Liputan6.com, Jakarta - Pulau besar di Barat Laut ini memiliki nama Sumatera, diambil dari nama tokoh seorang raja Sriwijaya, Haji Sumatrabhumi (Raja Tanah Sumatra).
Pendapat lain, berdasarkan berita China, ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017 dan di sana terdapat nama samudra bernama Sumatra.
Beralih ke cerita Islam, diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, traveler asal maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, beliau melafazkan kata Samudra menjadi Samatrah, kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera. Dan pada saat itulah nama Sumatra mulai muncul di berbagai macam peta pada abad ke-16.
Dahulu, sebelum nama Sumatra ditetapkan, pulau ini banyak memiliki julukan di antaranya, Taprobana, Sumoltra, Zamoltra, dan Al-Rammi. Sayangnya nama-nama tersebut tidak populer hingga banyak penduduk asli yang tidak mengetahui nama-nama tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Zaman dahulu, mayoritas penduduk asli berasal dari Melayu, mereka tidak mengetahui jika mereka tinggal di pulau yang begitu besar.
Dilansir dari buku The Story of Sumatera karya William Marsden, masyarakat asli hanya mengenali dua nama dalam pulau itu, Pulau Perca dan Pulau Indalas. Mereka kerap menyebut pulau yang mereka jadikan tempat tinggal dengan pulau tersebut dan berbeda dengan penduduk pendatang atau pengunjung.
Sumatra sendiri merupaka pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351. Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas/Indalas, atau Suwarnadwipa.
Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah, Suwarnadwipa 'pulau emas' atau Suwarnabhumi 'tanah emas'. Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi.
Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penduduk Pulau Sumatera
Para musafir asal Arab menjuluki pulau Sumatera dengan nama 'Serendib' plesetan dari kata 'Suwarandib' transliterasi dari kata 'Suwarnadwipa' . Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang pernah berkunjung ke Sriwijaya tahun 1030 pernah mengatakan bahwa Sriwijaya berada di pulau Suwarnadib.
Penduduk Sumatera mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil merupakan penganut ajaran Kristen Protestan, terutama di wilayah Tapanuli dan Toba-Samosir, Sumatera Utara. Di wilayah perkotaan, seperti Medan, Pekanbaru, Batam, Pangkal Pinang, Palembang, dan Bandar Lampung dijumpai beberapa penganut Buddha dan Hindu.
Setelah banyak pengunjung yang menjadi penduduk, serta pulau ini mulai ramai penghuni, banyak ahli geografi yang berkunjung dan meneliti pulau tersebut, hingga tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau 'Samatrah' Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama 'Camatarra'.
Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama 'Samatara', sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama 'Samatra'. Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu 'Camatra', dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya 'Camatora'. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang sedikit berbeda 'Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: 'Samoterra', 'Samotra', 'Sumotra', bahkan 'Zamatra' dan 'Zamatora'.
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatera. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatera
Advertisement