Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersyukur telah melewati masa pandemi Covid-19 tanpa melakukan lockdown. Sebab menurut perhitungannya, kemampuan ekonomi masyarakat kelompok menengah bawah hanya mampu bertahan tiga pekan saja bila kebijakan itu diimplementasikan.
Hal itu disampaikan Jokowi saat menghadiri Mandiri Investment Forum (MIF) 2023 bersama para jajaran menteri kabinetnya di Fairmont Hotel, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Advertisement
"Di ruangan ini kalau kita survei semua, 90 persen pasti minta lockdown, utamanya yang menengah atas. Menteri juga sama, 80 persen lockdown pak. Tapi kita kan ngitung masyarakat kita yang lain," ujar Jokowi.
"Begitu kita lockdown, hitungan kita saat itu, enggak ada tiga minggu, kita pasti sudah rusuh. Karena tabungan mereka, stok mereka, bahan makanan mereka enggak akan bisa lebih dari itu," tegas dia.
Jokowi pun bersyukur dirinya selaku pemimpin negara bisa mengatasi kondisi itu dengan kepala jernih. Sehingga tidak terburu-buru melakukan penutupan sosial seperti dilakukan banyak negara lain.
"Sehingga meskipun kita saat itu gagap gugup, tetapi saya masih tenang, jernih dan bisa memutuskan. Alhamdulillah tidak keliru," ucap Jokowi.
Tidak Mudah Buat Kebijakan
RI 1 lantas bercerita mengenai pengalamannya dalam menuntaskan wabah penyakit virus corona sejak Maret 2020, yang punya dua kepentingan antara menjaga kesehatan dan pertumbuhan ekonomi. Dia pun lega lantaran tugasnya bisa berbuah hasil dengan dicabutnya PPKM pada Desember 2022 silam.
"Bukan hal hang gampang saat awal-awal. Dunia belum pernah ada yang punya pengalaman tekena pandemi seperti sekarang," ungkap dia.
"Semuanya gugup. Turbulensi ekonomi datang dan growth kita jatuh tersungkur. Bagaimana mengendalikan kesehatan dan ekonomi, pandemi vs ekonomi bukan hal yang mudah," tegas Jokowi.
Advertisement
Sri Mulyani: Pembiayaan APBN untuk Pandemi Setara Bangun 2 IKN
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menceritakan perjuangan pembiayaan APBN dalam menghadapinya pandemi Covid-19. Ia lantas mengibaratkan, pengeluaran APBN melonjak sekitar Rp 900 triliun dari yang seharusnya.
Menurut Sri Mulyani, jumlah itu setara dengan membangun dua proyek Ibu Kota Negara (IKN). Adapun ongkos proyek membangun satu IKN diperkirakan sekitar Rp 466 triliun.
"Kebutuhan pembiayaan kita (untuk pandemi Covid-19) mencapai Rp 1.600 triliun. Itu saya sampaikan kepada Bapak Presiden, Rp 900 triliun pembiayaan meningkat, itu udah dapat dua IKN, Pak," kata Sri Mulyani, Kamis (26/1/2023).
Sebagai perbandingan, ia lantas memaparkan desain APBN 2020 sebelum pandemi, dengan jumlah pembiayaan Rp 741 triliun. Sementara defisit fiskal sebesar 1,76 persen dari PDB, atau sekitar Rp 307 triliun.
Naikkan Defisit APBN
Begitu terpukul pandemi, pemerintah lalu melonggarkan kebijakan untuk menaikan defisit APBN di atas 3 persen terhadap PDB. Kemudian dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54/2020, yang membuat defisit fiskal melonjak hampir tiga kali lipat menjadi 5,07 persen.
"Kalau dilihat nominalnya, defisitnya naik lebih dari Rp 550 triliun. Dan, kebutuhan pembiayaan kita melonjak dari Rp 741 triliun ke Rp 1.439 triliun, dua kali lipat," ungkap Sri Mulyani.
Namun, upaya itu masih kurang. Sehingga pemerintah kembali mengeluarkan perubahan postur dan rincian anggaran melalui Perpres 72/2020. Alhasil, defisit APBN semakin melonjak jadi 6,34 persen, atau secara nominal Rp 1.039 triliun.
"Jadi naiknya hampir 2,5 kali lipat. Kebutuhan pembiayaan kita mencapai Rp 1.600 triliun," sebut Sri Mulyani.
Advertisement