Liputan6.com, Jakarta - Aktivis hak asasi manusia (HAM) yang juga pendiri sekaligus penasuh Pondok Pesantren Al-Fatah, Shinta Ratri, meninggal dunia hari ini, Rabu, 1 Februari 2023. Shinta Ratri meninggal pada usia 60 tahun di Yogyakarta.
Setelah kabar Shinta Ratri meninggal dunia tersiar, ucapan belasungkawa mengalir untuk sosok transpuan yang memperjuangkan hak kaum LGBTQ di Indonesia ini.
Advertisement
"Turut berduka cita atas meninggaLnya Ibu Shinta Ratri. Pengasuh Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta. Al-Fatihah," tulis dari Jaringan GUSDURian di akun Twitternya.
Ucapan duka pun disampaikan aktivis Jaringan Islam Liberal yang juga politikus Partai Solidaritas Indonesia PSI) Muhamad Guntur Romli.
Selain itu, jurnalis yang pernah mewawancarai Shinta Ratri juga mengucapkan duka yang mendalam. Termasuk jurnalis Reuters Kanupriya Kapoor yang menceritakan kekuatan Shinta Ratri semasa hidup termasuk melindungi LGBT.
"Saddened to hear abt Ibu Shinta Ratri's passing. She was a source of strength, protection for members of Indonesia's LGBTQ+ community when they were sunned, threatened by others. Had the privilege of visitings her pesantren for trans woman to write one of my favorite strories over," cuit Kapoor.
Peneliti gender dan seksualitas Sharyn Graham Davies pun mengucapkan duka untuk sosok satu ini.
"What an incredible human being - Vale Shinta Ratri," cuit Sharyn mengenai pendiri ponpes waria itu.
Tentang Ponpes Waria Al-Fatah
Shinta Ratri adalah sosok yang mendirikan pondok pesantren Al-Fatah di Yogyakarta pada 2008. Dobrakan yang Shinta lakukan ini mengacu pada hal mendasar bahwa transgender seperti dirinya juga ingin berdoa layaknya manusia lain.
Namun, kerap kali kehadiran waria di masjid mebuat orang-orang tak nyaman, maka dia memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren bagi kaum transgender.
"Di masjid publik kehadiran kami membuat orang-orang tidak nyamen. Kami juga butuh tempat yang nyaman bagi kaum transpuan untuk berdoa," katanya saat diwawancara The Guardian beberapa waktu silam.
Di masjid yang berada di pondok pesantren tersebut, para transgender bisa berdoa dengan pakaian yang nyaman. Bisa dengan pakaian wanita maupun pakaian pria.
"Tergantung mana yang bikin nyaman," katanya.
Kenyamanan untuk berdoa, membuat banyak para waria yang ingin mendekatkan diri ke Allah datang ke ponpes tersebut. Mereka yang tinggal di pondok pesantren ini adalah waria yang memiliki bermacam-macam latar belakang profesi. Ada yang jika siang hari mereka mengamen, ada yang punya usaha sendiri, bekerja di LSM, bekerja di salon, dan lainnya seperti mengutip Regional Liputan6.com.
Kehadiran pondok pesantren ini tidak selalu berjalan lancar. Penolakan kerap datang dari berbagai pihak.
Pada Februari 2016, pondok pesantren tersebut ditutup sementara setelah mendapat ancaman kekerasan dari beberapa kelompok.
Namun, banyak juga penduduk di lokasi pondok pesantren itu berada mendukung misi yang diemban Shinta dan komunitasnya.
Advertisement
Semasa Hidup Dapat Penghargaaan
Pada 2019, Shinta Ratri mendapat penghargaan dari Front Line Defenders, sebuah organisasi internasional untuk perlindungan pembela HAM yang berbasis di Irlandia. Shinta mendapatkan penghargaan mewakili Asia Pasifik.
Dalam laman resmi Front Line Defenders disebutkan bahwa Shinta Ratri adalah pendiri sosok yang kuat dan inovatif. Shinta dapat mengakomodasi kebutuhan transpuan dengan menciptakan ruang aman untuk berdoa.
"Ia mengakomodasi kebutuhan individu trans dan menciptakan ruang yang aman bagi mereka untuk menjalankan agama mereka dan menjadi diri mereka sendiri," tulis organisasi itu di laman website Front Line Defenders.