Pakar Jelaskan Alasan Putus Cinta Menyakitkan

Putus cinta memang menyakitkan. Bukan tanpa alasan, terdapat penjelasan fisiologis di baliknya.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Feb 2023, 19:00 WIB
Ilustrasi patah hati. (dok. Kelly Sikkema/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Liputan6.com, Jakarta - Jatuh cinta membuat hati berbunga-bunga. Diri Anda akan dipenuhi dengan perasaan bahagia dan bersemangat. Akan tetapi, semuanya berubah ketika hubungan berakhir. Berbanding terbalik dengan perasaan menyenangkan saat jatuh cinta, putus cinta dapat memicu aliran emosi negatif yang terasa menyesakkan.

Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

Terdapat alasan fisiologis mengapa patah hati bisa menjadi pengalaman yang menyakitkan, ujar seorang penulis medis Dr. Deborah Lee. Menurutnya, gejalanya tidak hanya muncul dalam pikiran, melainkan juga secara fisik.

Lee menjelaskan, ketika jatuh cinta, kadar oksitosin (hormon pelukan) dan dopamin (hormon bahagia) menurun, sementara pada saat yang sama terdapat peningkatan kadar salah satu hormon yang bertanggung jawab atas stres, yaitu kortisol.

Peningkatan kadar kortisol ini dapat berkontribusi pada beberapa masalah kesehatan seperti tekanan darah tinggi, peningkatan berat badan, jerawat, dan peningkatan kecemasan, tutur Lee.

Putus cinta juga mengaktifkan area otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik, sebut sebuah studi tahun 2011 yang diterbitkan dalam jurnal Biological Sciences.

Dalam penelitian ini, partisipan diperlihatkan foto mantan yang baru-baru ini mencampakkan atau memutuskannya.

Hasilnya, MRI scan menemukan bahwa area otak yang biasanya dikaitkan dengan cedera fisik, seperti korteks somatosensori sekunder dan insula posterior dorsal, aktif.

"Efek neurobiologis dari patah hati bisa mencapai ketinggian sedemikian rupa sehingga dapat disamakan dengan rasa sakit fisik yang dibuktikan baik oleh gejala fisik yang dilaporkan sendiri, seperti nyeri dada dan serangan panik, serta deskripsi perasaan penderita, misalnya merasa terpukul dan hancur," ujar dokter psikologi klinis Eric Ryden.


Yang Terjadi saat Patah Hati

Ilustrasi putus cinta. (Photo by Andrew Neel on Unsplash)

"Patah hati tampaknya melibatkan beberapa mekanisme saraf yang sama seperti rasa sakit fisik," ungkap Ryden.

Ketika patah hati, sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang biasanya saling mengimbangi aktif, kata Lee.

Menurut Mayo Clinic Neurology Board Review yang diterbitkan dalam Oxford University Press 2021, sistem saraf simpatik bertanggung jawab atas respons fight of flight tubuh yang mempercepat detak jantung dan pernapasan, sedangkan sistem saraf parasimpatis bertanggung jawab atas tubuh ketika beristirahat.

Hormon yang dilepaskan selama patah hati mengaktifkan dua bagian sistem saraf ini, jelas Lee.

"Otak dan hati yang merespons jalur ini bingung karena mendapatkan pesan yang beragam," katanya. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah.

Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa janda dan duda mengalami peningkatan risiko kematian 41 persen dalam enam bulan pertama setelah kehilangan pasangannya, menurut penelitian dalam jurnal Psychoneuroendocrinology.


Sindrom Patah Hati

Ilustrasi patah hati, putus cinta. (Image by Freepik)

Tak jarang, orang dengan variabilitas detak jantung rendah juga akan menunjukkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi hingga kurang tidur.

Bahkan, dalam kasus yang jarang terjadi, patah hati dapat berkembang menjadi kondisi medis yang dikenal sebagai kardiomiopati takotsubo atau sindrom patah hati.

Kondisi ini menyebabkan perubahan sementara pada cara jantung memompa darah dan terkadang mengakibatkan jantung memompa lebih keras, menghasilkan kondisi yang sering disebut sebagai nyeri dada.

Sindrom patah hati berbeda dengan serangan jantung. Serangan jantung umumnya disebabkan oleh penyumbatan penuh—hampir penuh—pada arteri jantung. Sementara pada sindrom patah hati, arteri jantung tidak mengalami penyumbatan. Akan tetapi, aliran darah di arteri jantung bisa saja berkurang.

Menurut situs Mayo Clinic, peristiwa fisik atau emosional yang intens sering terjadi sebelum mengalami sindrom patah hati. Segala hal yang menyebabkan respons emosional yang kuat dapat memicu kondisi tersebut, misalnya kabar terserang suatu penyakit, operasi besar, patah tulang, serta kehilangan orang terkasih.


Penyebab Lain

Sindrom patah hati. (Photo by Artem Kovalev on Unsplash)

Selain hal di atas, penggunaan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan sindrom patah hati. Contohnya:

-Obat-obatan darurat yang digunakan untuk mengobati reaksi alergi atau serangan asma yang parah.

-Beberapa obat yang digunakan untuk mengobati kecemasan.

-Dekongestan hidung digunakan untuk mengobati hidung tersumbat.

-Obat perangsang ilegal, seperti metamfetamin dan kokain.

Adapun faktor risiko sindrom patah hati meliputi:

1. Jenis Kelamin

Sindrom patah hati lebih sering terjadi pada wanita daripada pria

2. Usia

Kebanyakan orang yang memiliki sindrom patah hati berusia lebih dari 50 tahun.

3. Kondisi Kesehatan Mental

Orang yang memiliki atau mengalami kecemasan atau depresi mungkin memiliki risiko sindrom patah hati yang lebih tinggi.

Seseorang yang mengalami sindrom patah hati dapat pulih dengan cepat. Meskipun demikian, kejadian tersebut dapat terjadi berulang.

Sindrom patah hati memang jarang menyebabkan kematian. Namun, beberapa komplikasi dapat terjadi, misalnya:

-Edema paru

-Tekanan darah rendah

-Detak jantung tidak teratur (aritmia)

-Gagal jantung

-Gumpalan darah di jantung.

 

(Adelina Wahyu Martanti)

Infografis Kombinasi Vaksin Covid-19 untuk Booster II. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya