Siap-Siap, Solar Campur Minyak Sawit 35 Persen Mulai Dijual 1 Februari 2023

Kemenko Perekonomian mengapresiasi kepada seluruh pelaku industri dan Kementerian Perindustrian yang turut mendukung terwujudnya B35 ini.

oleh Tira Santia diperbarui 31 Jan 2023, 12:30 WIB
Mesin pompa pengisian Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU Jakarta, Selasa (26/11/2019). PT Pertamina (Persero) mulai menyediakan solar dengan kandungan 30 persen Fatty Acid Methyl Ester (FAME) yang berbahan baku minyak sawit bagi sektor transportasi maupun sektor industri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud menjelaskan, pemerintah mulai menjalankan program B35 atau solar campur biodiesel dari kelapa sawit sebesar 35 persen pada 1 Februari 2023.

Musdalifah menjelaskan, mandatori B35 ini telah dimulai dengan kerja sama dari seluruh pemangku kepentingan sejak tahun lalu. Setelah uji coba sukses berjalan, pemerintah telah menyebar B35 ke SPBU pada akhir Desember 2022.

"Penyaluran biodiesel dalam program B35 kali ini diperkirakan mencapai 13,15 juta liter," kata Musdalifah dalam Energy Corner Special B35, Selasa (31/1/2023).

Menurutnya, implementasi program B35 ini bukan hanya untuk keseimbangan energi saja tetapi juga ada banyak manfaat lain. Ia pun menjabarkan bahwa B35 ini mendukung penciptaan tenaga kerja baru, menciptakan penurunan emisi gas rumah kaca, hingga melakukan penyelamatan devisa negara karena mengurangi pembelian energi fosil dari luar negeri.

"Kita menjalankan energi biru untuk rakyat kita, Kementerian perhubungan dapat menghirup udara yang lebih baik dibandingkan kita menghirup udara dari energi fosil.

Maka dari itu, Kemenko Perekonomian mengapresiasi kepada seluruh pelaku industri dan Kementerian Perindustrian yang turut mendukung terwujudnya B35 ini, kemudian untuk badan usaha bahan bakar minyak sebagai pihak yang melakukan pencampuran maupun kepada seluruh badan usaha BBM sebagai produsen-produsen biodiesel.

Ia melanjutkan, sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, terdapat 16,3 juta hektar lahan di Indonesia yang ditanami kelapa sawit. Disamping itu, tercatat 16 juta masyarakat perekonomiannya bergantung pada kelapa sawit.

"Ada 16,3 juta hektar yang ditanami oleh kelapa sawit dan sekitar 16 juta rakyat kuta tergantung dari adanya ekonomi kelapa sawit," katanya.

 

 


Kolaborasi Program B35 dan Bursa Acuan Bakal Perkuat Sawit Indonesia

Petugas melakukan pengisian bahan bakar pertalite di SPBU Pertamina Abdul Muis, Jakarta, Kamis (30/6/2022). PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya, PT Pertamina Patra Niaga, akan melakukan uji coba pembelian bahan bakar minyak (BBM) subsidi, Pertalite dan Solar, secara terbatas bagi pengguna yang sudah terdaftar pada sistem MyPertamina, mulai 1 Juli mendatang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai pembentukan indeks/bursa harga acuan komoditas plus program B35 bakal memperkuat posisi industri sawit Indonesia di tingkat global.

Program B35 sebagai campuran minyak sawit 35 persen dan 65 persen BBM jenis solar ini rencana mulai diterapkan per 1 Februari 2023.

Sahat meyakini, program B35 akan mengangkat konsumsi minyak sawit mentah (CPO) di dalam negeri, yang selama ini lebih sering dilempar ke pasar ekspor.

"Sangat bagus itu (B35), tambah konsumsi dalam negeri. Kalau porsi ekspor bisa berubah enggak masalah, karena harga lebih bagus lagi," kata Sahat di Kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Menurut catatannya, saat ini dunia butuh suplai minyak sawit sekitar 248 juta ton per tahun. Jumlah itu terus bertambah 3 persen setiap tahunnya, atau sekitar 7 juta ton.

Oleh karenanya, ia mengajak para produsen sawit Tanah Air untuk menjemput peluang tersebut, dan tidak mengeluhkan kebijakan B35 yang dicanangkan pemerintah.

"Mereka harus bisa tingkatkan produktivitas, sekarang itu paling tidak 25 ton tandan buah sawit per hektar per tahun. Jangan cuma 12 ton, apalagi petani kita itu perlu dibantu," ungkap Sahat.

 


Bursa Komoditas

Di sisi lain, Sahat juga mendukung keras rencana pembentukan bursa hargaacuan komoditas, termasuk harga acuan sawit. Dengan catatan pengelola bursa komoditi itu berasal dari pihak independen yang tidak menggeluti bisnis sawit.

"Saya sangat setuju. Itu perlu didukung. Yang persoalannya adalah kalau ada bursa komoditi ini, itu pengelolanya jangan ikut campur yang berbisnis sawit. Jadi harus ada independent party," kata Sahat.

"Kalau tidak (dikelola oleh pengusaha non-sawit), ya itu udah tidak benar. Itu yang perlu dicegah," tegas dia.

 

infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya