Utak Atik Kebijakan yang Tepat Kurangi Konsumsi Rokok Nasional

Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang produk tembakau

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Feb 2023, 12:12 WIB
Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Rencana ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

Ketua Umum Pakta Konsumen, Ari Fatanen, menilai rencana revisi PP 109/2012 bukan solusi tepat dalam menangani masalah jumlah perokok anak di Indonesia.

Hal ini mengingat, secara substansi, PP 109/2012 telah secara jelas mengatur larangan produk tembakau bagi anak berusia 18 tahun ke bawah.

Alih-alih revisi, Ari menilai seharusnya pemerintah mengutamakan sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi untuk menjadi aspek yang harus diperkuat pemerintah.

“Kalau bicara PP 109/2012 dan kaitannya dengan prevalensi perokok anak, saya rasa tidak tepat apabila mau direvisi. Karena saya melihat saat ini sosialisasi yang berkaitan dengan pelarangan perokok anak itu tidak dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Padahal, pelarangan ini sudah diatur di dalam PP 109/2012,” ujar Ari dalam acara dialog ditulis, Selasa (31/1/2023).

Ari menyarankan agar pemerintah membentuk gerakan bersama yang melibatkan semua pihak untuk menggencarkan sosialisasi dan edukasi kepada anak-anak terkait rokok.

 


Komitmen Bersama

Ilustrasi Tembakau

Menurutnya, semua pihak mulai dari konsumen hingga industri telah memiliki komitmen yang sama untuk tidak memberikan akses produk tembakau kepada anak berusia 18 tahun ke bawah.

“Daripada revisi PP 109/2012, kami menyarankan untuk memberikan jalan tengah kepada pemerintah untuk melakukan pendekatan persuasif dengan maksimal. Karena, revisi regulasi tidak akan langsung efektif pada penerapannya,” imbuhnya.

Sebagai perwakilan konsumen, Ari juga mengatakan konsumen seringkali luput dari pandangan pemerintah sehingga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasannya. Padahal, secara konstitusional konsumen memiliki hak untuk berpartisipasi dalam penyusunan regulasi.

“Terkadang konsumen diperlakukan seperti anak tiri. Jadi, pertama, kami menuntut hak partisipatif pelibatan konsumen dalam pembuatan kebijakan. Kedua, hak perlindungan, yaitu negara harus melindungi konsumen dari intervensi yang menciptakan keadilan,” tegasnya.

 


Butuh Riset Kuat

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selain itu, peneliti sekaligus pemerhati kebijakan, Agustinus Moruk Taek, mengatakan secara akademis usulan revisi PP 109/2012 bersifat kausal dan tidak didukung dengan riset yang kuat. Misalnya, soal prevalensi perokok anak yang pada faktanya telah mengalami penurunan.

Ia juga menjelaskan bahwa, dalam naskah akademik, landasan filosofis yang tercantum hanya dari perspektif kesehatan tanpa mengindahkan kepentingan yang terlibat pada ekosistem pertembakauan.

Dari hasil penelitiannya, Agustinus juga melihat usulan revisi PP 109/2012 terkesan nirpartisipasi dan hanya mementingkan satu pihak. Ia mengungkapkan penyusunan kebijakan soal tembakau harus melihat dari berbagai perspektif karena menyangkut multisektor.

“Masalah rokok ini jangan hanya menggunakan satu perspektif. Jangan sampai perspektif sehat saja yang disuarakan, tapi perspektif sosial juga harus dimasukkan. Jangan sampai kita terjebak dalam kepentingan tertentu dan membuat kebijakan ini untuk membunuh industri tembakau,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya