Liputan6.com, Jakarta Kanker payudara acap kali menyebabkan pasien harus rela kehilangan salah satu payudara. Hal ini dapat mengganggu penampilan dan menurunkan rasa percaya diri.
Maka dari itu, setiap perempuan yang melakukan pembedahan kanker payudara berhak mendapat pilihan rekonstruksi payudara.
Advertisement
Menurut dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik RS Pondok Indah - Pondok Indah Mohamad Rachadian Ramadan, rekonstruksi payudara merupakan berbagai teknik operasi bedah plastik dalam usaha mengembalikan payudara ke bentuk, tampilan, dan ukuran yang mendekati normal setelah pembedahan.
“Kenapa disebut ‘mendekati normal’ karena kita tidak bisa menyaingi ciptaan Tuhan,” ujar dokter subspesialis bedah mikro rekonstruksi dan onkoplasti itu dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Lantas, apakah setelah rekonstruksi payudara, ibu masih bisa tetap menyusui?
Menjawab hal ini, Rachadian mengatakan bahwa ini sebetulnya pertanyaan bagi dokter onkologi yang melakukan pembedahan.
“Kelenjar payudara sudah dibuang duluan sama dokter onkologi. Jadi kan di payudara ada tumor, itu dibuang. Kalau dibuang maka ibu kehilangan kesempatan untuk menyusui,” katanya.
Sedangkan, tugas Rachadian bukan lah merekonstruksi kelenjar payudaranya melainkan membuat volume payudara semirip mungkin dengan payudara yang tak terdampak kanker.
“Volume, puting, simetris bisa dibuat, tapi untuk fungsinya apa bisa menyusui, mohon maaf kami belum bisa menyamai ciptaan Tuhan.”
Bagi Pasien Non Kanker
Beda halnya dengan tindakan pada pasien non kanker. Misalnya, jika ada pasien ingin memperbesar payudara dengan tujuan estetik, maka pasien tersebut masih bisa menyusui.
“Kalau pasien estetik secara umum bisa menyusui karena kita selipkan implannya di bawah kelenjar payudaranya,” kata Rachadian.
Meski begitu, fungsi payudara kemungkinan berkurang walau umumnya tidak berkurang setelah tindakan.
“Berkurang fungsinya? Ada yang berkurang ada yang tidak. Tapi rata-rata sih tidak berkurang.”
Sebelumnya, Rachadian menjelaskan soal pembedahan pada pasien kanker payudara. Ada dua jenis tindakan bedah untuk payudara yakni mastectomy dan lumpectomy.
Mastectomy adalah tindakan pembedahan untuk mengatasi kanker payudara dengan mengangkat seluruh jaringan di payudara.
Sedangkan lumpactomy adalah tindakan pembedahan dengan mengambil sel kanker dan bagian jaringan sehat sekitarnya tanpa menghilangkan payudara.
Advertisement
Jenis Mastectomy
Mastectomy terdiri dari beberapa jenis yakni pengangkatan kelenjar, pengangkatan total, menyisakan kulit (skin sparing), dan menyisakan puting (nipple sparing).
“Pasien perlu tahu hilangnya (payudara) seberapa banyak nanti baru kita bicara soal rekonstruksi,” Rachadian menambahkan.
Setelah pengangkatan kanker, masalah tak serta-merta hilang seluruhnya. Ada beberapa problem yang mengikuti setelah pengangkatan kanker payudara. Di antaranya, rasa tidak nyaman saat berhubungan seksual, tidak nyaman saat berolahraga, tidak percaya diri, merasakan nyeri, dan sulit memilih baju.
Setelah pengangkatan kanker payudara dilakukan, maka perempuan merasa tidak utuh karena bagian tubuhnya hilang.
“Sebagai perempuan merasa tidak utuh setelah tindakan pembedahan payudara,” kata Rachadian.
Setiap Perempuan Berhak Rekonstruksi
Masalah-masalah tersebut lah yang memicu perempuan membutuhkan rekonstruksi payudara.
Di beberapa negara, rekonstruksi payudara sangat diminati. Pasalnya, ini berkaitan dengan rasa percaya diri. Orang-orang di luar negeri acap kali pergi ke pantai dengan bikini atau pergi ke pesta dengan mengenakan pakaian mini. Sehingga, penampilan payudara menjadi sangat penting.
Sedangkan di Indonesia, masyarakat cenderung bersyukur dengan pengangkatan kanker saja. Pasalnya, kebanyakan perempuan di Indonesia cenderung mengenakan pakaian tertutup sehingga merasa tidak terlalu perlu untuk melakukan rekonstruksi payudara.
Meski begitu, setiap perempuan berhak untuk mendapatkan rekonstruksi guna memiliki kualitas hidup yang lebih baik.
“Di Amerika, sejak 1998 setiap perempuan yang melakukan pengangkatan kanker payudara berhak mendapatkan opsi rekonstruksi dengan biaya yang di-cover pemerintah, sayangnya di Indonesia belum ada,” pungkas Rachadian.
Advertisement