Uni Eropa Tolak Produk Deforestasi, Indonesia-Malaysia Siap Lawan

Pemerintah Malaysia dan Indonesia tidak terima aturan Uni Eropa yang menolak produk dforetasi.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 01 Feb 2023, 14:05 WIB
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) bersama Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim berkeliling Kebun Raya Bogor dengan mobil golf di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (9/1/2023). Presiden Jokowi menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Bogor. (AP Photo/Achmad Ibrahim)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Uni Eropa akan menerapkan aturan yang melarang masuk produk-produk hasil deforestasi. Aturan ini dibuat agar mengurangi deforestasi, serta agar masyarakat Uni Eropa bisa membeli produk yang tak menyebabkan kerusakan hutan. 

Faktor lain yang disorot Uni Eropa adalah data FAO bahwa ada 420 juta hektar hutan di seluruh dunia telah hilang pada periode waktu tersebut. Luas tersebut lebih besar ketimbang seantero Uni Eropa.

Uni Eropa juga menilai rakyat setempat yang paling dirugikan dengan adanya deforestasi. 

Pemerintah Malaysia lantas berkolaborasi dengan Republik Indonesia untuk menolak aturan tersebut. Aturan itu dianggap bisa mengancam minyak sawit. 

"Strategi kolaborasi dengan Indonesia untuk melawan kampanye anti-minyak sawit dinilai bisa menekan Uni Eropa. Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) juga akan memformulasi sebuah strategi untuk menekan Uni Eropa agar Malaysia dan Indonesia tidak di-bully," ujar Deputi Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Fadillah Yusof, dikutip Malaymail, Rabu (1/2/2023).

Minyak sawit merupakan satu dari tujuh komoditas yang ditarget oleh aturan deforestasi Uni Eropa. Selain itu ada kedelai, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi, serta beberapa turunannya, seperti cokelat dan kulit.

Datuk Seri Fadillah Yusof pun bertekad menunjukkan bahwa sawit tidak merusak lingkungan. 

"Kita perlu menunjukkan fakta berdasarkan minyak sawit tidak merugikan lingkungan, menyebabkan dampak-dampak negatif kepada manusia, dan alam liar," ujarnya.

Sementara, Mongabay melaporkan bahwa pihak CPOPC menganggap aturan Uni Eropa tersebut bisa melanggar aturan WTO. Meski demikian, pihak Kedubes Uni Eropa di Jakarta menilai bahwa kebijakan melestarikan lingkungan sesuai dengan kebijakan WTO.

Berikut laporan mengenai pelarangan produk hasil deforestasi


Larang Produk Deforestasi

Dubes Uni Eropa di Indonesia Vincent Piket. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com 

Kedutaan Besar Uni Eropa di Jakarta mengumumkan soal peraturan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mencegah hal tersebut, maka produk-produk yang berasal dari area deforestasi tidak boleh lagi masuk Uni Eropa. 

Langkah ini diambil karena banyak barang-barang hasil deforestasi yang masuk Uni Eropa, sehingga aturan ini dibuat untuk mengurangi kontribusi Uni Eropa terhadap deforestasi dan degradasi hutan.  

Berdasarkan keterangan resmi pihak Uni Eropa, Selasa (31/1), aturan ini rencananya diterapkan di Indonesia pada pertengahan 2023, tujuh komoditas yang kena adalah kedelai, minyak kelapa sawit, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi, kemudian produk-produk turunannya, seperti kulit, cokelat dan furnitur. 

"Cakupan dapat diperluas dari waktu ke waktu. Pilihan komoditas berdasarkan penilaian dampak produk mana yang berkontribusi terhadap deforestasi di seluruh dunia," tulis keterangan dari Uni Eropa. 

Pemeriksaan dari tiap negara pun akan diperketat berdasarkan risikonya masing-masing. Namun, Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket menegaskan tidak ada larangan produk masuk. 

"Tidak ada pencekalan," tegas Dubes Piket di kantor Kedubes Uni Eropa, Jakarta. 

Lebih lanjut, Dubes Piket menjelaskan bahwa aturan ini akan diterapkan pula ke produk-produk dalam negeri Uni Eropa, sehingga dipastikan tak ada diskriminasi. 

Henriette Faergemann, Konselor Pertama urusan Lingkungan, berkata pemilihan tujuh produk-produk tersebut berdasarkan dampak mereka terhadap deforestasi di dunia. 

Dubes Piket berkata kebijakan ini diambil karena permintaan konsumen di Uni Eropa yang ingin membeli produk yang tak menyebabkan deforestasi. Selain itu, aturan ini diharapkan bisa memicu tren hijau yang baru sehingga investasi-investasi akan lebih berkualitas.

Aturan ini memiliki pandangan ke depan, sehingga hanya menyasar produk-produk hasil deforestasi setelah 31 Desember 2020. Dubes Piket mengaku sudah blusukan ke Riau untuk mendengar tanggapan warga, namun mereka tidak khawatir sebab lahan mereka bukan hasil deforestasi baru.


Warga Lokal Terdampak

Bendera Malaysia berkibar di bawah Kuala Lumpur Tower saat kabut asap menyelimuti Kuala Lumpur, Malaysia, Rabu (18/9/2019). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mendeteksi sebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatra mencapai Malaysia dan Singapura. (AP Photo/Vincent Thian)

Pada keterangannya, Uni Eropa menyebut pihak yang paling menderita dari deforestasi ini adalah masyarakat setempat. Sejumlah hal yang disorot adalah perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pola cuaca yang terganggu. 

Pihak Uni Eropa juga berharap lewat aturan ini maka pemerintah Indonesia bia mempromosikan produk yang berkelanjutan, mengurangi deforestasi, dan degradasi hutan. 

Terkait implementasi aturan ini, Uni Eropa berjanji akan menyajikan panduan yang sederhana, termasuk bagi UKM Indonesia. 

Uni Eropa akan menerapkan Wajib Uji Tutas (Mandatory Due Dilligence) agar produk-produk yang masuk ke Uni Eropa merupakan barang legal sesuai aturan negara asal, serta bebas deforestasi. Pada pernyaaan uji tuntas tersebut juga harus menjelaskan hingga ke bidang tanah tempat produk itu diproduksi. 

Bagi negara yang memiliki risiko rendah, maka uji tuntas akan disederhanakan. 

Uni Eropa akan mengklasifikasi dengan tiga kategori: rendah, standar, dan tinggi. Apabila suatu negara sudah lama tidak mengalami deforestasi, maka kategorinya risiko rendah. 

Belum diketahui apa tingkat risiko Indonesia, karena Uni Eropa akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah. Semakin tinggi risiko suatu negara terhadap deforestasi, maka pemeriksaan lebih ketat. 


Investasi Sawit Tak Selaras dengan Kesejahteraan Masyarakat

Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Sebelumnya dilaporkan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya mencatat, di tahun 2022 ada 137 orang di empat kabupaten di Kalimantan Tengah yang didakwa atas kasus pencurian sawit. Hal itu menurut mereka, menunjukan masih rendahnya tingkat kesejahteraan warga di sekitar perusahaan perkebunan. 

Pemerintah pun dinilai tidak serius untuk melakukan penertiban.

"Investasi perkebunan sawit di Kalimantan Tengah tidak seperti tujuan yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” kata Direktur LBH Palangka Raya Aryo Nugroho Waluyo, Selasa (10/1).

137 orang tersebut merupakan terdakwa dari 57 perkara yang terdaftar dan disidangkan di pengadilan tingkat pertama. 29 kasus berasal dari Kabupaten Kotawaringin Barat, kemudian, 15 dari Kotawaringin Timur, 9 dari Seruyan dan 3 dari Sukamara.

Sampai saat ini beberapa kasus masih dalam proses persidangan, beberapa lagi telah divonis dan rata-rata dinyatakan terbukti bersalah. Per 2018 terhitung, sekitar 1,3 juta hektar lahan di Kalteng merupakan areal izin pekebunan sawit.

Kata Aryo, berdasarkan sejumlah penelitian, kriminalitas seperti kasus pencurian tidak berdiri sendiri. Namun, ada persoalan sosial yang melatari itu, utamanya terkait tingkat kesejahteraan. 

Rendahnya dampak positif kehadiran perusahaan sawit dapat dilihat dari kewajiban melaksanakan plasma. Perusahaan yang sudah melaksanakan kewajiban tersebut di Kalteng tidak lebih dari 20 persen dari seluruh izin yang ada.

Bahkan ironisnya menurut Aryo, ada perusahaan seperti PT Tapian Nadenggan Hanau Mill-KCP di Hanau Kabupaten Seruyan yang sudah beroperasi lebih dari 20 tahun, dan tidak memiliki plasma. Perusahaan yang berdiri tahun 90’an tersebut pada September lalu diduduki warga dari 53 desa yang tersebar di 8 Kecamatan yang menuntut realisasi plasma.

LBH Palangka Raya juga menilai pemerintah tidak serius dalam perbuatan untuk menertibkan perusahaan-perusahaan nakal. Hal ini ditunjukan dengan belum ada perusahaan yang mendapat sangsi terkait plasma.

“Letak keruwetan plasma terjadi karena tidak tegas dan seriusnya pemerintah daerah untuk wewajibkan perusahaan memberikan plasma dari kebun inti kepada masyarakat, kuncinya disini,” kata Aryo.

infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya