Liputan6.com, Beijing - Menteri Luar Negeri China Qin Gang memperbarui upaya untuk meningkatkan hubungan ekonomi dengan Arab Saudi, termasuk dengan mendorong zona perdagangan bebas China-Teluk sesegera mungkin.
Qin mengatakan kepada timpalannya, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan Al Saud, via telepon pada Senin (30/1/2023) bahwa China berharap untuk memperluas kerja sama ekonomi.
Advertisement
"China sangat menghargai dukungan Arab Saudi yang konsisten dan tegas pada isu-isu yang melibatkan kepentingan inti China," demikian pernyataan resmi Qin dalam panggilan dengan Pangeran Faisal yang dikutip dari South China Morning Post, Rabu (1/2).
Qin menuturkan kedua belah pihak harus memperluas kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, energi, infrastruktur, investasi, keuangan, dan teknologi. Dia menambahkan bahwa harus ada penguatan berkelanjutan dari kemitraan strategis China-Teluk dan pembentukan zona perdagangan bebas China-Teluk secepat mungkin.
Zona perdagangan bebas yang disebutkan merupakan fokus China untuk mengamankan pasokan energinya di tengah ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung dan fluktuasi di pasar minyak global pasca invasi Rusia ke Ukraina.
Arab Saudi merupakan pemasok minyak mentah terbesar China.
Menurut pernyataan dari Arab Saudi, kedua menlu juga membahas masalah regional dan internasional serta upaya untuk meningkatkan keamanan dan stabilitas.
Kunjungan Xi Jinping ke Arab Saudi
Tahun lalu, tepatnya dalam kunjungan Presiden Xi Jinping ke Arab Saudi pada Desember, kedua negara menandatangani 46 perjanjian dan memorandum senilai US$ 50 miliar. Namun, masih ada area di mana kemajuannya lebih lambat dan Arab Saudi belum setuju menggunakan yuan untuk perdagangan minyak.
Adapun diskusi antara China dan anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) –Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab– tentang kesepakatan perdagangan bebas telah berlangsung sejak 2004.
Advertisement
Di Tengah Kunjungan Menlu AS ke Timur Tengah
Pembicaraan via telepon antara Qin dan Pangeran Faisal berlangsung di tengah kunjungan Menlu Amerika Serikat (AS) Antony Blinken ke Timur Tengah. Meningkatnya kekerasan antara Israel dan Palestina, program nuklir Iran, dan invasi Rusia ke Ukraina menjadi agenda lawatan Blinken.
Namun, di lain sisi, AS juga semakin waspada terhadap pengaruh China yang tumbuh di Timur Tengah. Presiden Joe Biden bahkan telah bersumpah bahwa AS tidak akan meninggalkan "kekosongan" di wilayah itu.
Pada saat bersamaan, hubungan Washington dengan Riyadh tengah renggang menyusul dukungan Riyadh atas pengurangan produksi minyak, langkah yang membuat harga tetap tinggi. Pernyataan Biden pada tahun lalu yang mengatakan akan menjadikan Arab Saudi sebagai paria internasional pasca pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018 juga menjadi salah satu pemicu menurunnya kedekatan kedua negara.