Liputan6.com, Jakarta Bitcoin secara singkat menyentuh level USD 24.000 atau setara Rp 358,2 juta (asumsi kurs Rp 14.927 per dolar AS) pada Kamis (2/2/2023). Kenaikan singkat ini terjadi setelah Federal Reserve menaikkan suku bunga acuannya sebesar seperempat poin persentase.
Lonjakan juga bertepatan dengan yang terjadi pada pasar saham teknologi di Nasdaq serta penurunan imbal hasil Treasury AS dan Indeks Mata Uang Dolar AS (DXY), yang cenderung bergerak terbalik ke kripto.
Advertisement
Dilansir dari CNBC, Jumat (3/2/2023), Ketua The Fed, Jerome Powell mencatat proses disinflasi telah dimulai, menenangkan investor yang bertaruh pada penurunan inflasi dan menyebabkan mereka mengambil lebih banyak risiko.
Harga Bitcoin kembali turun di kisaran USD 23.700 atau setara Rp 353,7 juta pada perdagangan, Jumat pagi. Sejauh ini, Januari 2023 menjadi bulan terbaik bitcoin sejak Oktober 2021.
Bitcoin telah menguat lebih dari 40 persen sejak awal tahun, dengan cepat memangkas kerugian dari bencana 2022. Banyak investor dan analis yang waspada, namun, terlepas dari tren bullish saat ini, kripto belum siap untuk reli, dan harga bisa mundur setidaknya sekali lagi sebelum itu.
Analis pasar kripto di pertukaran bitcoin Jepang Bitbank, Yuya Hasegawa mengatakan pasar kripto mencermati pertemuan The Fed terbaru sebagai langkah moneter yang lebih longgar.
“Harga memang naik, tetapi gagal ditutup di atas USD 24.000 dan saat ini momentumnya tampaknya sedang menurun,” jelas Hasegawa.
Hasegawa menggemakan peringatan Fed meskipun inflasi tampaknya melambat, tetapi masih cukup tinggi dan bank sentral akan membutuhkan bukti yang jauh lebih banyak untuk dengan percaya diri mengatakan inflasi mendekati target 2 persen The Fed.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.