya lebih lanjut mengisahkan bahwa Olesya digerebek polisi di sebuah apartemen pada 26 Desember di mana ia dan suaminya, Ilya, tinggal. Pasangan itu dipaksa untuk berbaring telungkup di tanah dan diduga diancam dengan palu godam.

"Olesya sangat ketakutan karena pernah melihat video di mana seorang tahanan dibunuh dengan palu godam," tutur Natalya.

"Negara memiliki sejumlah kebijakan yang aneh: tahanan pergi berperang, sementara anak-anak masuk penjara," imbuhnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya