Liputan6.com, Jakarta - Para peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) telah mengembangkan sebuah model kecerdasan buatan bernama Sybil; model itu dapat mendeteksi risiko kanker paru-paru di masa depan.
Kanker paru-paru adalah kanker paling mematikan di dunia, yang mengakibatkan 1,7 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2020.
Advertisement
Mayoritas pasien dengan kanker paru masih menyerah pada penyakit ini meskipun ada kemajuan terbaru dalam terapi. Saat ini, pemindaian tomografi terkomputasi dosis rendah pada paru-paru adalah cara yang paling umum untuk melakukan skrining kanker paru-paru.
Namun, Sybil mengambil langkah lebih jauh dengan menganalisis data gambar hasil pemindaian tomografi terkomputasi dosis renda tanpa ahli radiologi untuk memprediksi risiko pasien terkena kanker paru-paru di masa depan dalam waktu enam tahun.
Dalam makalah terbaru yang terbit di Journal of Clinical Oncology, para peneliti MIT menunjukkan bahwa Sybil memperoleh indeks-C sebesar 0,75, 0,81, dan 0,80 dari beragam set pemindaian tomografi terkomputasi dosis rendah paru untuk enam tahun.
Capaian itu dianggap sebagai skor yang baik dan kuat di lapangan. Sementara, ROC-AUC untuk prediksi satu tahun menggunakan Sybil memiliki nilai lebih tinggi lagi, berkisar antara 0,86 hingga 0,94, yang mana 1,00 sebagai nilai tertinggi.
Tantangan
Selama proses pengembangan, membangun karakter 3D dari pemindaian CT scan paru-paru ke dalam Sybil merupakan sebuah tantangan.
Namun, tim peneliti dapat melatih model dengan melabeli ratusan pemindaian CT scan dengan tumor kanker yang terlihat dan menguji model pada pemindaian tanpa tanda-tanda kanker yang terlihat.
Meskipun tidak ada kanker yang terlihat, salah satu penulis makalah ini, Jeremy Wohlwend, terkejut dengan nilai Sybil yang sangat tinggi. Dia pun menyoroti kekuatan prediktif model tersebut bahkan pada tahap awal.
Penulis lainnya, Lecia V. Sequist, yang merupakan seorang ahli onkologi medis dan pakar kanker paru-paru, mengatakan bahwa hasil yang Sybil capai sangat penting karena skrining kanker paru-paru belum digunakan secara maksimal di seluruh dunia. Dia pun menilai bahwa Sybil dapat membantu menjembatani kesenjangan ini.
Advertisement
Data latih
Program skrining kanker paru kurang berkembang di wilayah Amerika Serikat yang paling parah terkena kanker paru karena stigma terhadap perokok dan faktor politik dan kebijakan seperti perluasan Medicaid.
Selain itu, banyak pasien yang didiagnosis dengan kanker paru-paru saat ini tidak pernah merokok atau berhenti merokok lebih dari 15 tahun yang lalu, sehingga mereka tidak memenuhi syarat untuk menjalani skrining CT scan kanker paru-paru di AS.
Data latih untuk model Sybil hanya terdiri dari perokok karena ini adalah kriteria yang diperlukan untuk mendaftar dalam Uji Coba Skrining Kanker Paru Nasional.
Meski demikian, tim peneliti berharap untuk memperluas data latih dan menyertakan kelompok pasien lain di masa depan.
Infografis: Redam Kanker dengan Cukai Rokok (Liputan6.com / Abdillah)
Advertisement