Bukan karena Gaji, Ini Alasan Pekerja di Asia Tak Mau Buru-buru Pensiun

Laporan survei ini disusun oleh sebuah agen perekrutan asal Belanda, Randstad.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 31 Jan 2023, 19:20 WIB
Pekerja kantoran melintas di pelican cross kawasan Jalan Thamrin, Jakarta, Kamis (5/1/2023). Pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dinilai untuk menggenjot ekonomi Indonesia 2023 yang diproyeksi suram akibat resesi global. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Survei terbaru mengungkapkan krisis biaya hidup menunda rencana pensiun pekerja profesional di seluruh dunia, terutama di kawasan Asia. 

Laporan survei ini disusun oleh sebuah agen perekrutan asal Belanda, Randstad. Namun, gaji tidak menjadi alasan orang-orang di Asia terus bekerja.

Melansir CNBC International, Selasa (31/1/2023) laporan Workmonitor yang disusun Randstad menemukan bahwa hanya setengah dari pekerja yang disurvei percaya mereka dapat meninggalkan pekerjaan secara permanen sebelum berusia 65 tahun, turun dari 61 persen tahun lalu.

"Ekonomi global yang goyah, inflasi tinggi, dan berkurangnya bantuan pemerintah membuat banyak orang mempertimbangkan kembali langkah tersebut (pensiun)," ungkap Randstad.

Laporan Randstad, mensurvei 35.000 orang di 34 pasar kerja di berbagai negara di Asia dan Pasifik untuk mengetahui sentimen mereka terhadap dunia kerja.

Ditemukan juga, 70 persen pekerja yang disurvei mengungkapkan kekhawatiran finansial menjadi hambatan untuk menikmati penghasilan yang sudah dikumpul, salah satunya pekerja di Asia-Pasifik yang cenderung merasa pekerjaan sebagai kebutuhan dalam hidup mereka.

66 persen dari responden ini ada yang berasal dari India dan 61 persen dari China. Mereka memandang pekerjaan sebagai "kebutuhan" — hampir dua kali lipat rata-rata global sebesar 32 persen.

"Baik untuk suatu arti dan tujuan, interaksi sosial atau untuk mengalami tantangan yang datang dengan pekerjaan, pekerjaan bagi banyak orang lebih dari sekadar gaji," kata Randstad.

"Pekerjaan membuat mereka tetap terhubung dan memberi mereka rasa memiliki," bebernya.


Faktor Budaya

Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Laporan Randstad mengatakan, salah satu alasan pekerja mempertahankan pekerjaan mereka adalah karena rasa memiliki kewajiban terhadap atasan.

Laporan tersebut menemukan bahwa sekitar seperlima, atau 21 persen pekerja di Asia-Pasifik merasa bahwa pemberi kerja yang membutuhkan mereka akan menghalangi mereka untuk pensiun, dibandingkan dengan 12 persen populasi global.

"Ada faktor budaya yang berperan di sini dengan peran pekerjaan dan pendidikan dalam kehidupan masyarakat," kata Sander van ’t Noordende, CEO Randstad.

Selain itu, pekerja juga merasa memiliki pekerjaan yang stabil membuat mereka merasa dihargai dan dihormati oleh rekan-rekan kolega.

"Namun, ekonomi negara yang sedang booming dan peningkatan permintaan bakat yang eksponensial, baik di dalam negeri maupun internasional, juga cenderung berkontribusi pada perbedaan ini dibandingkan dengan negara-negara lain secara global," sebutnya.

 


Memiliki Pekerjaan Sebagai Bagian Hidup yang Penting di Asia

Seorang pria melihat layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Seperti diketahui, Asia merupakan rumah bagi tiga dari lima negara ekonomi terbesar dunia, termasuk China, Jepang, dan India.

Pekerja di beberapa negara Asia juga cenderung mengatakan bahwa mereka menganggap pekerjaan sebagai bagian penting dari kehidupan mereka, ungkap Sander van ’t Noordende, CEO Randstad.

Sebagai contoh, 89 persen pekerja di China menganggap pekerjaan sebagai bagian hidup yang penting dan 90 persen responden di India juga berpikrian serupa, yang hampir 20 persen lebih tinggi dari rata-rata global, menurut laporan Randstad.


Sekjen Kemnaker: Tantangan Ketenagakerjaan Harus Jadi Peluang

Sekjen Kemnaker, Anwar Sanusi, saat membuka Rapat Koordinasi Persiapan Pertemuan ke-12 WGHRD IMT-GT di Bandar Lampung, Lampung, Jumat (15/7/2022).

Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi, mengatakan berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam bidang ketenagakerjaan harus dapat dijadikan peluang, untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pengantar kerja sebagai pelaksana penempatan tenaga kerja di instansi.

"Adanya transformasi digital semakin mendekatkan pelayanan dinas, khususnya pengantar kerja kepada masyarakat, dengan memberikan layanan yang mudah, murah, cepat dan akurat," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi ketika menutup kegiatan Rapat Koordinasi Teknis Pejabat Fungsional Pengantar Kerja, di Jakarta, Jum'at (23/12/2022).

Dia menjelaskan, Rakornis ini sebagai sarana pembelajaran untuk lebih memahami perkembangan layanan online, sehingga nantinya para pengantar kerja siap memberikan layanan penempatan tenaga kerja secara digital.

"Oleh karena itu, investasi yang harus diprioritaskan dalam pengembangan transformasi digital adalah kesiapan dan pengembangan kapasitas SDM penempatan sebagai pelaksana teknis layanan ketenagakerjaan," jelas Sekjen Anwar.

Adapun perhelatan G20 beberapa waktu lalu, kata Sekjen Anwar juga menitikberatkan pada pencapaian tiga karakteristik transformasi digital yaitu inklusivitas, empowering dan sustainable.

"Ketiga hal ini menjadi penguat dalam implementasi layanan ketenagakerjaan yang lebih efektif, efisien, zero cost dan komprehensif," ujarnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya