Junta Militer Myanmar Perpanjang Status Keadaan Darurat, Pemilu Ditunda

Status keadaan darurat memungkinkan militer untuk menjalankan semua fungsi pemerintahan, memberi Min Aung Hlaing kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 03 Feb 2023, 00:34 WIB
Pengunjuk rasa memberi hormat tiga jari selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon (3/6/2021). Pasukan keamanan telah membunuh 840 orang sejak kudeta, menurut angka dari aktivis yang dikutip oleh PBB. Junta mengatakan sekitar 300 orang telah tewas. (AFP/STR)

Liputan6.com, Naypyidaw - Junta militer Myanmar pada Rabu (2/2/2023) mengumumkan perpanjangan status keadaan darurat yang diberlakukan ketika mereka merebut kekuasaan dua tahun lalu, sebuah langkah yang memundurkan rencana untuk menggelar pemilu pada Agustus mendatang.

Pengumuman di televisi MRTV yang dikelola negara mengatakan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC), yang bertemu pada Selasa (1/2), memutuskan memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan lagi karena negara masih dalam situasi yang tidak normal dan waktu diperlukan untuk mempersiapkan pemilu yang damai dan stabil. Demikian seperti dikutip dari VOA, Jumat (3/2).

Tidak ada tanggal pasti yang diumumkan untuk pemilu Myanmar. Namun, laporan pada Rabu menyebutkan, pemilu akan diadakan setelah status keadaan darurat dicabut.

Status keadaan darurat memungkinkan militer untuk menjalankan semua fungsi pemerintahan, memberi Min Aung Hlaing kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

Pengumuman perpanjangan status keadaan darurat tepat pada peringatan dua tahun kudeta dipandang sebagai pengakuan bahwa militer telah gagal memadamkan oposisi yang meluas terhadap kekuasaan militer, termasuk perlawanan bersenjata yang semakin menantang serta protes dan pembangkangan sipil.

Media pemerintah mengatakan bahwa pertemuan NDSC pada Selasa membahas bagaimana kelompok oposisi berusaha merebut kekuasaan melalui "cara paksa yang salah" termasuk pembunuhan, pengeboman, dan penghancuran properti negara.

Konstitusi menetapkan bahwa untuk mengadakan pemilu, militer harus mengalihkan fungsi pemerintahan kepada presiden, yang mengepalai NDSC, enam bulan sebelum pemungutan suara. Dalam kasus ini, penjabat presiden adalah Myint Swe, sekutu militer.


Tidak Mengejutkan

Para pengunjuk rasa, seperti yang terlihat melalui jendela, mengambil bagian dalam demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon 28/2/2021). Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. (AFP/ Ye Aung Thu)

Juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional, yang bertindak sebagai pemerintah bayangan yang menentang kekuasaan militer, mengatakan perpanjangan itu tidak mengherankan karena mereka sudah menduga bahwa junta militer akan mengambil tindakan untuk memperkuat kontrolnya tepat pada peringatan dua tahun kudeta.

Nay Phone Latt mengatakan lewat pesan teks bahwa kelompoknya dan sekutunya mendapat dukungan dari publik, yang tekadnya akan berlanjut sampai "revolusi" tercapai.

Militer mengatakan kudeta pada tahun 2021 dipicu oleh kecurangan pemungutan suara besar-besaran dalam pemilu November 2020, meskipun pemantau pemilu independen tidak menemukan penyimpangan besar. Partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi menang telak untuk masa jabatan kedua dalam pemilu tersebut.

Kritikus mengatakan pemilihan yang direncanakan militer tidak akan bebas atau adil karena sebagian besar pemimpin partai Aung San Suu Kyi telah ditangkap, bersembunyi, atau diasingkan. Aung San Suu Kyi sendiri dipaksa menjalani hukuman 33 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah dalam serangkaian tuntutan politis.


Undang-undang Baru

Ilustrasi Pemilu 1(Liputan6.com/M.Iqbal)

Pekan lalu, junta militer memberlakukan undang-undang baru tentang pendaftaran partai politik yang mempersulit kelompok oposisi untuk mengikuti pemilu.

Namun, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada November lalu sudah mengatakan bahwa mereka tidak akan menerima atau mengakui pemilu yang direncanakan junta militer. Menurut mereka, pemungutan suara adalah upaya militer untuk mendapatkan legitimasi politik dan pengakuan internasional.

Militan oposisi telah berusaha mengganggu persiapan pemilu dengan menyerang personel pemerintah militer yang sedang melakukan survei populasi yang dapat digunakan untuk menyusun daftar pemilih.

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya