Peringati Hari Kusta Sedunia, Komisi Nasional Disabilitas Gelar Lokakarya Nasional

Hari Kusta Sedunia tahun ini jatuh pada 29 Januari 2023. Hari Kusta Sedunia memang diperingati setiap hari Minggu di pekan terakhir Januari.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 31 Jan 2023, 18:00 WIB
Peringati Hari Kusta Sedunia, Komisi Nasional Disabilitas Gelar Lokakarya Nasional. Foto: KND

Liputan6.com, Jakarta Hari Kusta Sedunia tahun ini jatuh pada 29 Januari 2023. Hari Kusta Sedunia memang diperingati setiap hari Minggu di pekan terakhir Januari.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, hingga 2020 Indonesia menempati peringkat ketiga kasus kusta terbanyak. Orang yang mengalami dan orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) mendapat stigma yang luar biasa dalam kehidupannya.

Hal ini mengakibatkan pasien terpuruk dalam berbagai sektor kehidupan yang semestinya diperoleh dengan setara sebagai warga negara. Namun faktanya, hal tersebut masih menjadi tantangan bagi orang yang mengalami kusta dan OYPMK di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memasukkan kusta sebagai bagian dari disabilitas fisik. Oleh sebab itu, hak-hak para penyandang kusta atau OYPMK harus segera dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.  

Anggota komisioner Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND-RI) Fatimah Asri Mutmainnah menyambut Hari Kusta Sedunia dengan terlibat dalam lokakarya.

Gelaran lokakarya nasional tentang kusta yang bekerja sama dengan Yayasan NLR Indonesia adalah upaya mengarusutamakan isu disabilitas di masyarakat. Acara ini digelar pada Senin, 30 Januari 2023.

Perempuan yang akrab disapa Aci itu mengatakan bahwa masih banyak ditemukan stigma negatif dan stereotip terhadap pengidap kusta ataupun orang yang pernah menderita kusta.

“Setidaknya ada empat stigma yang masih melekat pada mereka, yaitu stigma diri, stigma provider, stigma pemerintah, dan yang terakhir stigma dari masyarakat,” kata Aci mengutip keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Selasa (31/1/2023).


Stigma Kusta

Anggota komisioner Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia (KND-RI) Fatimah Asri Mutmainnah. Foto: KND.

Aci menjabarkan, stigma diri biasanya muncul dari pengidap kusta itu sendiri karena kondisinya yang tidak biasa. Sedangkan, stigma provider biasanya muncul dari pemberi kerja atau provider.

Kemudian juga masih ditemukan stigma dari sebagian pemerintahan yang masih melakukan pengabaian. Ditambah dengan stigma dari masyarakat yang umumnya kurang mendapatkan edukasi terkait penyakit kusta.

KND pun berusaha mengeliminasi rantai penyebaran penyakit kusta dengan cara menjalin sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait.

“Secara kelembagaan, KND-RI mempunyai tugas untuk melakukan pemantauan, evaluasi, serta advokasi atas pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.”

“Pasti kami akan terus mendorong mitra kami untuk terus melakukan praktik-praktik baik dan mempertajam kebijakan yang menyasar langsung kepada mereka,” jelasnya.


Eliminasi Stigma

Lebih lanjut Aci menjelaskan, salah satu cara yang paling efektif untuk mengeliminasi stigma adalah dengan cara melibatkan segenap lapisan masyarakat yang berada di sekeliling pengidap kusta.

“Kita bisa melibatkan tokoh dan komunitas keagamaan, tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk berperan aktif dalam menghapus stigma negatif yang masih melekat pada penderita kusta,” ujarnya.

Sementara itu, dalam sambutan dan arahan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS, disampaikan bahwa penyakit kusta adalah penyakit tertua di dunia dan merupakan penyakit tropis yang terabaikan.

“Dari 50 kasus baru, 5 kasus kusta terjadi pada anak, walaupun tren penyakit ini menurun,” kata Maxi mengutip keterangan pers yang sama.


Pentingnya Deteksi Dini

Maxi juga menyampaikan, intervensi penanganan kusta dikatakan gagal ketika penyandang kusta menjadi penyandang disabilitas. Untuk itu, deteksi dini sangat penting untuk dilakukan dan dibutuhkan pencatatan kontak yang lengkap ketika ada kasus baru.

“Semakin tinggi angka kusta maka semakin tinggi angka diskriminasi dan stigmatisasi,” jelas Maxi.

“Harapannya, Indonesia tidak hanya dapat mencapai zero leprosy tetapi juga zero disability dan zero stigma,” tambahnya.

Pihaknya juga mengungkap beberapa tantangan yang dihadapi. Salah satunya soal alokasi anggaran untuk penanganan kusta di daerah yang masih sangat rendah, walaupun di Pemerintah Pusat sudah ada pengajuan peningkatan anggaran mulai tahun 2022.

Untuk itu, ia meminta agar penanganan dan pengendalian kusta tidak dilakukan sendiri oleh Kementerian Kesehatan RI. Namun, harus dilakukan penguatan advokasi secara kolaboratif dengan seluruh kementerian/lembaga dan lintas sektor. 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya