Tarian Cingpoling Purworejo, Berawal dari Penyamaran Jadi Kesenian

Sekarang kesenian cingpoling berada di bawah organisasi kesenian Tunggul Wulung yang telah terbentuk sejak 1957.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 02 Feb 2023, 00:00 WIB
Alun-alun Purworejo (Sumber: dinparbud.purworejokab.go.id)

Liputan6.com, Purworejo - Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, memiliki beberapa tarian unggulan yang masih dilestarikan hingga sekarang. Salah satu tarian tersebut adalah cingpoling yang telah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB).

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, kesenian cingpoling diperkirakan muncul pada masa penjajahan Belanda, yakni sejak abad ke-17. Kesenian ini pertama kali muncul di Desa Kesawen, Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo.

Saat itu, Desa Kesawen masuk ke dalam wilayah Kadipaten Karangduwur. Namun, sekarang kesenian cingpoling berada di bawah organisasi kesenian Tunggul Wulung yang telah terbentuk sejak 1957.

Dari sana pula, kesenian ini terus berkembang dari generasi ke generasi. Bahkan, cingpoling telah disahkan berdasarkan SK Depdikbud Kabupaten Purworejo dengan Nomor 0534/I0306I /J.91.

Sementara itu, kesenian ini merupakan penggambaran prajurit Demang yang memerintah wilayah Kesawen. Saat itu, pemerintahan belum dipimpin oleh lurah atau kepala desa, sehingga prajurit Demang masih memerintah.

Kala itu, mereka sedang melakukan pisowanan, yakni tradisi sowan atau datangnya para bawahan-bawahan Raja, Sunan, atau Sultan ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya. Dalam pisowanan tersebut, Demang Kesawen membawa upeti yang akan diserahkan kepada Adipati Kadipaten Karangduwur. Ia dikawal oleh tiga orang prajuritnya, yaitu Krincing, Dipomenggolo, dan Keling.

Sambil menunggu acara pisowanan dimulai, Demang Kesawen bersama tiga prajuritnya tersebut melakukan latihan beladiri di lapangan Kadipaten. Ketika sedang asyik berlatih, Adipati Karangduwur yang mengetahui hal tersebut ternyata tidak berkenan.

Adipati kemudian memperingatkan Demang Kesawen dan anak buahnya agar tidak mengulangi kegiatan serupa di masa mendatang. Meski telah ditegur, ternyata tak membuat Demang Kesawen jera.

Ia justru berkeinginan untuk kembali melakukan kegiatan latihan beladiri di Alun-alun Kawedanan pada pisowanan selanjutnya. Ia pun mengajak dua orang kepercayaannya, Jagabaya dan Komprang, untuk bermusyawarah.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Usulan Penyamaran

Komprang mengusulkan untuk melakukan penyamaran agar identitas ketiga orang yang dahulu menimbulkan masalah tidak terbongkar. Oleh karena itu, mereka perlu menyiapkan tatanan gerak meniru jogetan atau tari dari semua penderek Ki Demang.

Komprang bertugas sebagai sutradara, empat orang bertugas sebagai pemukul bunyi-bunyian, satu orang bertugas sebagai kemendir atau pemayung, dua orang bertugas sebagai pemencak, dan lainnya bertugas sebagai pengombyong. Susunan tersebut pun akhirnya membentuk tim kesenian yang terdiri dari para prajurit.

Adapun ragam gerak kesenian cingpoling dilakukan secara berulang karena pada dasarnya kesenian ini bukanlah sebuah tarian, melainkan penyamaran gerak seorang prajurit. Urutan geraknya dimulai dari cakrak, ujung, titenan, gambul, dugangan, kitrangan, jajagan, adon-adon, gebragan, genjotan, limpen, hingga teteran.

Makna budaya dari kesenian ini adalah melestarikan gerak seni. Selain itu, juga sebagai disiplin ksatria pengawal menjadi satu kesatuan yang indah yang dipadukan dengan berbagai alat musik dan aksesori.

Sementara itu, nilai filosofis cingpoling adalah sebagai nilai pengabdian dari seorang pengawal kepada pemimpinnya. Jika dahulu kesenian ini berfungsi sebagai penyamaran, saat ini cingpoling murni sebagai hiburan dan pertunjukan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya